Sukses

Awas, Bahaya Mengintai Pelari Ultra-Maraton

Para ahli menemukan para pelari sejauh 4.500 kilometer itu berisiko cedera tulang rawan dan penyusutan otak.

Liputan6.com, Berlin - Lari adalah olahraga yang baik bagi kesehatan tubuh, tidak hanya itu, dalam beberapa waktu terakhir olah tubuh itu menjadi kegiatan favorit tua dan muda.

Ada beberapa jenis lari berdasarkan jarak tempuhnya. Umum digunakan adalah lari maraton yang memiliki rute 42 kilometer. Namun, banyak para pelari, tertantang untuk terus belari, yaitu Ultramaraton.

Menurut beberapa ahli, ultramaraton itu tidak hanya membutuhkan stamina luar biasa, namun di balik itu semua ada bahaya yang mengintai, antara lain merusak tulang rawan bahkan membuat otak jadi ciut!

Ultramaraton memiliki jarak tempuh 4.500 kilometer, selama 64 hari, atau lebih dari 4 kali panjang Pulau Jawa. Kegiatan itu pernah diadakan di Eropa pada 2009. Menempuh selatan Italia dan berakhir di Norwegia. Saat itu 100 pelari ikut serta. Mereka berlari tanpa istirahat. Hal itu membuat para ahli bertanya, bagaimana kegiatan itu membahayakan tubuh.

Dokter Uwe Schutz dari University Hospital of Ulm Jerman dan koleganya menghabiskan waktu 6 tahun untuk mencari tahu tentang efek dari ultramaraton.

Pada 2009, Schutz dan tim mengikuti 44 pelari yang telah berlari tanpa henti selama 9 minggu di Eropa. Tim itu membawa pemindai MRI yang dapat dibawa-bawa untuk secara teratur mengecek kaki, tangan, jantung, otak dan sistem kardiovaskluar para atlet. Juga mengecek darah dan urin.

Alat tersebut memindai sambungan kaki dan telapak di tiap 900 kilometer. Schutz dan timnya menghitung air yang keluar dari tulang rawan di tiap hentakan. Mereka menemukan bahwa air menyusut di awal 2.500 kilometer.

Namun, setelah jarak itu, tulang rawan berhasil memulihkan dirinya.

"Dapat disimpulkan, tulang rawan yang menyusut kadar airnya dapat dipulihkan setelah istirahat," kata Schutz dalam seminar tahunan di Chicago, AS seperti dilansir newscientist, Sabtu 5 Desember 2015.

"Kami juga mendapatkan bukti bahwa tulang rawan itu bisa memulihkan dari selama pelari tersebut berlari," tambahnya lagi.

Kendati demikian, perlu diwanti-wanti, cedera joint atau sambungan tulang rawan perlu diperhatikan dengan saksama. Tidak hanya itu, ultramaraton berdampak juga pada otak.

Pada pelari ultramaraton ditemukan otak mereka menyusut secara temporer hingga 6 persen selama mengikuti kegiatan itu.

Penyusutan mungkin disebabkan oleh kelelahan yang luar biasa dan gizi yang tak seimbang. Namun, Schutz memperkirakan, itu terjadi karena kurang stimulasi.

Adapun bagian otak yang terkena dampaknya adalah bagian diproses visual. Mungkin karena disebabkan oleh si pelari hanya fokus pada satu titik saja yaitu jalan rute mereka selama 64 hari.

Namun, lagi-lagi otak kembali ke kondisi semula setelah ultramaraton berakhir. "Susah dijelaskan mengapa, tapi kami melihat otak itu pulih seperti sediakala setelah 6 bulan" ujar Schutz.

Namun, jangan khawatir. Pelari maraton tidak akan mengalami 'kerusakan' seperti itu. Schutz juga menyarankan aeorbik penting untuk stimulus kesehatan otak. Tidak hanya itu, kegiatan tersebut dapat menghilangkan risiko depresi dan dementia.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.