Sukses

Ini 3 'Pertanda' Perang Dunia III Berpotensi Pecah?

Sejumlah orang khawatir, memanasnya hubungan AS-Rusia dan konflik di Suriah bisa memicu Perang Dunia III. Benarkah?

Liputan6.com, Moskow - Situasi terkini dunia mengingatkan banyak orang pada Perang Dingin (1947-1991), periode ketegangan politik dan militer antara Barat atau Amerika Serikat serta sekutunya, melawan Komunis yang dipimpin oleh Uni Soviet bersama negara-negara satelitnya.

Hubungan Negeri Paman Sam dan Rusia saat ini berada di titik paling rendah sejak Perang Dingin, menyusul pertentangan sikap antara pihak Gedung Putih dan Kremlin soal konflik Suriah.

AS mendukung pihak pemberontak yang ingin menggulingkan pemerintah. Di sisi lain, Rusia adalah sekutu terkuat Presiden Bashar al-Assad.

AS juga menuding Rusia melancarkan peretasan email sejumlah tokoh AS salah satunya, capres Partai Demokrat, Hillary Clinton -- sebagai upaya mengintervensi .

Rusia telah membantah tuduhan ini. Mereka justru balik menuding AS lah yang telah melakukan peretasan.

Sementara itu Rusia juga dilaporkan telah menangguhkan serangkaian pakta nuklir termasuk kesepakatan kerjasama simbolik untuk memangkas stok plutonium--bahan pembuatan senjata nuklir.

Kedua pemimpin, Barack Obama dan Vladimir Putin berkali-kali menggelar pertemuan tak resmi di tiap acara konferensi. Namun, tak satupun menghasilkan kata sepakat.

Di tengah konflik antarnegara 'superpower', ketegangan di sejumlah titik panas di sejumlah lokasi dunia, serangan teroris, dan sejumlah persoalkan lain -- sejumlah orang khawatir, Perang Dunia III bakal kembali terjadi. 

Berikut 3 'sinyal' yang dianggap menandakan Perang Dunia III bisa saja terjadi, setidaknya pada masa depan:

1. Rusia Panggil Pulang Warganya

Rusia diklaim telah memerintahkan seluruh pejabatnya untuk memboyong keluarga mereka kembali pulang ke Tanah Air. Peringatan ini muncul seiring dengan meningkatnya ketegangan berlatar prospek perang global.

Sejumlah politisi dan tokoh tingkat tinggi Negeri Beruang Merah itu mengklaim telah menerima peringatan dari Presiden Vladimir Putin untuk membawa orang-orang yang mereka cintai kembali pulang ke Rusia.
Imbauan itu muncul setelah Putin membatalkan rencana kunjungannya ke Prancis menyusul 'kemarahan' yang muncul atas keterlibatan Moskow dalam perang Suriah.

Ternyata, pernyataan serupa tak hanya disampaikan Putin, namun juga mantan pemimpin Soviet, Mikhail Gorbachev. Ia memperingatkan bahwa dunia tengah berada dalam 'titik berbahaya' seiring dengan meningkatnya ketegangan antara Rusia dan AS.

Menurut situs Rusia, Znak.com, seluruh staf administrasi, kepala daerah, anggota parlemen dari semua tingkatan dan karyawan perusahaan publik telah diperintahkan untuk mengeluarkan anak-anak mereka dari sekolah asing sesegera mungkin.

Jika gagal untuk melaksanakan perintah maka peluang mereka untuk mendapat promosi jabatan akan terancam. Demikian media lokal melaporkan.

Kendati demikian alasan pasti di balik imbauan pemerintah Rusia itu disebut belum sepenuhnya jelas. Namun perang sebagai indikator utama tak bisa dipungkiri.

"Ini semua adalah bagian dari langkah-langkah untuk mempersiapkan elite dalam menghadapi "perang besar"," ujar Analis Politik Rusia, Stanislav Belkovsky kepada Daily Star seperti dilansir Daily Mail.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

2. Pergerakan AS Versus Rusia

Rusia dikabarkan telah memindahkan rudal berkemampuan nuklirnya ke dekat perbatasan Rusia-Polandia.

Rudal Iskander dikirim ke Kaliningrad, kawasan yang merupakan kantong Rusia di Laut Baltik--terletak di antara negara-negara anggota NATO, Polandia dan Lithuania.

Pejabat Polandia mendeskripsikan langkah ini sebagai salah satu 'isu penting'.

Negeri Beruang Merah juga baru saja meluncurkan misil barunya, Topol, yang diklaim sebagai yang tercepat sedunia.

Rusia meluncurkan misil itu dari kapal selam di Laut Barents pada Rabu 12 Oktober lalu. Peluncuran ini dilakukan setelah beberapa kali uji coba balistik dilakukan.

Hal tersebut disinyalir sebagai kesiapan Moskow menghadapi konflik internasional di masa depan. Demikian seperti dikutip dari Australian Network News, pada Jumat (14/10/2016).

Pada hari peluncuran, secara bersamaan militer Rusia juga menembakkan misil lainnya dari sebuah pulau di utara Rusia. Dan setelah itu, misil ketiga berupa roket nuklir diluncurkan dari kapal selam di utara laut Jepang.

Rusia juga disinyalir berniat membangkitkan lagi pangkalan militer era Soviet di Mesir, Kuba, dan Vietnam.

Sementara, pada Awal Oktober 2016, AS mengumumkan akan memperbarui sistem misil nuklirnya. Untuk bersiap menghadapi 'serangan' dari Moskow.

Menteri Pertahanan AS, Ash Carter juga telah meminta negara-negara NATO untuk memperbarui senjata nuklir mereka.

Kantor berita Prancis yang dikutip Morning Ledger melaporkan, AS berencana memperbaharui lebih dari 400 misil balistiknya. Termasuk mengganti nuklir Minuteman III yang kini berada di lokasi tersembunyi.

Pihak AS memperkirakan, jika Perang Dunia III pecah, semua akan berlangsung cepat. Hal itu dikemukakan dalam pertemuan tahunan Association of the US Army yang diadakan di Washington DC.

Pejabat militer AS yang datang ke pertemuan itu mengatakan, perlunya kesiapan menghadapi perang."Konflik konvensional di masa depan akan sangat mematikan dan cepat," kata Jenderal William Hix.

Hix juga menyebut perkembangan teknologi yang dicapai China dan Rusia dalam beberapa tahun terakhir. Ia juga memperingatkan bahwa perkembangan tersebut adalah peringatan bagi Gedung Putih untuk mempersiapkan diri.

Pejabat Angkatan Darat lainnya, Letnan Jenderal Joseph Anderson mengatakan, "AS menghadapi ancaman dari negara-negara modern yang bersikap agresif dalam hal kompetisi dalam bidang militer.

Jenderal Mark Milley juga mengungkapkan hal senada. "Jika kita tak bersiap saat ini, tak terbayang tantangan apa yang akan kita hadapi."

3 dari 4 halaman

3. Latihan Hadapi Perang Nuklir

Russia mengadakan latihan evakuasi besar-besaran untuk lebih dari 40 juta orang, sebagai langkah persiapan menghadapi perang nuklir pada awal Oktober 2016.

Lebih dari 200 ribu personel layanan darurat dan tentara dikerahkan, 50 ribu jenis peralatan akan digunakan dalam pelatihan itu.

Negara pecahan Uni Soviet itu beralasan, simulasi diperlukan menyusul kekhawatiran atas perang nuklir. Rusia menyalahkan pihak Barat sebagai pemicu konflik.

Latihan tersebut digelar oleh EMERCOM, Kementerian Darurat Rusia. "Latihan pada 4-7 Oktober diikuti lebih dari 40 juta orang, lebih dari 200 ribu petugas penyelamat profesional, dan 50 ribu perangkat," kata Direktur Departemen Pertahanan Sipil, Oleg Manuilov pada Interfax.

Soal ancaman nuklir juga dikabarkan di media-media Rusia.

"Jika pada suatu hari perang nuklir terjadi, semua orang harus tahu di mana shelter perlindungan bom berada. Sekarang Anda wajib mengetahuinya," kata TV pemerintah Rusia, NTV.

EMERCOM mengumumkan, bunker bawah tanah bisa menampung seluruh populasi di Moskow yang berjumlah 12 juta jiwa -- jika perang pecah.

4 dari 4 halaman

Perang Dunia atau Perang Dingin

Ketidakpastian soal keamanan adalah persoalan nyata yang dihadapi dunia. Namun, seberapa harus kita mengkhawatirkan pecahnya perang global?

Akademisi University of New South Wales, Greg Austin mengatakan, kita punya banyak alasan untuk khawatir, dengan meningkatnya ketegangan di Timur Tengah, Semenanjung Korea, juga Ukraina.

Namun, pria memiliki karir 30 tahun dalam urusan keamanan internasional itu mengatakan, prospek konflik militer skala global, kecil kemungkinan terjadi.

Dunia kini sedang mengawasi tanda-tanda militerisasi, khususnya di pihak Rusia dan China. "Mungkin akan terjadi Perang Dingin baru, namun tak sama dengan yang pertama," kata dia seperti dikutip dari News.com.au.

"Rusia dan China kooperatif soal isu Semenanjung Korea, namun ada pertanda buruknya, mereka melakukan apa yang dilakukan (Donald) Trump, membuat hal besar lagi."

Sementara, pengamat hubungan internasional, Nikolay berpendapat, penggunaan metafora 'perang dingin' menunjukkan ketidakpastian dalam skala global dan ketidakmampuan kita untuk memahami situasi yang terjadi.

Namun kandidat doktor di University of Cambridge itu mempertanyakan soal pepatah, 'sejarah bisa saja berulang'.

"Jelas ada peningkatan ketegangan antara AS dan Rusia di Suriah juga secara bilateral. Namun situasinya berbeda dengan yang terjadi pada masa lalu," kata dia.

"Saat ini yang terjadi bukan kompetisi antara dua kekuatan politik, ekonomi, dan ideologi," kata dia.

Apa yang terjadi antara AS dan Rusia soal Suriah, dia menambahkan, belum memungkinkan untuk memenuhi syarat sebagai pemicu 'perang dunia'.

"Ini adalah persoalan intervensi kekuatan besar di negara-negara lain, yang mengundang reaksi dari kekuatan lain," kata dia. 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini