Sukses

Sabah Malaysia Diklaim Ahli Waris Sultan Filipina, Karma?

Wilayah Sabah, Malaysia diklaim oleh sekelompok orang yang mengaku ahli waris dari Kesultanan Sulu, Filipina. Mereka kini menduduki Desa Tanduo di Lahad Datu.

Wilayah Sabah, Malaysia, diklaim oleh sekelompok orang yang mengaku ahli waris dari Kesultanan Sulu, Filipina. Kasus yang membikin pusing pemerintahan negeri jiran, juga Pemerintah Filipina.

Kisruh diawali 12 Februari 2013 lalu, sekitar 100 orang Filipina, mengaku atas perintah Sultan Jamalul Kiram III, menyeberang ke Sabah, dari Mindanao menggunakan kapal.

Mereka menduduki Desa Tanduo di Lahad Datu. Dengan dalil sebagai ahli waris Sultan Sulu, orang-orang itu bersikukuh, Sabah adalah wilayah milik leluhur mereka. Sebuah klaim yang mengundang pertikaian dengan aparat Malaysia.

Mereka tak gentar, tak mau pergi, meski dikepung pasukan Malaysia -- angkatan darat, laut, juga udara. Polisi bersenjata senapan mesin pun memblokade jalan desa.

Orang-orang itu dalam kondisi kurang makan dan air. "Kami tidak akan mengalah, kami tidak akan meninggalkan wilayah itu. Sampai mati," kata Jamalul, seperti dimuat Al Jazeera, (21/2/2013).

Tindakan loyalis Sultan Sulu adalah bentuk protes atas perjanjian damai yang ditandatangani oleh pemerintah Filipina dan pemberontak Muslim Moro Oktober 2012 -- untuk mengakhiri 40 tahun konflik di selatan Filipina. Perjanjian itu dimediasi Malaysia.

Kesepakatan damai yang memberikan kendali besar atas Sulu pada Front Pembebasan Islam Moro (MILF), dianggap mengabaikan Kesultanan. "Saya tidak bisa mengerti apa yang pemerintah lakukan. Bukannya berpihak pada kami, orang Filipina, mereka malah condong ke Malaysia," katanya.

Jamalul mengatakan, buntut dari perjanjian itu, kini pengikutnya menuntut pengakuan dari Malaysia sebagai pemilik sah Sabah serta melakukan negosiasi ulang persyaratan sewa, yang sebelumnya dilakukan dengan perusahaan perdagangan Inggris. Atau dengan kata lain negeri jiran harus mengakui Kesultanan Sulu sebagai pemilik sah Sabah.

Ia merujuk pada sejarah era kolonial Inggris. Di mana Malaysia membayar "uang sewa Sabah" tiap tahun ke Kesultanan Sulu.

Meski bersikukuh tak mau pergi, Jamalul mengatakan, pihaknya membuka ruang negosiasi dengan Malaysia untuk menyelesaikan kebuntuan yang berpotensi mengganggu hubungan bilateral dua negara.

Diselesaikan Damai

Sementara, Menteri Dalam Negeri Malaysia Hishammuddin Hussein, seperti dimuat Manila Standard Today mengatakan, pihaknya akan melakukan segala cara untuk menyelesaikan masalah ini tanpa pertumpahan darah. Membuka ruang negosiasi untuk menemukan solusi terbaik dari kasus ini.

"Namun bukan berarti kami akan menyetujui setiap tuntutan," kata Hishammuddin kepada Bernama.

Bagi Malaysia, kedaulatan adalah harga mati. 

Sementara di Filipina, seorang legislator meminta pemerintah mempertimbangkan untuk menghidupkan kembali klaim atas Sabah di tengah kebuntuan antara pemerintah Malaysia dan ahli waris Sultan Sulu.
 
"Namun harus diselesaikan dengan jalur "diplomatik" dan "damai"," kata perwakilan Bayan Muna,  Teddy Casino seperti dimuat Inquirer News, Kamis (21/2/2013)

Ia menambahkan, klaim ahli waris Kesultanan Sulu punya dasar historis dan legal. Teddy bahkan menyebut, kelompok tersebut bertindak atas nama Filipina secara keseluruhan, "melanjutkan klaim atas Sabah".  "Bukti sejarah menunjukkan, Kesultanan Sulu lebih dulu ada daripada pemerintahan negara yang saat ini ada (Malaysia dan Filipina)," kata dia.

Sejatinya ini bukan masalah baru. Klaim Filipina kali pertama muncul di masa Presiden Diosdado Macapagal, yang mengangkat isu tersebut sebelum PBB  membentuk Federasi Malaysia yang meliputi wilayah Kalimantan Utara -- yang lantas berganti nama menjadi "Sabah," di tahun 1963.

Macapagal mengklaim bahwa wilayah tersebut "diserahkan" kepada pemerintah Filipina oleh Kesultanan Sulu, tetapi orang-orang di Sabah, dalam referendum yang diawasi PBB, memilih bergabung dengan Malaysia.

Karma?

Sementara seorang kolumnis Filipina, Ramob Tulfo, mengatakan, jika Malaysia ceroboh menangani ini, negeri jiran akan menghadapi permasalahan serupa yang dihadapi Filipina saat menghadapi pemberontakan kelompok muslim di tahun 1970-an hingga 1980-an.

Ia mengatakan, jika tindakan represif dilakukan atas kelompok yang menduduki Desa Tanduo di Lahat Datu, itu akan memicu balas dendam dari suku Moro, Tausogs  di Sulu, dan Tawi-Tawi.

Sebaliknya, jika Malaysia kompromis, niscaya negara itu akan dianggap lemah.

Ramob Tulfo lantas menyinggung tindakan Malaysia yang diduga diam-diam mendukung pemberontakan di Filipina Selatan, dalam konflik Filipina-MILF. .

Diduga senjata yang datang dari Libya dan Timur Tengah melewati Malaysia dalam perjalanan ke markas MNLF. "Yang terjadi saat ini adalah kebalikannya, hukum karma sedang berlaku," kata dia di laman Inquirer News. (Ein)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

    Video Terkini