Sukses

Soal Perdamaian Palestina-Israel, Donald Trump Mencla-Mencle?

Pemerintahan Trump mengisyaratkan akan terjadi pergeseran kebijakan dalam menyikapi konflik Palestina-Israel.

Liputan6.com, Washington, DC - Amerika Serikat (AS) selama ini mengedepankan two state solution--solusi dua negara--dalam penyelesaian konflik Palestina-Israel. Namun di bawah kepemimpinan Donald Trump, Washington terindikasi memiliki kebijakan berbeda.

"Jadi, saya melihat two states dan one states. Saya akan sangat senang dengan satu pilihan yang disukai kedua belah pihak," ujar Presiden Trump seperti dilansir BBC, Kamis, (16/2/2017).

"Saya pikir untuk sementara waktu, two state tampaknya lebih mudah bagi kedua belah pihak. Sejujurnya, jika Israel dan rakyat Palestina senang--saya turut senang dengan apa yang mereka paling sukai," tambah Trump.

Menurut Trump, pada akhirnya terserah pada kedua belah pihak bagaimana mereka akan mencapai kesepakatan damai.

Dalam konferensi persnya dengan Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, Presiden Trump berjanji untuk menghadirkan perjanjian perdamaian yang "luar biasa" bagi kedua negara. Tapi ditegaskannya, Palestina-Israel harus bernegosiasi.

Sejak tahun 2014, Israel dan Palestina tidak pernah terlibat dalam pembicaraan damai yang substantif.

Trump juga meminta Israel untuk "sedikit menahan diri" dalam membangun pemukiman. Sejak Trump menjadi orang nomor satu di AS, Israel telah menyetujui pembangunan ribuan pemukiman baru di Tepi Barat dan Yerusalem Timur.

Namun bagaimanapun dalam konferensi pers, kedua pemimpin tersebut tidak secara eksplisit kembali pada gagasan tentang Palestina yang berdaulat di masa depan, sebuah landasan lama dari kebijakan AS.

Kunjungan PM Israel ke Washington jelas diharapkan dapat memperbaiki hubungan yang lebih baik dengan Gedung Putih setelah delapan tahun penuh "gesekan" semasa AS dipimpin oleh Barack Obama.

Sementara itu, pada saat yang sama ketika disinggung soal two state solution, PM Netanyahu menekankan, ia akan fokus pada "substansi" bukan "label".

"Ada dua prasyarat bagi perdamaian. Pertama, Palestina harus mengakui negara Yahudi. Kedua, dalam setiap perjanjian damai, Israel harus mempertahankan kontrol keamanan di seluruh wilayah barat dari Sungai Yordania," kata Netanyahu.

Two state solution atau solusi dua negara merupakan tujuan yang diproklamirkan oleh pemimpin Palestina dan Israel serta masyarakat internasional. Singkatnya, melalui kesepakatan ini, akan lahir sebuah negara Palestina yang merdeka yang hidup damai berdampingan dengan Israel.

Selama ini, PBB, AS, Uni Eropa, Rusia, dan Liga Arab secara rution menegaskan kembali komitmen mereka tentang konsep perdamaian two state solution ini.

Menanggapi pernyataan Trump dan Netanyahu, Presiden Palestina Mahmoud Abbas kembali menekankan, pihaknya masih setia dengan two state solution. Palestina juga mendesak AS untuk menunjukkan sikap serupa.

Palestina juga menyatakan siap terlibat dalam kebijakan yang positif dengan pemerintahan Trump. Di lain sisi, Presiden Abbas setuju dengan pernyataan Trump yang meminta Israel untuk menunda pembangunan pemukiman.

Kepindahan Kedubes AS

Dalam pertemuan Trump dan Netanyahu, presiden AS itu ditanya soal janji pemilunya, yakni memindahkan kedutaan besar AS di Israel dari Tel Aviv ke Yerusalem. Langkah yang disebut-sebut dapat memiliki implikasi serius bagi perundingan damai.

Trump sendiri menyiratkan bahwa ia masih tetap dengan sikapnya.

"Sejauh ini pemindahan kedubes ke Yerusalem, saya ingin melihat hal tersebut terjadi. Dan kami menginginkan itu, sangat sangat kuat. Kami melihat hal tersebut dengan kehati-hatian yang tinggi. Dan kita lihat saja apa yang akan terjadi," ungkap suami Melania Trump tersebut.

Ini merupakan pertemuan pertama Netanyahu dan Trump pasca-pergantian kepemimpinan di AS.

Pada Selasa waktu setempat, seorang pejabat senior di Gedung Putih kembali mengisyaratkan pergeseran kebijakan potensial AS terkait konflik Palestina-Israel. Ia mengatakan, perdamaian tidak perlu mewujudkan sebuah negara Palestina yang merdeka dan Trump tidak akan mencoba untuk "mendikte" solusi.

Lebih dari 600.000 warga Yahudi tinggal di sekitar 140 pemukiman yang dibangun sejak pendudukan Israel tahun 1967 di Tepi Barat dan Yerusalem Timur. Dari sisi hukum internasional, pemukiman tersebut dianggap ilegal meski Israel terus membela diri.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.