Sukses

'Keajaiban' Warisan Leluhur Selamatkan Warga dari Tsunami Aceh

Kearifan lokal soal mitigasi bencana yang dimiliki masyarakat Simeulue membuat mereka sigap menyelamatkan diri saat tsunami 2004 menerjang.

Liputan6.com, Jakarta - Dunia masih ingat akan gempa berkekuatan 9,1 skala Richter dan tsunami yang menerjang Aceh pada 26 Desember 2004. Peristiwa yang menjadi salah satu bencana alam paling mematikan sepanjang sejarah itu menewaskan lebih dari 200.000 orang.

Namun, hanya terdapat tujuh korban jiwa di Simeulue. Padahal, kabupaten itu terletak di dekat episentrum atau titik gempa dan menjadi salah satu daerah terparah yang dilanda tsunami.

Kesiapan dalam menghadapi bencana menjadi faktor yang membuat "keajaiban" itu terjadi. Uniknya, hal tersebut tidak diperoleh penduduk melalui pendidikan formal yang mereka dapatkan di sekolah atau penyuluhan dari pemerintah, melainkan kearifan lokal yang diturunkan dari generasi ke generasi.

Ditemui Liputan6.com dalam World Tsunami Awareness Day Symposium, salah satu korban selamat gempa dan tsunami Aceh 2004 sekaligus peserta High School Students Summit on World Tsunami Awareness Day di Jepang, Muhammad Haikal Razi, bercerita secara singkat tentang kearifan lokal yang dimiliki oleh masyarakat Simeulue.

"Mereka memiliki kearifan lokal yang sangat unik, di mana ada semacam syair. Jadi ibu-ibu kalau mau meninabobokan anak-anaknya dinyanyikan syair itu. Bunyi syair itu kurang lebih kalau tiba-tiba gempa besar dan air laut tiba-tiba surut segeralah lari ke tempat yang lebih tinggi," ujar siswa kelas 11 SMAN 1 Banda Aceh itu pada Kamis (15/12/2016).

"Jadi syair itu selalu diperdengarkan dari generasi ke generasi. Itulah yang menyebabkan pada saat 2004 hanya tujuh orang saja yang menjadi korban, sedangkan di daerah lainnya sampai 167 ribu orang lebih yang jadi korban," ujar Haikal. Ia menambahkan, oleh masyarakat Simeulue, tsunami juga disebut dengan smong.

Selain bercerita soal kearifan lokal terkait mitigasi bencana yang dimiliki oleh Masyarakat Simeulue, Haikal juga menyebut soal Inamura no Hi, yakni cerita tentang local wisdom yang dimiliki masyarakat Jepang.

Akibat keganasan tsunami Aceh 11 tahun yang lalu, tercatat ada sekitar 250.000 orang yang menjadi korban.

Kisah Inamura no Hi berawal pada 5 November 1854, di mana tsunami besar yang terjadi setelah gempa bumi Ansei Nankai mengguncang semenanjung Kii (saat ini bernama Kota Hirokawa). Seorang pimpinan desa bernama Hamaguchi Goryo menyadari akan terdapat tsunami besar setelah merasakan guncangan gempa bumi dan penurunan ketinggian air di sumur.

Goryo pun membakar api di tumpukan ikatan-ikatan padi di sawah yang ia miliki. Hal itu dilakukannya untuk memberitahu bahaya besar, sehingga penduduk bisa menyelamatkan diri ke tempat yang lebih tinggi.

Usaha Goryo tak sia-sia. Penduduk menyadari bahwa api tersebut merupakan tanda yang dapat menyelamatkan nyawa mereka.

Jasanya tidak berhenti sampai di sana. Goryo menanamkan kesadaran mitigasi bencana dan kesiapan masyarakat sebagai kesiapsiagaan pada tsunami yang akan terjadi pada masa depan.

Dengan uang pribadi miliknya, ia mendirikan tanggul ombak setinggi 5 meter dengan panjang 600 meter. Goryo juga menanam pohon di pesisir untuk mengurangi dampak dan kerugian tsunami. Semangatnya terkait penanganan tsunami masih diteruskan hingga saat ini.

Kejadian Inamura no Hi menjadi dasar mengapa tanggal 5 November dijadikan sebagai Hari Tsunami Dunia. Pada peringatannya yang pertama, tema "Live To Tell" bertujuan untuk mempromosikan pendididkan pencegahan bencana dan latihan evakuasi yang efektif.

Sebagai bagian dari acara Hari Tsunami Dunia, Jepang menyelenggarakan High School Students Summit on World Tsunami Awareness Day di Kuroshio pada 25-26 Desember 2016. Kegiatan tersebut dihadiri oleh 30 negara dari seluruh dunia, termasuk Indonesia.

Muhammad Haikal Razi (kiri) dan Wika Andriani dalam World Tsunami Awareness Day Symposium di Jakarta (Liputan6.com/Citra Dewi)

Selain menghadari konferensi, Haikal yang merupakan salah satu peserta kegiatan tersebut bercerita bahwa para peserta juga mengunjungi beberapa kota di Jepang, salah satunya Wakayama. Di sana mereka mengunjungi situs-situs tsunami seperti Inamura no Hi Yakata dan berkunjung ke beberapa sekolah.

"Kami salut pada pemerintah Jepang, di mana mereka sangat concern dalam mengedukasi generasi muda mereka untuk siap menghadapi bencana. Sedangkan di Indonesia kita tidak memiliki kurikulum khusus tentang kebencanaan," ujar Haikal kepada Liputan6.com.

"Jadi kami belajar dari Jepang bahwa mereka sangat concern dalam menghadapi bencana karena mereka tahu bahwa bencana dapat datang kapan saja dan dari mana saja. Jadi kita harus siap menghadapi bencana. Kita tidak bisa menghindari bencana tapi kita bisa mengurangi risko dari bencana," kata remaja yang lahir pada 14 April 1999 tersebut.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini