Sukses

Migrant Care Beberkan Kronologi TKI Asal Madura Sampai Dieksekusi Mati Arab Saudi

Liputan6.com, Jakarta - Muhammad Zaini Misrin (53), TKI asal Bangkalan, Madura telah dieksekusi mati oleh pemerintah Arab Saudi di Mekah pada Minggu 18 Maret 2018.

Ini adalah peristiwa yang menuai kontroversi mengingat, eksekusi itu dilakukan oleh Saudi tanpa memberitahu pemerintah Indonesia secara resmi terlebih dahulu.

Dalam sebuah konferensi pers bersama, Migrant Care, Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI), Jaringan Buruh Migran, dan Human Rights Working Group memaparkan awal mula Zaini saat ia terjerat hukum hingga dieksekusi mati di Arab Saudi kemarin.

2004 - 2009

Zaini, yang bekerja sebagai supir ditangkap oleh polisi Arab Saudi pada tanggal 13 Juli 2004. Oleh pihak keamanan, ia dituduh melakukan pembunuhan terhadap majikannya yang bernama Abdullah Bin Umar Muhammad Al Sindy.

Proses hukum berjalan selama 4 tahun. Hingga vonis hukuman mati dijatuhkan pada 17 November 2008, Zaini mendapat tekanan dari aparat Saudi untuk membuat pengakuan pembunuhan itu.

Meski begitu, selama menjalan proses hukum, Zaini berkali-kali membantah tuduhan itu, dan mengaku bahwa ia tidak melakukan pembunuhan terhadap majikannya.

"Tak hanya itu, selama menjalani proses hukum, Zaini tidak diberikan akses kekonsuleraan kepada KJRI Jeddah dan KBRI Riyadh, sehingga ia juga tidak mendapatkan akses bantuan hukum dan penerjemah yang imparsial. Padahal semua itu merupakan hal yang vital bagi siapapun yang tengah menjalani peradilan dengan ancaman hukuman maksimal, hukuman mati," kata Wahyu Susilo, Direktur Eksekutif Migrant Care saat konferensi pers seputar eksekusi mati Zaini di Jakarta, Senin (19/3/2018).

Pihak KJRI Jeddah baru mendapatkan akses kekonsuleran ke Zaini pada tahun 2009.

"Usai bertemu dengan utusan konsulat RI, barulah Zaini mengungkapkan pengakuan bahwa ia sebenarnya dipaksa dan ditekan untuk mengakui pembunuhan itu. Padahal menurut Zaini, ia tidak melakukan itu," jelas Wahyu.

Wahyu mengatakan, pihak yang melakukan pemaksaan dan tekanan kepada Zaini adalah petugas polisi Arab Saudi yang menginterogasi dan penerjemah yang disediakan oleh kepolisian yang saat itu mendampingi proses interogasi. Namun, ujar Wahyu, penerjemah itu tidak bersikap netral dan imparsial dalam melakukan tugasnya.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

2009 - Sekarang

Ketika akses kekonsuleran telah didapat oleh pihak KJRI pada 2009, dua tahun kemudian, mulai pada 2011 hingga 2014, pemerintah Indonesia melakukan sejumlah proses diplomasi guna mengupayakan langkah-langkah hukum yang berpotensi untuk menunda hingga menangguhkan vonis hukuman mati yang dijatuhkan oleh Arab Saudi kepada Zaini Misrin.

"Pihak KJRI memeriksa kasus ini dan mengajukan proses peninjauan kembali dan sidang banding dari tahun 2011 hingga 2014, dengan mengumpulkan bukti dan saksi-saksi baru yang meringankan," jelas Direktur Eksekutif Migrant Care Wahyu Susilo.

Diplomasi upaya penundaan dan penangguhan vonis pun bahkan dilakukan hingga ke tataran tertinggi kepala negara, yakni dalam pertemuan antara Presiden Joko Widodo dan Raja Arab Saudi Salman bin Abdulaziz al Saud, pada tahun 2015 di Riyadh dan 2017 di Jakarta.

Pada September 2017, Presiden Jokowi pun kembali melakukan upaya penangguhan vonis hukuman mati, dengan mengirimkan surat kepada Raja Salman.

"Terakhir sejak awal Maret 2018, Kementerian Luar Negeri RI masih aktif mengirimkan surat, bukti, dan keterangan saksi-saksi yang sekiranya mampu meringankan dan menangguhkan vonis hukuman mati tersebut. Tetapi, tampaknya pintu peradilan sudah ditutup dan kemudian vonis hukuman mati tetap dilaksanakan tanpa memberikan notifikasi kekonsuleran resmi kepada pihak RI," jelas Wahyu.

"Bahkan, pihak Kemlu RI mengetahui kalau Zaini sudah dieksekusi dari sumber-sumber tidak resmi," lanjutnya.

Sejatinya, menurut hukum yang berlaku di Arab Saudi, eksekusi mati terhadap warga negara asing bisa tetap dilakukan tanpa memberitahu pihak pemerintah WN asing yang bersangkutan. Namun, berbagai organisasi HAM, termasuk di Indonesia, telah lama mengkritik kebijakan tersebut.

"Ini kan masalah nyawa dan hidup manusia. Masa iya, mereka akan terus melakukannya tanpa memberitahu pemerintah WN asing yang bersangkutan? Apalagi, masih ada beberapa WNI kita yang terancam vonis hukuman mati di sana," kata Hariyanto dalam kesempatan terpisah, saat dihubungi Liputan6.com, Senin 19 Maret 2018.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini