Sukses

March for Our Lives: 1 Juta Pendukung Antisenjata Gelar Protes di Washington DC

Demo March for Our Lives berjumlah lebih 1 juta orang menolak kekerasan senjata api. Gerakan ini digelar usai penembakan massal di SMU Florida.

Liputan6.com, Washington DC - Lebih dari satu juta siswa bersama para pendukungnya memenuhi jalanan di Washington DC, Amerika Serikat, pada Sabtu 24 Maret 2018. Mereka membuat aksi mengeluarkan pernyataan keras tentang kekerasan senjata api dan merespons berbagai kasus penembakan AS.

Gerakan yang disebut March for Our Lives ini juga meminta para pembuat kebijakan untuk meloloskan hukum yang ketat soal senjata atau menghadapi murka mereka di tempat pemungutan suara.

Bus-bus yang membawa siswa, orangtua, guru dan pendukung anti-senjata api peserta demo memenuhi ibu kota negara dari seluruh negeri, termasuk dari California dan Minnesota, untuk March for Our Lives.

Unjuk rasa itu diumumkan hanya beberapa hari setelah penembakan Hari Valentine di Marjory Stoneman Douglas High School di Parkland, Florida.

Dalam pidato-pidato yang penuh gairah, para siswa dari Marjory Stoneman memberikan seruan kepada sorak-sorai liar dari ribuan orang yang berkumpul di sepanjang Pennsylvania Avenue, Washington DC. 

"Kami akan membuat ini menjadi isu di pemungutan suara kelak," kata David Hogg, seorang mahasiswa Stoneman Douglas dan penyelenggara pawai, seperti dikutip dari USA Today pada Minggu (25/3/2018)

"Kami akan mengambil isu ini untuk setiap pemilihan, untuk setiap negara bagian, dan setiap kota. Kami akan memastikan orang-orang terbaik masuk dalam pemilihan kami untuk dijalankan bukan sebagai politisi, tetapi sebagai orang Amerika."

Emma Gonzalez yang menangis dalam pidatonya di sebuah unjuk rasa di Fort Lauderdale tiga hari setelah penembakan Hari Valentine menggalakkan gerakan siswa, memberi penghormatan kepada semua temannya yang tewas yang "tidak akan pernah lagi" melakukan hal-hal sederhana dalam hidup.

Dia kemudian berdiri diam selama beberapa menit di depan kerumunan, sebuah hening menyakitkan yang menandai enam menit yang dibutuhkan untuk pria bersenjata itu untuk memadamkan 17 nyawa.

"Berjuanglah untuk hidupmu, sebelum orang lain mengambil nyawamu...," Gonzalez memohon.

Sekitar 800 unjuk rasa serupa dijadwalkan digelar di setiap negara bagian AS.

Di kota-kota besar, termasuk Boston, Chicago dan New York, banyak orang berkumpul untuk pawai serupa. Kota-kota kecil, seperti Cincinnati dan Red Bank, juga menggelar unjuk rasa yang sama.

"Suara kami dibungkam," kata Rasleen Krupp yang berusia 17 tahun, yang berbicara kepada para demonstran di Cincinnati. "Pada akhir gerakan ini, kita akan menyelamatkan hidup kita sendiri."

"Saya berusia 12 tahun, dan saya tidak ingin dibunuh," kata Frank, seorang siswa di Sekolah Dasar Longfellow. "Saya tidak ingin bangun setiap hari dan bertanya-tanya apakah hari ini adalah hari ketika seseorang menghujani peluru sekolah saya."

Matt Collins, pemilik senjata dan kontraktor pertahanan dari Fairfax, Virginia, mengatakan ia pernah meremehkan unjuk rasa undang-undang senjata ketat, tetapi penembakan di sekolah yang berulang mengubah pikirannya. Collins mengatakan, dia memiliki banyak teman yang tidak sependapat dengannya.

"Saya frustrasi, setiap kali hal seperti ini terjadi, ada siklus," kata Collins. "Saya memiliki senjata, saya percaya pada Amendemen Kedua. Saya pikir ada langkah-langkah pendek untuk membatalkan amendemen kedua yang dapat membuat semua orang lebih aman."

Unjuk rasa juga dilakukan oleh remaja dari daerah perkotaan. Mereka berbicara tentang bagaimana kekerasan senjata api berdampak pada kehidupan mereka.

Edna Chavez, seorang siswa di Manuel Arts High School Living Los Angeles yang kakaknya ditembak mati di depan rumah mereka pada tahun 2007, mengatakan kekerasan senjata telah menjadi terlalu normal di lingkungannya.

"Saya telah tinggal di LA Selatan sepanjang hidup saya dan telah kehilangan banyak orang yang dicintai akibat kekerasan senjata api," kata Chavez. "Ini normal - normal sampai titik yang saya pelajari, bahwa saya lebih dulu belajar cara menghindar dari peluru sebelum saya belajar membaca."

Tujuh belas nyawa siswa SMU Marjory Stoneman Douglas High School melayang pada Rabu 14 Februari 2018. Pelaku penembakan bernama Nikolas Cruz, yang memiliki latar belakang 'mencemaskan'. 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Generasi Muda AS Ingin Perketat Hukum Kepemilikan Senjata

Cameron Kasky, murid lain Stoneman Douglas, mengatakan bahwa pesan gerakan siswa kepada politisi sederhana: "Entah mewakili orang-orang seperti kami atau keluar.

"Orang-orang menuntut undang-undang yang melarang penjualan senjata serbu, orang-orang menuntut Anda melarang penjualan senjata berkapasitas tinggi, orang-orang menuntut pemeriksaan latar belakang universal," kata Kasky. "Berdiri untuk kami atau waspada, para pemilih akan memilih Anda, atau tidak."

Para murid Stoneman Douglas, banyak di antaranya baru mencapai usia pemilih, bersumpah untuk bekerja membuat kekerasan senjata menjadi isu sentral generasi mereka.

Jajak pendapat menunjukkan bahwa orang Amerika semakin mendukung undang-undang senjata yang lebih ketat. Dengan hampir 2 lawan 1, 61 persen -33 persen, mereka mengatakan ingin ada undang-undang kontrol senjata ketat dan pemeriksaan latar belakang akan mencegah penembakan massal lebih banyak di Amerika Serikat. Hal itu diungkap oleh survei menurut USA TODAY / Suffolk Poll yang dipublikasikan bulan lalu.

Bahkan margin yang lebih luas, orang AS mengatakan senjata semiotomatis seperti AR-15, yang digunakan dalam penembakan Florida, harus dilarang.

Tetapi orang Amerika memiliki sedikit keyakinan bahwa Kongres akan bertindak. Hanya 19 persen yang yakin bahwa Kongres akan melakukan sesuatu, sementara 76 persen pesimistis Kongres tidak akan melakukan apa pun.

Namun, para anggota gerakan yang dipimpin para siswa ini bersikeras generasi mereka dapat mendorong negara itu menuju hukum senjata yang lebih ketat.

"Ini bukan masalah merah vs biru," kata Sarah Chadwick, seorang siswa Stoneman Douglas. "Ini masalah moral. Dan kepada para politisi yang percaya hak mereka untuk memiliki senjata daripada hak untuk hidup, bersiap-siap untuk tidak lagi dipilih oleh kami, di masa depan."

Banyak siswa di Florida mengecam para politisi. Salah satunya, politisi Partai Republik Marco Rubio, yang mereka catat telah menerima sekitar US$ 3,3 juta dalam kontribusi kampanye dari NRA dan lobi senjata selama karier politiknya.

Para siswa memakai label harga oranye sebesar US$ 1,05, jumlah yang diterima Rubio dari lobi senapan dibagi dengan jumlah siswa di Florida, untuk menunjukkan berapa harga nyawa para siswa di Florida.

Murid-murid Stoneman Douglas dan saudara-saudara Juan dan Santiago Munera mengatakan bahwa mereka lelah, tetapi bertekad ketika mereka berjalan di Pennsylvania Avenue menuju panggung utama. Mereka tiba di Washington dua jam sebelum unjuk rasa setelah perjalanan bus 23 jam yang melelahkan dari Florida.

Juan Munera, 17, mengatakan dia terinspirasi oleh rekan Stoneman Douglas-nya bahwa mereka dapat membantu membuat perubahan. "Sebelum penembakan itu, kami tidak berpikir kami bisa membuat perbedaan sebagai remaja," katanya. "Sekarang kami mencoba mengubah undang-undang senjata."

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini