Sukses

Aktivis Albino Berjuang Lawan Mutilasi Atas Nama Mitos Sesat

Di Tanzania orang-orang albino diburu, dibunuh, anggota badan dimutilasi untuk dijadikan jimat. Sadis!

Josephat Torner menjejak kakinya perlahan menghindari bebatuan licin di dalam sebuah gua nan gelap di timur laut Tanzania. Di depannya, melangkah dengan yakin seorang dukun.  

Hanya diterangi pelita seadanya, dua orang itu makin tenggelam di kegelapan, tangan mereka meraba dinding gua untuk membimbing arah. Menuju ruang besar yang dihiasi stalagmit dan stalagtit. Sementara kelelawar berterbangan di atas kepala.

"Apa yang ingin aku ketahui," kata Josephat memecah keheningan, kata-katanya tertuju pada si dukun. "Apakah Anda pernah melihat seseorang berdoa untuk sesuatu yang jahat di sini? Sehingga mereka menangkap seseorang, seperti kami, para albino."

Sebagai seorang albino, Josephat telah berkeliling di sekitar Tanzania, untuk menghilangkan prasangka salah yang menyebar tentang kelainan bawaan itu. Puluhan albino telah diculik, dibunuh, dan dimutilasi di negara itu selama beberapa tahun, hanya karena didasari rumor bahwa bagian tubuh mereka bisa mendatangkan kekayaan dan keberuntungan.

Itulah yang membuatnya bepergian jauh ke dalam hutan, menyusuri gua gelap. Untuk menghentikan tindakan sadis itu, Josephat merasa perlu menemui kelompok yang dianggap sumber dari anggapan salah kaprah itu: para dukun.

"Kami menyebutmu roh karena orang putih sepertimu adalah setan," kata dukun itu.

"Kau mengatakan aku setan putih," tukas Josephat. "Kami semua setan?"

Dukun itu lalu menjawab, "ya, karena kau berkulit putih."

"Di Bawah Bayang-bayang Mentari"

Konfrontasi itu terungkap dalam film dokumenter 'In the Shadow of the Sun' yang dibesut Harry Freeland -- tentang  kronik kisah hidup Josephat Torner dan perjuangannya agar albino diterima di negara yang hanya tahu sedikit tentang kelainan genetik tersebut.

"Nuraniku masih haus mencari pengakuan untuk orang-orang albino di dunia," kata Josephat yang menjadi aktivis sejak tahun 2004. "Untuk mendapat pengakuan bahwa kami ada."

Orang dengan albinisme dilahirkan dengan kurangnya ataupun tidak adanya pigmen melanin pada mata, kulit, dan rambut. Kondisi ini bisa dialami semua ras.

Namun, akibat kurangnya pengetahuan, di beberapa bagian Afrika orang dengan albino sering menderita stigma sosial, prasangka dan bahkan serangan.

Harry Freeland menemukan sosok pemimpin dalam diri Josephat, yang menjadi tokoh utama dalam film dokumenternya.

Selama bertahun-tahun Josephat berjuang melawan diskriminasi, bersikeras memperoleh pendidikan dan menikah. Ayah dua anak itu bahkan berhasil menaklukkan gunung tertinggi di Afrika, Kilimanjaro. Untuk membuktikan, orang albino juga bisa melakukan hal-hal hebat.

Josephat mengaku Kilimanjaro amat sulit untuk dilakukan. Namun, tekadnya menambah kekuatannya. "Aku punya agenda. Kami (albino) dibunuh, diburu, dimutilasi. Aku naik gunung dengan pesan khusus....untuk negara-negara Afrika: bahwa kami bisa. Jadi, lindungi kami, beri kami kesempatan, jangan beri kami stigma, jangan isolasi kami. Jangan sembunyikan kami di ruang gelap. Buka jalan untuk kami."

Pada tahun 2009, pemerintah Tanzania memulai kampanye melawan pembunuhan terhadap orang dengan kondisi albino, khususnya di wilayah Victoria Lake.

Freeland mengatakan, intimasalah adalah dukun membuat klaim bahwa bagian tubuh albino dapat membawa kekayaan.

"Di Tanzania, sudah ada 72 orang dengan albinisme dilaporkan tewas  selama lima tahun terakhir," kata Freeland, menekankan bahwa jumlah sebenarnya bisa lebih tinggi. "Dan ada 34 orang dimutilasi, dan beruntung selamat setelah diserang."(Ein/*)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.