Sukses

Ahli: Penjara Korea Utara Sama Buruknya dengan Kamp Nazi

Panel yang terdiri dari tiga hakim menyimpulkan bahwa rezim Korea Utara melakukan 10 dari 11 kejahatan perang yang diakui internasional.

Liputan6.com, Tokyo - Penjara politik Korea Utara sama atau mungkin lebih buruk dibanding kamp konsentrasi Nazi era Holocaust. Hal tersebut diungkapkan seorang hakim yang juga korban selamat dari kamp Auschwitz setelah ia mendengar kesaksian dari mantan tahanan dan penjaga penjara politik Korea Utara.

Thomas Buergenthal, yang bertugas di Pengadilan Internasional, adalah satu dari tiga ahli hukum yang menyimpulkan bahwa pemimpin Korea Utara Kim Jong-un harus diadili atas kejahatan terhadap kemanusiaan. Alasannya adalah rezim Kim Jong-un menggunakan penjara politik brutal untuk mengendalikan rakyat.

"Saya percaya bahwa kondisi di kamp penjara Korea Utara sama mengerikannya atau bahkan lebih buruk dibanding yang pernah saya lihat dan saya rasakan di masa muda di kamp-kamp Nazi dan karier profesional saya yang panjang di bidang HAM," kata Buergenthal seperti dikutip dari The Washington Post pada Selasa (12/12/2017).

Semasa kecilnya, Buergenthal pernah merasakan menghuni kamp Nazi, di antaranya Auschwitz, Sachsenhausen, dan Kielce Ghetto.

Buergenthal merupakan bagian dari panel yang beranggotakan Navi Pillay dan Mark Harmon. Pillay adalah orang Afrika Selatan yang memimpin Pengadilan Pidana Internasional untuk Rwanda dan kemudian menjadi Komisaris Tinggi PBB untuk HAM. Adapun Harmon adalah hakim Amerika Serikat yang menangani kasus kejahatan Perang Yugoslavia dan Kamboja.

Panel ini mendengar kesaksian dari mantan tahanan, sipir, dan ahli sebagai bagian dari penyelidikan yang diprakarsai International Bar Association (IBA).

Laporan yang dihasilkan panel ini menemukan bahwa ada bukti untuk membebankan rezim Kim Jong-un dengan 10 dari 11 kejahatan perang yang diakui internasional, termasuk pembunuhan, perbudakan, penyiksaan, dan kekerasan seksual. Satu-satunya kejahatan perang yang tidak dilakukan rezim Korea Utara adalah apartheid.

"Ini benar-benar sebuah kekejaman pada level maksimum, di mana seluruh masyarakat dikenai intimidasi," tutur Pillay.

Tiga generasi Kim -- Kim Il-sung, Kim Jong-il dan Kim Jong-un -- telah memerintah Korea Utara sebagai negara totaliter. Siapa pun yang "menggugat" pemimpin atau mempertanyakan sistem pemerintahan akan dihukum kerja paksa -- sering kali seumur hidup dan beserta tiga generasi di keluarga mereka demi menghilangkan apa yang disebut "benih" musuh negara.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

130 Ribu Warga Korut Mendekam di Kamp Tahanan

Para ahli memperkirakan ada 130 ribu warga Korea Utara yang ditahan di empat kamp besar, di mana mereka dipaksa melakukan kerja rodi. Dengan pemberian makanan, pakaian dan pemanas yang tak memadai, sering kali tenaga mereka dimanfaatkan di pertambangan.

Rezim Korea Utara dilaporkan juga mengoperasikan kamp untuk menempatkan tahanan yang melakukan pelanggaran lebih rendah. Meski sama brutalnya, tahanan menjalani masa kurungan yang jelas.

Pelanggaran HAM ekstensif Korea Utara didokumentasikan dalam laporan Komisi Penyelidikan PBB 2014. Sejak saat itu, International Bar Association memutuskan melakukan penyelidikan secara khusus ke kamp-kamp penjara politik.

Panel yang terdiri dari Buergenthal, Pillay, dan Harmon mendengarkan kesaksian dan membaca keterangan tertulis dari mantan tahanan dan sipir penjara Korea Utara periode 1970 dan 2006.

Seorang tahanan yang selamat mengatakan, ia dilucuti dan digantung terbalik, dipukuli, disiksa dengan api atau air dan air yang dicampur dengan lada pedas pernah dituang dalam hidung dan mulutnya.

Panel menekankan ada banyak alasan untuk percaya bahwa kamp-kamp penjara politik masih beroperasi mengingat empat kamp utama tertangkap jelas dalam citra satelit Korea Utara.

Sebagai "pemimpin tertinggi" Korea Utara, Kim Jong-un pada akhirnya akan bertanggung jawab atas tindak kejahatan perang yang terjadi di kamp-kamp penjara. Demikian kesimpulan laporan panel tersebut.

Selain Kim Jong-un, pejabat di Partai Buruh dan Kementerian Keamanan Negara disebut juga akan ikut bertanggung jawab.

Korea Utara sendiri pernah dengan tegas menolak menjalankan kamp kerja paksa bagi tahanan politik. Seorang diplomat senior dalam misi Korea Utara ke PBB pada 2014 mengatakan bahwa itu semua adalah penjara biasa.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.