Sukses

4 Kebijakan 'Aneh' dalam Krisis Qatar Vs Negara-Negara Teluk

Arab Saudi dan delapan negara lainnya tak hanya memutuskan hubungan dengan Qatar, tetapi juga mengeluarkan kebijakan lain.

Liputan6.com, Doha - Pada 5 Juni 2017, tiga negara Gulf Cooperation Council (GCC) Arab Saudi, Uni Emirat Arab dan Bahrain, mengumumkan keputusan mengejutkan: memutuskan hubungan diplomatik dengan Qatar. Negara itu dianggap mendukung ekstremisme dan terorisme.

Blokade lantas dilakukan di darat, laut, dan udara. Belakangan, enam negara lainnya juga mengumumkan hal serupa.

Sejumlah kebijakan susulan lantas dikeluarkan. Dari yang melarang maskapai Qatar Airways melintasi langitnya, memutus pasokan makanan, hingga menghukum siapapun yang menunjukkan simpati pada negara tersebut. 

Di sisi lain, Qatar tak mau tunduk. Menteri Keuangan Qatar Ali Shareef Al Emadi mengatakan, tak hanya pihaknya yang dirugikan terkait pengucilan itu. 

"Banyak orang mengira kami adalah satu-satunya yang rugi dalam hal ini...jika kita kehilangan satu dolar, mereka juga akan kehilangan satu dolar," tegas Al Emadi yang merujuk pada Dewan Kerja Sama Teluk dalam wawancaranya dengan CNBC.

Al Emadi menambahkan, keretakan politik yang melanda kawasan Teluk sangat disayangkan, karena memicu ketidaknyamanan warga. "Keluarga yang tinggal di negara-negara (yang terlibat krisis) ini terganggu."

Berikut empat kebijakan yang paling menonjol, yang bahkan dirasa aneh oleh sebagian orang, dari keputusan negara-negara Teluk melawan Qatar, seperti dirangkum dari Al Jazeera dan berbagai sumber pada Senin (12/6/2017):

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 5 halaman

1. Memutuskan Tali Kekeluargaan

Blok yang dipimpin Saudi mengeluarkan perintah keluar paksa terhadap warga negaranya sendiri, dan juga warga negara Qatar di negara mereka. 

Warga Qatar yang tinggal di Arab Saudi, UEA dan Bahrain diberi waktu dua minggu untuk pergi dan kembali ke Qatar. Warga Saudi, Emirati, dan Bahrain yang tinggal di Qatar diberitahu oleh pemerintah mereka untuk segera kembali atau menghadapi konsekuensi serius.

Ribuan individu dan keluarga menderita di bawah perintah ini, karena hubungan keluarga dan relasi yang mendalam antara negara-negara GCC. Itu berarti, ada sejumlah besar keluarga di mana satu pasangan adalah orang Qatar dan yang lainnya adalah warga negara dari negara GCC yang lain.

Keluarga-keluarga ini berpisah. Ibu warga negara Qatar yang tinggal di Saudi, UEA atau Bahrain menanggung akibat keputusan ini. Mereka terpaksa meninggalkan anak-anak mereka, yang hanya memiliki kewarganegaraan ayah mereka.

Meski demikian, Qatar menegaskan akan mengizinkan warga dari negara yang memutuskan hubungan diplomatik, tetap tinggal di wilayah negaranya.

Sebuah pernyataan yang dilansir media pemerintah Qatar menyatakan Doha "tidak akan mengambil tindakan apa pun terhadap warga yang berasal dari negara-negara yang memutuskan hubungan diplomatik atau menarik perwakilan diplomatik dengan Qatar," demikian melansir Al-Araby.

3 dari 5 halaman

2. Memenjarakan Simpatisan Qatar

Sebuah simpati yang luar biasa untuk Qatar yang diungkapkan oleh pengguna media sosial di seluruh negara GCC menciptakan mimpi buruk bagi negara-negara yang memutuskan hubungan.

Akibatnya, mereka mengambil langkah untuk mengintimidasi warganya yang mengungkapkan pendapat yang menentang kebijakan mereka.

Jaksa Agung UEA Hamad Saif al-Shamsi mengumumkan, bahwa setiap keberatan atas tindakan ketat UEA terhadap pemerintah Qatar atau ungkapan simpati kepada Qatar akan menjadi kejahatan yang dapat dihukum dengan hukuman penjara 3-15 tahun dan denda tidak kurang dari 500 ribu dirham atau setera dengan Rp 1,8 M, baik di platform media sosial atau melalui media tertulis atau lisan, demikian seperti dikutip dari CNN.

Shamsi menambahkan, bahwa UEA telah mengambil tindakan tegas terhadap Qatar sebagai akibat dari "kebijakannya yang tidak bersahabat dan bertanggung jawab terhadap UEA dan sejumlah negara di Teluk dan Arab". Dia mencatat, bahwa pelanggaran ini akan dituntut sesuai dengan hukum cybercrime, karena dianggap berbahaya bagi kepentingan dan stabilitas sosial bangsa yang lebih tinggi.

Shamsi menyatakan, bahwa jaksa penuntut umum akan menerapkan undang-undang tentang pelaku yang bersalah atas apa yang dia sebut "kejahatan". Dia menekankan, bahwa keputusan ini diambil untuk menjaga keamanan nasional UEA.

Kriminalisasi simpati dengan Qatar diimplementasikan juga di Arab Saudi dan Bahrain dengan sedikit perbedaan dalam hukuman penjara dan denda.

Kementerian Dalam Negeri Bahrain menyatakan, "setiap ekspresi simpati dengan pemerintah Qatar atau oposisi terhadap tindakan yang diambil oleh pemerintah Bahrain, baik melalui media sosial, Twitter atau bentuk komunikasi lainnya, merupakan tindak pidana yang dapat dihukum hingga lima tahun penjara dan denda ".

4 dari 5 halaman

3. Menutup Layanan Pos

Pada tanggal 8 Juni, Emirates Post Group, sebuah badan pemerintah, mengumumkan bahwa semua layanan pos ke Qatar akan dihentikan sesuai dengan instruksi dari pemerintah UEA.

Kelompok tersebut selanjutnya menyatakan, bahwa semua kantor pos di negara tersebut telah diberitahu untuk berhenti menerima surat yang dikirim ke Qatar.

5 dari 5 halaman

4. Organisasi Amal

Pada tanggal 8 Juni, Arab Saudi, Bahrain, UEA dan Mesir mengeluarkan siaran pers bersama, di mana mereka menunjuk sejumlah individu dan organisasi di Qatar sebagai "teroris".

Daftar tersebut mencakup 59 orang, termasuk Yusef al-Qaradawi, ketua Persatuan Cendekiawan Muslim Internasional, serta 12 badan termasuk Qatar Charity dan Eid Charity.

Namun, PBB merespons, bahwa sejumlah badan amal itu mengirim bantuan kepada negara-negara di mana rakyatnya mengalami tekanan konflik dengan ekstremisme.

Stephane Dujarric, juru bicara sekretaris jenderal PBB, mengatakan bahwa PBB memiliki kerjasama yang kuat dengan Qatar Charity, termasuk sejumlah proyek gabungan yang sedang dilaksanakan di Yaman, Suriah dan Irak.

Seorang pejabat di Kementerian Luar Negeri Qatar mengatakan, bahwa menuduh Qatar Charity "terorisme" tidak hanya memfitnah pekerjaan amal kemanusiaan, tetapi juga merupakan pelanggaran terhadap standar dan peraturan internasional.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.