Sukses

Grup Sayap Kanan Pendukung Trump Suruh Pemilih Hillary Bunuh Diri

Pemantau gerakan kebencian khawatir ancaman di internet pendukung Trump terhadap pemilih Hillary bisa terwujud di dunia nyata.

Liputan6.com, Washington, DC - Kemenangan Donald Trump sebagai presiden AS telah menimbulkan berbagai pergolakan di dalam negeri. Tak hanya demonstrasi besar-besaran yang tiap malam digelar di berbagai kota, beberapa aksi kekerasan terhadap pendukung Hillary Clinton pun dilaporkan terjadi.

Bukan rahasia umum jika Trump didukung oleh gerakan white supremacy. Setelah terpilih, kelompok itu dengan sinis menyuruh pemilih Hillary untuk bunuh diri.

Hal itu terkuak lewat sebuah laman yang dimiliki oleh neo-Nazo, Daily Stromer. Situs itu merilis daftar lebih dari 50 akun Twitter yang mengekspresikan ketakutannya akan hasil pilpres 2016, dan meminta para pembacanya untuk 'menghukum' mereka dengan serangan balasan di media sosial sehingga membuat mereka makin depresi hingga bunuh diri.

"Kalian bisa mengancam orang-orang ini hingga mereka tak tahan lalu bunuh diri," tulis penerbit Daily Stromer, Andrew Anglin, seperti dikutip dari USA Today, Kamis (17/11/2016).

Para ahli yang telah mempelajari grup pembenci mengatakan para white supremacy melihat terpilihnya Trump adalah kemenangan ideologi serta penangkalan dari multikulturalisme. Hasil dari pilpres ini membuat mereka bangkit dan menyerang lewat dunia maya.

"Kami ingin mendengar lebih banyak cerita tentang ini-- berbagai bentuk kekerasan terhadap perempuan, orang kulit berwarna, muslim, yang terkait dengan retorik atau gerakan sayap kanan," kata Sophie Bjork-James, ilmuan post-doctoral dari departemen Antropologi di Vanderbilt University.

Daily Stromer meminta para pembacanya untuk mem-bully muslimah, dan "teriak kepada mereka, usir mereka dan suruh pulang ke tempat mereka berasal."

Setidaknya ada dua perempuan di Twitter yang namanya berada dalam daftar mengaku menjadi subjek kekerasan di dunia maya.

Salah satu pendukung Hillary di Orlando, merasa hasil pemilu kali ini akan membawa AS terpuruk.

"Aku tak pernah merasa seputus asa ini, setakut ini akan nasibku dan masa depan AS. Aku bahkan tak bisa bergerak sekarang, dan takut," tulis akun bernama Jennifer Soto Seguno dalam Twitter.

Keesokan harinya, ia mendapati ratusan mention berisi pesan kekerasan. Salah satunya adalah menyuruhnya masuk ke ruangan gas beracun bahkan deportasi. Semenjak saat itu ia men-setting Twitternya privat.

"Aku tak percaya dengan kelakuan mereka. Tak hanya menuangkan kebencian di website tapi menyerang lewat sosial media. Dan kebanyakan mereka berpikir itu sesuatu hal yang lucu," kata Segunde kepada USA Today.

"Ini keterlaluan, kekanak-kanakan. Mereka adalah pria dan wanita dewasa yang harusnya malu dengan kelakuan seperti itu," lanjutnya.

Pemantau gerakan kebencian khawatir ancaman pendukung Trump di internet bisa terwujud di dunia nyata. Beberapa sekolah dan kepolisian di berbagai negara bagian AS mengaku mendapat laporan coret-coretan bernada rasis di gedung mereka di hari kedua hasil pemilu.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.