Sukses

Pakistan Terancam Kembali Masuk Daftar Negara Penyokong Dana Teroris

Pakistan pernah berada di daftar pendanaan teroris pada 2012-2015, tahun ini negara tersebut berharap tak lagi ada di dalamnya.

Liputan6.com, Islamabad - Amerika Serikat dan sekutunya di Eropa berusaha memasukkan Pakistan dalam daftar pendanaan teroris global. Alasannya, karena gagal mematuhi peraturan antiteroris dan peraturan anti-pencucian uang.

Mereka mengajukan kasus itu ke Financial Action Task Force (FATF), badan global yang memerangi pendanaan teroris dan pencucian uang, pada sebuah pertemuan yang akan ditutup akhir Februari ini di Paris.

"Saya berharap masyarakat internasional tidak melakukan tindakan yang menghambat usaha kami memerangi terorisme," kata Menteri Dalam Negeri Pakistan, Ahsan Iqbal, kepada media seperti dikutip dari VOA Indonesia, Selasa (21/2/2018).

Sebuah laporan yang diterbitkan mengatakan Iqbal menyebut upaya Washington itu sebagai penghinaan terhadap pengorbanan negaranya dalam perang melawan teror.

Pakistan pernah masuk dalam daftar itu pada 2012-2015.

Sebelumnya, Amerika Serikat juga pernah memangkas hampir seluruh bantuan keamanan ke Pakistan. Mereka mengatakan, negara yang beribu kota di Islamabad itu telah gagal menangani jaringan teroris yang beroperasi di wilayahnya.

Departemen Luar Negeri AS mengatakan, pembekuan itu akan tetap dilakukan sampai Islamabad melakukan tindakan untuk memerangi jaringan Haqqani dan Taliban Afghanistan.

Presiden Amerika Serikat Donald Trump menuduh Pakistan telah berbohong dan menipu AS meski telah menerima bantuan keamanan dan jumlah besar. Selain itu, Trump juga menuduh Pakistan menampung teroris.

"AS sangat bodoh sekali, memberikan Pakistan lebih dari US$ 33 miliar bantuan kepada mereka selama 15 tahun. Namun, mereka tak memberikan apa pun kecuali kebohongan dan menipu AS. Mereka anggap pemimpin kita semua bodoh. Mereka melindungi teroris yang selama ini diburu AS di Afghanistan. Tidak lagi-lagi!" kicau Trump dalam akunnya.

Dikutip dari BBC 5 Januari 2018, Pemerintahan Trump telah menunda menyerahkan bantuan militer senilai US$ 255 juta kepada Pakistan.

Dalam mengumumkan pembatasan tersebut, juru bicara Departemen Luar Negeri AS, Heather Nauert, mengatakan bahwa dia belum bisa memberikan jumlah pasti dari bantuan yang dipotong.

Nauert mengatakan, Pemerintah AS menganggap bahwa jaringan Taliban Afghanistan dan Haqqani telah mengacaukan wilayah Pakistan dan menargetkan personel militer AS.

Departemen tersebut juga menempatkan Pakistan dalam daftar pengawasan khusus atas pelanggaran berat atas kasus kebebasan beragama.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Upaya Pakistan Basmi Teroris

Meski dianggap gagal mematuhi peraturan antiteroris dan peraturan anti-pencucian uang, Pakistan tengah berupaya keras untuk melawan terorisme.

Upaya tersebut terbukti berhasil, tetapi pemerintah juga perlu menerapkan pendekatan yang lebih keras terhadap para fasilitator teroris, kata analis politik dan keamanan.

"Sekarang Pakistan harus memastikan untuk tidak membiarkan saja para fasilitator teroris," kata Rasul Baksh Raees, seorang pakar politik Pakistan.

Raees mengatakan kepada VOA bahwa rencana tindakan nasional yang komprehensif dan terdiri dari 20 butir, yang melibatkan badan-badan intelijen, polisi, pemerintah, dan tentara, telah berhasil menurunkan tajam serangan teror. Raees memberikan komentar ini menjawab pertanyaan mengenai laporan baru yang mengemukakan penurunan signifikan terorisme dan kekerasan sektarian dalam beberapa tahun terakhir.

Laporan Otoritas Kontra-Terorisme Nasional, NACTA, menyimpulkan bahwa pasukan keamanan telah menewaskan lebih dari 1.800 militan dan menangkap sekitar 5.500 tersangka teroris sejak rencana tindakan itu diterapkan dua tahun lalu.

Laporan itu merekomendasikan agar langkah-langkah konkret diambil untuk memutus aliran uang untuk teroris, sementara memuji upaya NACTA mengumpulkan data mengenai warga yang dicurigai yang telah berkunjung ke negara-negara yang dikoyak perang dan mungkin bergabung dengan ISIS.

Saksikan juga video berikut ini:

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.