Sukses

Cambridge Analytica Diduga Cemarkan Hillary Clinton dalam Pilpres AS 2016

Liputan6.com, London - Cambridge Analytica, perusahaan konsultan politik berbasis data asal Inggris, konon berada di balik rangkaian kampanye pencemaran nama Hillary Clinton dalam Pilpres Amerika Serikat 2016.

Dugaan itu semakin menambah daftar tuduhan serius yang tengah menerpa firma tersebut, setelah sebelumnya mereka diduga mencuri informasi dari 50 juta profil pengguna Facebook tanpa izin.

Kabar itu terkuak berkat investigasi reporter media Inggris, Channel 4 News yang bertemu dengan sejumlah eksekutif Cambridge Analytica meliputi; CEO Alexander Nix dan Direktur Manajer Divisi Politik Mark Turnbull.

Pertemuan itu dilaksanakan di sebuah hotel di London. Tak jelas kapan pertemuan itu terselenggara.

Dalam pertemuan itu, si jurnalis menyamar sebagai perwakilan dari sebuah keluarga tajir di Sri Lanka yang berniat menyewa jasa Cambridge Analytica guna mempengaruhi hasil pemilu di negara Asia Selatan itu. Pembicaraan dalam pertemuan itu, menurut klaim Channel 4, terekam pada sebuah kamera tersembunyi.

Tudingan Pencemaran Hillary Clinton

Pembicaraan dalam pertemuan itu pun mengalir hingga ke persoalan Pilpres AS 2016. Para eksekutif Cambridge Analytica pun membeberkan taktik perusahaan mereka dalam memanipulasi pemilu di Negeri Paman Sam dua tahun lalu.

Salah satu manipulasi yang mereka lakukan adalah dengan melakukan pencemaran terhadap Kandidat Presiden AS dari Partai Demokrat, Hillary Clinton -- saingan Kandidat Presiden AS dari Partai Republik, Donald Trump. Demikian seperti dikutip dari ABC Australia Rabu (21/3/2018).

Dalam pembicaran tersebut, para eksekutif Cambridge Analytica mengklaim sebagai dalang di balik rangkaian kampannye bernama 'Defeat Crooked Hillary'.

Defeat Crooked Hillary, sebuah kampanye pencemaran nama Hillary Clinton saat menjadi Kandidat Presiden dalam Pilpres AS 2016 (Facebook via ABC Australia)

"Huruf 'OO' ganda di tengah kata 'Crooked' diisi dengan sepasang borgol, menyimbolkan bahwa ia (Hillary) layak berada di balik jeruji tahanan," kata Direktur Manajer Divisi Politik Cambridge Analytica, Mark Turnbull dalam pertemuan dengan jurnalis Channel 4 yang menyamar sebagai klien Sri Lanka.

Kata 'Crooked Hillary' sendiri merupakan istilah hinaan yang digunakan oleh Trump kala Kampanye Pilpres AS 2016. Penggunaan istilah itu ditempatkan dalam konteks skandal kebocoran data pos elektronik (pos-el) pribadi Hillary saat dirinya menjabat sebagai Menteri Luar Negeri AS.

Turnbull melanjutkan, strategi yang digunakan oleh Cambridge Analytica untuk menggencarkan kampanye 'Defeat Crooked Hillary' adalah dengan menyebarluaskannya ke jaringan maya dan laman media sosial berbagai organisasi, lembaga swadaya, dan kelompok aktivis politik. Termasuk, lewat Facebook.

"Kami tempatkan (kampanye Defeat Crooked Hillary) itu ke nadi internet dan kemudian ... kita simak hal itu bertumbuh. Sesekali kami mendorong kembali kampanye itu dan mengamati bagaimana hal tersebut berkembang," lanjut Turnbull.

"Hebatnya, kampanye itu menyusup ke berbagai jaringan internet tanpa jejak dan identitas, sehingga, orang-orang tak akan bisa melacak pengirim aslinya," tambahnya.

Mantan calon presiden dari partai Demokrat, Hillary Clinton berjalan dengan suaminya, Bill Clinton untuk menghadiri upacara pelantikan Donald Trump menjadi Presiden AS ke-45 di Washington, DC, AS, (20/1). (Win McNamee/Pool Photo via AP)

Dalam pertemuan itu, CEO Cambridge Analytica Alexander Nix juga mengungkap taktik lain yang digunakan perusahaannya dalam menyebarluasan kampanye 'Defeat Crooked Hillary'

"Saya sangat yakin bahwa (strategi) itu tidak akan diselidiki oleh otoritas AS, karena mereka tidak memiliki yurisdiksi untuk memperoleh informasi dari klien asing," kata Nix kepada jurnalis Channel 4 yang menyamar sebagai klien Sri Lanka dalam pertemuan itu.

Ia juga menganjurkan untuk menggunakan akun pos-el ProtonMail yang memiliki fitur menghapus surat elektronik (surel) secara otomatis dalam jangka waktu tertentu. Tujuannya, agar sulit terlacak oleh pihak lain.

"Kami menggunakan ProtonMail yang diatur agar mampu menghapus sur-el secara otomatis. Jadi, usai dua jam terkirim, surel itu akan hilang dengan sendirinya. Tidak ada bukti, dokumen, tak akan ada apa-apa," ujar bos Cambridge Analytica.

Mendongkrak Donald Trump dalam Pilpres AS 2016?

Dalam pertemuan antara jurnalis Channel 4 yang menyamar sebagai klien Sri Lanka dengan para eksekutif Cambridge Analytica, firma itu juga mengklaim sebagai dalang di balik kemenangan Donald Trump dalam Pilpres AS 2016.

"(Perihal kampanye Donald Trump dalam Pilpres AS 2016) Kami melakukan semua; riset, pengumpulan data, analisis, target implementasi, kampanye digital, kampanye televisi, dan strategi," kata CEO Cambridge Analytica Alexander Nix kepada jurnalis Channel 4 yang menyamar sebagai klien Sri Lanka.

Direktur Manajer Divisi Politik Cambridge Analytica Mark Turnbull ikut menimpali, "Hasilnya Trump menang dengan selisih 40.000 suara di tiga negara bagian. Selisihnya tipis."

Merespons produk jurnalistik Channel 4 itu, pihak Cambridge Analytica membantah bahwa mereka menjadi dalang di balik kemenangan Donald Trump.

"Cambridge Analytica tak pernah mengklaim memenangkan Pilpres untuk Donald Trump. Laporan itu sungguh absurd,"lanjut keterangan dari Cambridge Analytica.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Bantahan Cambridge Analytica

Ketika diminta konfirmasi terkait kabar itu, pihak Cambridge Analytica membantahnya.

Pihak firma analisis itu juga menjelaskan bahwa laporan itu, "Sengaja telah dimanipulasi dan didesain sedemikian rupa, untuk menggambarkan sisi negatif terkait bagaimana perusahaan kami berbisnis."

Sementara itu, dalam sebuah keterangan resmi, CEO CA Alexander Nix turut mengutarakan bantahan serupa.

Nix juga menyatakan pembicaraannya dengan klien palsu itu -- yang ternyata jurnalis Channel 4 -- adalah 'skenario hipotesis' yang tujuannya hanya untuk lucu-lucuan, bukan serius.

"Kami sama sekali tidak terlibat dalam upaya pemerasan dan penjebakan (untuk kepentingan politik) semacam itu," kata dia.

"Saya tekankan sekali lagi bahwa Cambridge Analytica tidak terlibat dalam aktivitas bisnis seperti (yang digambarkan skenario) itu," lanjutnya.

3 dari 3 halaman

Curi Data Facebook Lewat Kuis Kepribadian

Media New York Times dan The Observer of London melaporkan, Cambridge Analytica diduga mengeksploitasi informasi dari 50 juta pengguna Facebook dan menggunakannya untuk mengembangkan teknik yang bisa digunakan untuk mendukung kampanye Donald Trump dalam Pilpres 2016. Tujuannya, untuk mempengaruhi para pemilih.

Perusahaan yang terafisilasi dengan Strategic Communication Laboratories (SCL) itu punya kantor di London, New York, Washington DC, juga di Brasil dan Malaysia. Sementara, miliarder pengelola investasi global (hedge fund) sekaligus pendukung Donald Trump, Robert Mercer adalah pemiliknya.

Cambridge Analytica memiliki keterkaitan dengan dengan mantan kepala penasihat Trump Steve Bannon dan manajer kampanye Trump 2020, Brad Parscale.

Seperti dikutip dari thejournal.ie, Psikolog Universitas Cambridge, Aleksandr Kogan menciptakan aplikasi prediksi kepribadian, thisisyourdigitallife, yang diunduh oleh 270.000 orang.

Aplikasi tersebut memungkinkan Kogan untuk mengakses informasi seperti konten seperti apa yang disukai pengguna Facebook, asal kota yang mereka dalam data profil.

Informasi-informasi tersebut kemudian diteruskan ke Strategic Communication Laboratories (SCL) dan Cambridge Analytica.

Kepada saluran televisi Kanada, CBC, Christopher Wylie, mantan karyawan Cambridge Analytica mengaku, perusahaan tersebut menggunakan data-data pribadi yang didapatkan tanpa persetujuan.

Itu adalah salah kasus pencurian data paling parah dalam sejarah Facebook.

Sejak kabar mengejutkan itu menyeruak, Facebook telah memblokir laman Strategic Communication Laboratories (SCL) dan Cambridge Analytica, juga akun milik Christopher Wylie dan Aleksandr Kogan.

Pihak Facebook berpendapat bahwa aplikasi thisisyourdigitallife berstatus resmi, namun menuduh Kogan kemudian melanggar persyaratan Facebook dengan mengirimkan data ke SCL atau Cambridge Analytica.

Perusahaan raksasa media sosial itu mengaku telah mengetahui insiden yang terjadi pada 2016 tersebut dan meminta semua pihak yang terkait untuk menghapus data-data yang mereka dapatkan.

"Klaim bahwa ini adalah pembobolan data sepenuhnya salah," kata pihak Facebook, Sabtu 17 Maret 2018.

Perusahaan tersebut mengatakan, pengguna aplikasi diduga dengan sadar memberikan informasi mereka.

Meski demikian, wakil kepala bagian Legal Facebook, Paul Grewal mengaku pihaknya terus menyelidiki klaim tersebut.

"Kami akan mengambil langkah hukum bila perlu untuk menuntut pertanggungjawaban dan akuntabilitas mereka atas perilaku apapun yang melawan hukum," ujar pihak Facebook, seperti dikutip dari VOA.

Sementara, pihak Cambridge Analytica membantah keras tuduhan yang diarahkan pada mereka.

Perusahaan itu mengaku telah menghapus data-data Facebook dari pihak ketiga pada 2014, setelah mengetahui bahwa informasi-informasi tersebut tak memenuhi aturan.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.