Sukses

Studi Ilmiah: Patah Hati Bisa Bikin Orang Mati

Menurut sebuah penelitian ilmiah, patah hati bisa sebabkan risiko kematian pada manusia. Ini penjelasan lengkapnya.

Liputan6.com, Sydney - Ahli kesehatan jantung asal Australia, Nikki Stamp, mengatakan bahwa sakit hati secara emosional benar-benar bisa berdampak pada menurunnya kondisi kesehatan, termasuk risiko meninggal karena serangan jantung. 

Dilansir dari Australia Plus pada Kamis (8/3/2018), sebuah penelitian ilmiah menunjukkan -- sebagai contoh -- 30 hari pertama setelah orang yang dicintai meninggal, risiko kematian kita juga meningkat pada secara signifikan pada mereka yang merasa sedih karenanya. 

Menurut Dr Stamp, tekanan karena kesedihan dapat berdampak pada kesehatan secara umum. Namun, ada kondisi medis tertentu yang terbukti dengan sebutan "taktsubo cardiomyopathy", sebuah istilah untuk menyebut munculnya sindrom penyakit yang disebabkan naik turun emosi karena patah hati.

"Dalam kondisi stres yang akut, terjadi peningkatan adrenalin yang menyebabkan risiko serangan jantung," kata Dr Stamp.

Dijelaskan Dr Stamp, pada jantung orang yang patah hati, terlihat pembuluh koroner mendorong jantung mereka menggembung. Hal ini pertama kali ditemukan di Jepang pada 1990, setelah jantung seorang pasien dikatakan bentuknya menyerupai badan gurita. 

Dr Stamp mengatakan, takotsubo jarang terjadi, kecuali pada risiko yang menyerang jantung wanita setelah masa menopause.

"Tidak semua orang yang menderita (taktsubo) akan berujung pada risiko kematian, tergantung bagaimana penanganan kesehatan oleh yang bersangkutan dan lingkungan sekitarnya," tukasnya. 

 

Simak video tentang pria dengan serangan jantung yang meminta tolong dengan melemparkan uang berikut.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Masih Dibutuhkan Penelitian Tambahan

Penelitian sudah dilakukan dan para periset mengubah cara kita berpikir soal patah hati dalam pengertian medis.

"Misalnya, dalam beberapa tahun terakhir depresi telah dianggap sebagai faktor berisiko pada penyakit jantung yang berdiri sendiri," kata Dr Stamp.

"Sekarang, yakni 20 tahun setelahnya, ini bukanlah sesuatu yang orang katakan karena sepertinya lembut."

Telah ada juga sejumlah penelitian lebih lanjut soal bagaimana depresi tidak hanya berpengaruh pada masalah jantung, tapi juga memengaruhi pemulihan pasien.

"Pengobatan dalam hal ini menjadi sedikit lebih holistik," kata Dr Stamp.

"Kami menyadari bahwa penyakit ini tidak ada di luar sana dan ini menjadi benar-benar penting," kata dia.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.