Sukses

Skandal Cambridge Analytica, Pihak Oposisi Tuntut Penjelasan PM Malaysia

Pihak oposisi Malaysia mendesak PM Najib Razak menjelaskan dugaan penggunaan Cambridge Analytica yang kontroversial di pemilu Malaysia terakhir.

Liputan6.com, Kuala Lumpur - Dampak dari skandal Cambridge Analytica, perusahaan konsultan politik asal Inggris yang diduga melakukan pencurian data Facebook dan praktik kotor untuk memenangkan kliennya, sampai ke Malaysia. 

Apalagi, dalam situs resminya, perusahaan yang terafisilasi dengan Strategic Communication Laboratories (SCL) itu mengaku punya kantor di London, New York, Washington DC, serta di Brasil dan Malaysia.

Seorang anggota partai oposisi Malaysia, Partai Pribumi Bersatu Malaysia, bahkan menuntut penjelasan dari Perdana Menteri Najib Razak. Khususnya untuk menjawab pertanyaan apakah dia menggunakan Cambridge Analytica untuk memanipulasi pemilih dalam pemilu terakhir di Negeri Jiran.

Dilansir dari Channel News Asia pada Selasa (20/3/2018), sebuah rekaman video dari kamera tersembunyi yang ditayangkan oleh stasiun televisi asal Inggris, Channel 4, menuding Cambridge Analytica menggunakan data pribadi pengguna Facebook untuk memengaruhi hasil Pilpres Amerika Serikat 2016 yang memenangkan Donald Trump. 

Cambridge Analytica diduga menggunakan sekumpulan perusahaan cangkang (shell company) untuk menyamarkan kegiatan mereka dalam pemilihan di Meksiko, Malaysia, dan Brasil, dan beberapa negara lainnya. Tujuannya, untuk memengaruhi hasil final pemilu.

Wan Saiful Wan Jan, wakil ketua strategi dan kebijakan pada partai yang dipimpin oleh Dr Mahathir Mohamad, mempertanyakan peran CA Political, sebuah perusahaan yang terkait dengan Cambridge Analytica, dalam pemilihan umum terakhir Malaysia.

"Perdana Menteri Najib Razak harus menjelaskan apakah dia menggunakan Cambridge Analytica untuk memanipulasi pemilih dalam pemilu presiden ke-13, dan apakah dia akan menggunakan teknik manipulasi yang tidak etis pada pilpres ke-14 mendatang," katanya dalam sebuah pernyataan.

Cambridge Analytica mengklaim di situs mereka bahwa pihaknya tidak membantu Najib memenangkan pemilu presiden Malaysia ke-13.

"Situs CA Political mengatakan bahwa mereka mendukung Barisan Nasional di negara bagian Kedah, dengan target penyampaian pesan kampanye mereka di proyek perbaikan sekolah sejak 2008," tambah Wan Saiful.

Hingga berita ini diturunkan, belum ada tanggapan dari pihak PM Malaysia Najib Razak terkait Cambridge Analytica.

 

 Simak video tentang kecaman terhadap PM Najib Razak akibat beras berikut: 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Skandal Besar Kebocoran Data Facebook

Cambridge Analytica (CA) dilaporkan terlibat dalam skandal besar kebocoran data puluhan juta pengguna Facebook.

Perusahaan yang pernah bekerja dengan tim kampanye Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump, itu dituding menggunakan jutaan data untuk membuat sebuah program perangkat luak yang hebat, sehingga bisa memprediksi dan memengaruhi pemilihan suara.

Cambridge Analytica memiliki keterkaitan dengan dengan mantan kepala penasihat Trump Steve Bannon dan manajer kampanye Trump 2020, Brad Parscale.

Sementara, miliarder pengelola investasi global (hedge fund) sekaligus pendukung Donald Trump, Robert Mercer adalah pemiliknya.

Mengutip dari laporan The Guardian pada Selasa, 20 Maret 2018, hal ini dilakukan untuk menargetkan pengguna Facebook dengan iklan politik yang telah dipersonalisasi.

CA sendiri merupakan perusahaan yang dimiliki oleh miliarder Robert Mercer dan pada saat itu dipimpin oleh penasihat utama Trump, Steve Bannon.

"Kami mengekspolitasi Facebook dan 'memanen' jutaan profil orang-orang. Kami membuat berbagai model untuk mengeksploitasi apa yang kami tahu tentang mereka dan menargetkan 'isi hati' mereka. Itulah dasar keseluruhan perusahaan dibangun," ungkap Wylie.

Dokumen yang dilihat Observer dan dikonfirmasi oleh pernyataan Facebook, menunjukkan bahwa raksasa media sosial itu pada akhir 2015 mengetahui ada kebocoran data yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Namun, Facebook saat itu dinilai gagal memperingatkan para pengguna, kemudian hanya melakukan sedikit upaya untuk memulihkan dan mengamankan informasi lebih dari 50 juta penggunanya.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.