Sukses

Novel Fiksi Ghost Fleet: Ramalan Indonesia 2030 hingga Isu Perang Dunia III

Novel Ghost Fleet, yang dipakai Prabowo untuk menyebut ancaman Indonesia bubar pada 2030, ternyata banyak dibaca kalangan militer.

Liputan6.com, San Diego - Sebuah novel fiksi berjudul Ghost Fleet mendadak ramai dibicarakan publik, setelah kutipannya digunakan oleh Prabowo Subianto. Ketua Umum Partai Gerindra itu menyebut soal ancaman Indonesia bubar pada 2030 mendatang.

Dalam novel itu, Indonesia disebut sebagai failed state alias negara gagal, yang bisa mengarah pada kondisi yang lebih buruk, yakni kolaps atau bubar seperti Uni Soviet atau Yugoslavia. Meski isi Ghost Fleet tak dikhususkan membahas soal Tanah Air. 

Dilansir dari San Diego Union Tribune pada Jumat (23/3/2018), novel karya penulis Peter W Singer dan August Cole itu ternyata tak hanya dikutip sebagai pendukung retorika Prabowo, tetapi juga oleh banyak pemimpin militer lain di berbagai belahan dunia.

Apa yang membuat novel ini begitu fenomenal, tidak lain karena tangan dingin sang penulis, yang cukup dikenal sebagai seorang pengamat militer ulung, sekaligus pemerhati kebijakan strategis global yang cukup sering menyinggung isu perang pada masa depan. Termasuk kemungkinan Perang Dunia III. 

Dalam karya novelnya, dua penulis mencampur fakta dan prediksi masa depan tentang bagaimana Amerika Serikat (AS), Rusia, dan China saling berhadapan satu sama lain dalam banyak hal, bahkan tak menutup kemungkinan terlibat perang  terbuka.

Telaahnya dalam novel tersebut disusun melalui hasil pengamatan pada dinamika politik, persaingan teknologi, serta isu spionase di antara ketiga negara.

"Sangat menarik melihat bahwa buku ini memiliki rentang pembaca yang cukup luas di kalangan militer, dan saya pikir hal ini dapat menjadi pertimbangan untuk membahas masa depan dunia, bagaimana agar berbagai kemungkinan buruk dapat dihindari," ujar Singer saat menjadi pembicara di sebuah forum besar tentang isu kebangsaan di California pada 2017.

Sementara itu, novel Ghost Fleet bukanlah karya fiksi pertama yang dikaitkan dengan dunia militer dan peta konflik masa depan. 

Pada tahun 1992, sebuah esai provokatif karya pensiunan pejabat Angkatan Udara AS, Charles Dunlap Jr, yang berjudul "The Origins of the American Military Coup of 2012" --membahas soal potensi kudeta milter AS pada 2012 atau 10 tahun setelah tulisan itu dibuat. 

Artikel yang ditulis dalam bentuk surat dari "Tahanan 222305759" memicu perdebatan di banyak lembaga pemerintahan Negeri Paman Sam.

Tulisan karya Charles Dunlap Jr memicu desakan soal pentingnya memelihara komunikasi baik antara militer dan sipil, sehingga diharapkan tidak muncul potensi negatif yang mengancam negara dan konstitusi, apalagi dalam bentuk kudeta militer. 

Ghost Fleet tidak mencerminkan, atau melanjutkan, isu-isu yang diprediksikan di karya fiksi gubahan Dunlap Jr itu.

Novel tersebut lebih banyak memainkan kemungkinan-kemungkinan perubahan peta politik, akibat persaingan pengaruh di banyak sektor oleh segelintir kekuatan besar

Sang penulis, Peter W Singer dan August Cole, membawa perubahan cukup radikal tentang bagaimana perang dapat tercipta di masa depan. Menurutnya tidak ada lagi perebutan wilayah ataupun penguasaan sumber daya, sebagaimana yang kerap terjadi pada perang-perang besar sebelumnya.

"Perang akan berubah menjadi perebutan pengaruh yang melemahkan siapa pun yang tidak sigap memantaunya," ujar Singer.

"Jika suatu pemerintahan tidak mampu berdiri menolak (pengaruh kekuatan besar), ia akan tetap berdiri secara de facto, tapi tidak memiliki kuasa untuk menyejahterakan dirinya sendiri," lanjutnya mengingatkan.

 

 

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Memuat Telaah Fiksi yang Relevan dengan Militer

Sementara itu, menurut Phil Carter, seorang veteran perang Irak yang kini mengendalikan Program Militer, Veteran, dan Masyarakat di Pusat Keamanan Amerika Baru di Washington, DC, pengarang Ghost Fleet, Peter W Singer adalah seorang pemikir penting, karena kemampuannya yang unik untuk memahami strategi perang di era baru, yakni pertempuran yang turut melibatkan internet.

"Fiksi ilmiah ini telah menjadi 'pegangan' bagi banyak perwira militer," kata Carter.

"Falsafah dan telaah fiksinya sejalan dengan karya-karya Tom Clancy (novelis yang kerap mengusung cerita spionase pasca-Perang Dunia I dan II), namun lebih cerdas dan lebih menggebu, dan itu benar-benar menarik bagi orang-orang seperti saya, yang tumbuh besar dengan membaca karya Tom Clancy dan sekarang berkarier di militer," lanjutnya menjelaskan.

Ditambahkan oleh Carter, karya fiksi gubahan Singer tersebut berhasil membawa perhatian pada masalah yang sangat rumit, seperti masa depan perang. Hal itu, menurutnya, bisa membantu stimulasi debat yang lebih kuat di antara penentu kebijakan, tidak hanya di AS, tapi juga oleh banyak negara lain.

Dan kemudian ada China. Ulasan di media People's Liberation Army Daily, mengeluh bahwa Singer mencoba menggambarkan Beijing sebagai musuh.

"Tetapi novel saya tidak mengatakan secara langsung bahwa akan ada perang seperti itu," kata Singer membela diri.

Menurutnya, jika ada pelajaran politik dari karyanya -- terutama tentang isu geopolitik -- itu tidak lebih dari gagasan bahwa jenis konflik (dari) negara yang berperang, seharusnya dapat dipikirkan sejak abad ke-20, tentang kelanjutan dari kemungkinan buruk di kemudian hari.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.