Sukses

Jabidah, Pasukan Rahasia Filipina Untuk Rebut Sabah dari Malaysia

Jabidah dibentuk militer Filipina. Namun misi ini gagal total. Bahkan berujung tragedi Pembantaian Jabidah pada 18 Maret 1968. Bagaimana ceritanya?

Sejak Sabtu 2 Maret 2013, sebagian wilayah Lahad Datu, Sabah menjadi zona merah alias medan tempur antara militer Malaysia dengan sekitar 200 orang pasukan Sulu "berani mati"yang dipimpin Raja Muda Agbimuddin Kiram.

Namun, sejatinya konflik bukan kali ini saja berlangsung. Sudah laten bahkan sempat melibatkan Filipina sebagai negara. Bukan hanya segelintir orang Sulu.

Seperti dimuat situs Filipina GMA News, Sabtu (9/3/2013), kelompok pejuang elit dilatih secara rahasia di sejumlah bagian negara Filipina di tahun 1960-an. Demi sebuah tujuan: mengklaim kembali Sabah dari Malaysia.

Pasukan itu diberi nama Jabidah. Bentukan Angkatan Bersenjata Filipina. Kontingen pejuang Moro dari Sulu, Basilan, dan Tawi-Tawi dilatih di Manila, Corregidor, dan Fort Magsaysay di Nueva Ecija.

Namun misi ini gagal total. Bahkan berujung tragedi Pembantaian Jabidah atau Pembantaian Corregidor yang terjadi pada 18 Maret 1968, hampir 45 tahun lalu.

Pembantaian Jabidah

Pembantaian Jabidah mengacu pada pembunuhan massal sejumlah rekrutan pemuda Moro dari Sulu dan Tawi-Tawi -- berusia 18-30 tahun. Jumlah yang tewas versi Filipina adalah  28-60 orang. Sementara versi pejuang Moro MILF hingga 200 jiwa. Para korban diberondong senjata oleh petugas militer di Pulau Corregidor.

Pasalnya, para pejuang tak hanya menolak melawan saudara sesama muslim di Sabah, tapi mereka bisa saja membunuh saudara mereka sendiri Tausug dan Sama yang tinggal di sana. Mereka yang direkrut juga mengeluhkan gaji yang tak dibayarkan dan menuntut dipulangkan.

Sebuah laporan di situs Pinoy Weekly menyebut, tragedi itulah yang melecut pemberontakan kaum muslim yang berujung pada aksi separatisme di Filipina Selatan.

Jabidah dari Tawi-Tawi

Adalah mayor Eduardo Matelino yang melatih sekitar 200 anggota Jabidah di Kamp Sophia -- yang namanya diambil dari gadis yang dicintai Sang Mayor, Sophia Mirkusin -- di Siminul, Tawi-Tawi. Dua di antaranya adalah Haji Abdul Hakim Akbar dan George Usman. Keduanya lolos dari pembantaian.

Saat kembali dari pelatihan tahun 1967 lalu, Akbar masih ingat kamp seluas dua hektar itu sangat sederhana, hanya terdiri dari barak-barak, dengan sebuah sumur berada di tengah kamp. Kini kamp tersebut telah binasa oleh pepohonan yang tumbuh rapat.

Awalnya, Usman dan Akbar mengira mereka dilatih untuk dijadikan anggota angkatan bersenjata Filipina. Namun belakangan mereka tahu pelatihan yang mereka ikuti demi sebuah operasi militer untuk merebut kembali Sabah. Dengan kode: Operasi Merdeka.

Apa yang akan mereka lakukan jika saat itu mereka jadi dikirim ke Sabah untuk bertempur? "Jelas kami tidak setuju. Kami tidak ingin pergi ke sana," kata Akbar.(Ein)


* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

    Video Terkini