Sukses

Berenang di Laut Tingkatkan Risiko Terserang Penyakit, Ini Alasannya

Menurut sebuah penelitian terbaru, berenang di laut ternyata meningkatkan risiko serangan penyakit pada manusia. Ini alasan lengkapnya.

Liputan6.com, London - Beberapa ilmuwan berhasil menemukan fakta bahwa berenang di air laut mampu tingkatkan risiko serangan penyakit, seperti sakit perut, nyeri pada telinga, dan lain sebagainya.

Riset yang dilakukan oleh Pusat Ekologi dan Hidrologi pada Sekolah Kesehatan Universitas Exeter itu, menyebut risiko terserang penyakit telinga meningkat 77 persen, dan risiko gangguan pencernaan naik sebesar 29 persen. Demikian dilansir dari BBC pada Rabu (28/2/2018).

Bukan hanya pada kegiatan renang, risiko terkait juga ditemui pada aktivitas olahraga air, seperti selancar, ski air, dan lain sebagainya.

Temuan fakta tersebut dihasilkan dari tinjauan 19 penelitian ilmiah terkait yang dilakukan di Amerika Serikat (AS), Inggris, Australia, Selandia Baru, Denmark, dan Norwegia. Adapun jumlah responden yang berpartisipasi tercatat sebanyak lebih dari 120.000 orang.

"Di negara berpendapatan tinggi, seperti Inggris misalnya, muncul anggapan bahwa berenang di laut tidak membahayakan kesehatan manusia," ujar Dr. Anne Leonard, salah satu peneliti.

"Namun, hasil analisa ilmiah kami menunjukkan bahwa menghabiskan waktu di dalam air laut, berperan meningkatkan risiko berkembang biaknya penyakit, seperti penyakit telinga dan beberapa masalah yang berkaitan dengan sistem pencernaan, seperti sakit perut dan diare," lanjutnya menjelaskan.

Menurut Dr. Anne, berbagai risiko penyakit tersebut bisa jadi berkaitan dengan isu polusi lingkungan yang menyerang banyak perairan laut di dunia. 

Data dari Badan PBB untuk Program Lingkungan Hidup (UNEP) pada 2017 lalu, menyebutkan bahwa hampir 70 persen lautan di dunia dilanda polusi, baik berupa polusi sampah maupun polusi berbahaya, seperti tumpahan minyak misalnya.

Karena begitu luasnya lautan di Bumi, membuat upaya pembersihan hanya bisa difokuskan di lokasi tertentu, dan itu pun sejatinya belum benar-benar dikatakan menyeluruh.

"Laut adalah ekosistem yang sangat kompleks, di mana satu kerusakan dapat berpengaruh secara luas terhadap bagian perairan lainnya," jelas Dr. Anne.

Ditambahkan olehnya, pencemaran tersebut bukan hanya mengancam kelestarian alam bawah laut, namun juga berpengaruh ke  banyak sektor, termasuk isu kesehatan manusia.

"Oleh karenanya, temuan ini sangat penting untuk diteliti lebih jauh, agar didapat tindakan preventif guna meningkatkan kualitas hidup manusia," tukasnya.

 

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Sampah Plastik Akan Lebih Banyak dari Jumlah Ikan

Sementara itu, menurut penelitian yang dilakukan oleh Departemen Oseanologi pada Universitas Newcastle, Inggris, lebih dari delapan juta ton plastik tenggelam ke dasar laut setiap tahunnya.

Ilmuwan memprediksi bahwa jumlah sampah plastik akan lebih banyak daripada jumlah ikan pada tahun 2050 mendatang.

Saat ini, laut diduga mengandung sekitar 51 triliun partikel mikroplastik. Jumlah ini 500 kali lebih banyak dari jumlah bintang di galaksi Bima Sakti.

"Limbah plastik ditemukan di mana-mana. Ada di Arktik, bagian tengah Pasifik, Palung Mariana, di dalam perut paus, kura-kura dan hampir 90 persen di dalam perut burung laut. Plastik ada di meja kita, air keran, bahkan bir," ujar anggota Greenpeace Inggris, Elena Polisano.

"Ini tidak hanya berkaitan dengan mereka yang tidak bertanggung jawab karena buang sampah sembarangan, tapi juga berkaitan erat dengan industri-industri yang memproduksi triliunan barang plastik sekali pakai, seperti tas, botol, kemasan makanan, tanpa memikirkan konsekuensi ke depannya. Kita harus memikirkan kembali bagaimana mendaur ulang sampah-sampah jenis itu," tegasnya.

Baru-baru ini, periset mendokumentasikan hampir 38 juta potongan plastik -- dengan berat hampir 18 ton -- telah terdampar di salah satu tempat paling terpencil di dunia, yakni atol karang tak berpenghuni di bagian timur kawasan Pasifik Selatan.

Para ilmuwan menemukan ratusan kepiting berjalan di atas tutup botol dan stoples kosmetik, dengan satu kepiting bahkan mengubah bagian dalam kepala boneka menjadi rumahnya.

Segera setelah itu, sebuah ekspedisi mencatat bahwa pantai-pantai Arktik terpencil sangat tercemar dengan plastik, menghubungkan temuan tersebut ke plastik yang melayang ke utara sampai ke Atlantik dari Eropa dan Amerika Utara.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.