Sukses

WHO: Hampir 1 Miliar Orang Berisiko Kehilangan Pendengaran Jelang 2050

Permasalahan akibat dari hilangnya indra pendengaran diperkirakan akan mengalami peningkatan akibat pertumbuhan populasi dan bertambahnya warga lansia

Liputan6.com, Jenewa - Berkenaan dengan peringatan Hari Pendengaran Dunia yang jatuh pada 3 Maret, the World Health Organization (WHO) memperingatkan 1 dari 10 orang di dunia, atau lebih dari 900 juta, berisiko kehilangan indra pendengaran menjelang tahun 2050. Hal itu bisa dicegah dengan mengambil tindakan segera. .

WHO melaporkan 466 juta orang di dunia saat ini menderita kehilangan pendengaran. Biaya tahunan negara-negara dari segi layanan kesehatan langsung dan hilangnya produktivitas akibat ketidakmampuan ini diperkiraan mencapai US$750 miliar .

Permasalahan akibat dari hilangnya indra pendengaran diperkirakan akan mengalami peningkatan akibat pertumbuhan populasi dan bertambahnya warga lansia – populasi dunia diperkirakan akan mencapai 9 miliar jiwa menjelang tahun 2050. Demikian dikutip dari VOAIndonesia pada Senin (5/3/2018).

Shelly Chadha, pejabat teknis Departemen Pencegahan Ketulian dan Kehilangan Indra Pendengaran dari WHO mengatakan peningkatan populasi lansia tidak berarti peningkatan kehilangan indra pendengaran tidak dapat dicegah. Ia mengatakan ada banyak faktor selain meningkatnya usia yang mempengaruhi indra pendengaran.

“Bisa jadi ini adalah faktor-faktornya seperti penyakit infeksi, yang mungkin kita hadapi di masa kanak-kanak – campak Jerman atau penyakit gondong, meningitis atau infeksi telinga. Mungkin ada faktor-faktor seperti paparan pada suara bising, seperti musik yang bising atau kebisingan di tempat kerja. Banyak dari penyebabnya dapat dicegah, dan dengan mengangkat permasalahan ini, kita dapat menekan atau meminimalisir risiko kehilangan indra pendengaran,” ujar Chadha.

WHO melaporkan sekitar 60 persen dari hilangnya pendengaran di kalangan anak-anak dapat dicegah. Tindakan-tindakan seperti mengimunisasi anak untuk mencegah penyakit-penyakit infeksi, menyaraing dan merawat infeksi telinga kronis, mencegah konsumsi obat yang dapat berdampak pada indra pendengaran, dan mengendalikan paparan pada suara-suara bising dan musik.

Dalam kasus-kasus dimana kehilangan indra pendengaran tidak dapat dicegah, WHO mengatakan penderita dapat dibantu lewat teknologi seperti alat bantu pendengaran dan dengan implantasi alat pendengaran.

WHO mengatakan semua peralatan ini memberikan manfaat yang besar bagi penderita kehilangan pendengaran karena semua peralatan tersebut memungkinkan mereka dapat berkomunikasi dengan baik dan bersosialisasi dengan orang lain

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Sebutan Tuli Atau Tuna Rungu, Mana yang Lebih Tepat?

Diskriminasi terhadap kaum penyandang tuli dan bisu masih marak di Indonesia. Bukan cuma dalam kehidupan sehari-hari, tapi juga terjadi hampir di banyak aspek.

Hal ini dikemukakan oleh seorang penyandang tuli-bisu di Indonesia, Adhi Kusuma Bharotorre.

Berbincang dengan Liputan6.com beberapa waktu lalu di pusat kebudayaan Amerika Serikat, @america, pria asal Jogjakarta tersebut menyatakan salah satu bentuk diskriminasi terlihat dari banyak pihak yang masih menggunakan kata tuna rungu.

Penggunaan kata itu, menurut dia tidak tepat. Ada alasan kuat kenapa penggunaan tuna rungu untuk tak dipakai.

"Orang awam menganggap tuna rungu sebuah istilah yang bagus dan sebagian besar teman-teman tuli menganggap kata tuli lebih bagus," ucap dia.

"Kata tuna rungu pesannya masih berdasarkan kasihan, jadi istilah itu muncul dari istilah kedokteran yang menganggap bahwa ada hubungan kerusakan fisik ada tuna ada runggu ada kerusakan," sambungnya.

Adhi menjelaskan, kata tuna rungu membuat mereka terpisah dari kehidupan masyarakat normal. Oleh sebab itu, ia mendorong agar kata tuli lebih sering digunakan.

"Kami tak ada kerusakan, kami normal memiliki budaya dan bahasa sendiri, kami hidup normal," ujarnya.

"Kata tuna rungu kami rasa tak cocok buat kami, dan menganggap tuli sebuah sikap dan sifat positif. Sebagian besar komunitas menggunakan kata tuli," imbuhnya.

Walau begitu, Adhi yakin tak mudah mengubah pola pikir penggunaan kata tuli. Pastinya akan banyak perdebatan yang datang soal persoalan penggunaan diksi ini.

Bukan cuma penggunaan kata. Adhi sadar betul, masyarakat di Tanah Air masih beranggapan bahwa kami kelompok tuli itu kumpulan orang aneh.

"Banyak orang melihat orang tuli yang menggunakan bahasa isyarat seperti aneh. Tuli adalah masyarakat minoritas yang sama dengan lainnya, beda dalam hal bahasa, kami juga memiliki budaya dan hidup tak ada yang aneh, tak perlu dipandang aneh ketika kita menggunakan bahasa isyarat," pungkas Adhi.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini