Sukses

4 Krisis Internasional yang Nyaris Memicu Perang Dunia III

Liputan6.com, Washington DC - Pada masa kini, ketika muncul kata-kata Perang Dunia III, mungkin, yang terlintas di benak sejumlah khalayak adalah potensi perang rudal dan nuklir antara Amerika Serikat dan sekutunya melawan Korea Utara.

Sebagian lain mungkin memikirkan skenario Perang Dunia III sebagai keberlanjutan atas proxy war di Timur Tengah yang melibatkan banyak negara besar seperti AS, Rusia, Arab Saudi, Turki, Iran, dan Uni Eropa.

Beberapa orang mungkin juga memikirkan bagaimana lokasi seperti perbatasan Balkan dan persengketaan di Laut China Selatan yang tampak berpotensi mengarah pada konflik bersenjata terbuka.

Namun, dari sejumlah skenario dan lokasi itu, tak ada satu pun di antaranya yang jatuh dalam kategori 'nyaris' memicu Perang Dunia III atau konflik nuklir. Karena, luapan konflik yang jauh lebih besar masih bisa dibendung oleh politik dan diplomasi.

Ditambah lagi, jika menelisik peristiwa historis masa lalu, sejatinya, 4 krisis internasional berikut ini lebih tepat disebut sebagai peristiwa yang nyaris memicu Perang Dunia III -- simak penjelasannya di bawah ini, seperti Liputan6.com rangkum dari The National Interest (19/2/2018).

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 5 halaman

1. Krisis Tembok Berlin Oktober 1961

Tembok Berlin merupakan struktur tembok yang didirkan pada Perang Dingin, bulan Agustus 1961 untuk membagi Jerman dan Berlin menjadi dua, Berlin Barat untuk Jerman Barat yang pro- Amerika Serikat dan Berlin Timur untuk Jerman Timur yang pro -Uni Soviet.

Pada Oktober 1961, insiden tegang di tembok itu digadang-gadang nyaris memicu Perang Dunia III.

Insiden bermula ketika seorang diplomat Amerika Serikat mencoba melewati 'Pos Pemeriksaan Charlie' untuk melintas dari Berlin Barat ke Timur.

Namun, saat diperiksa oleh otoritas keamanan Berlin Timur, sang diplomat itu tidak membawa dokumen yang diminta, dan ia diminta untuk kembali ke Berlin Barat.

Tak terima, ia pergi dari Tembok Berlin hanya untuk kembali beberapa saat kemudian dengan membawa jip dan tentara Sekutu. Sekali lagi, otoritas Berlin Timur melarang sang diplomat untuk melintas.

Masih tak terima, sang diplomat kemudian pergi untuk memanggil bala tentara dan tank. Mengetahui hal tersebut, otoritas Berlin Timur yang dibantu Soviet turut menyiapkan tandingan dengan kuantitas yang sama.

Selama tiga hari, AS dan Uni Soviet saling menatap barel senjata masing-masing di tembok itu. Akhirnya, AS mulai mengusulkan agar Soviet menarik mundur satu tank-nya, dengan balasan Negeri Paman Sam melakukan hal serupa. Mereka pun melakukannya dan tensi kemudian menurun.

Krisis berakhir, namun hingga runtuh pada 1989, Tembok Berlin -- secara literal -- tetap menjadi pemisah antara dua poros kekuatan yang menjadi seteru jika Perang Dunia III pecah.

3 dari 5 halaman

2. Krisis Misil Kuba 1962

Tepat 57 tahun yang lalu, Krisis Misil Kuba terjadi, menghantarkan Amerika Serikat dan Uni Soviet di ambang konflik nuklir pada era Perang Dingin.

Peristiwa itu telah berakar selama beberapa tahun sebelumnya. Akan tetapi, bagi Washington DC, 14 Oktober ibarat pemantik peristiwa tersebut. Demikian seperti dikutip dari History.com.

"Pada 14 Oktober, pesawat intai Lockheed U-2 mengambil gambar dari udara yang jelas menunjukkan sejumlah situs misil balistik berhulu ledak nuklir yang tengah dibangun di Kuba. Gambar itu kemudian diserahkan kepada Gedung Putih keesokan harinya, menandai awal mula Krisis Misil Kuba," jelas sebuah penjelasan dari laman resmi Kementerian Luar Negeri AS, History.state.gov.

Situs itu hanya berjarak sekitar 144 km dari garis pantai perbatasan Amerika Serikat.

Sebagai latar belakang, AS dan Soviet sempat berseteru terkait Kuba dalam periode Perang Dingin.

Pada April 1961, AS menginisiasi operasi militer yang dikenal dengan nama Invasi Teluk Babi (Bay of Pig Invasions). Negeri Paman Sam melatih dan mempersenjatai sekelompok pengungsi Kuba untuk melakukan kudeta bersenjata terhadap Fidel Castro, pemimpin Kuba pada saat itu.

Invasi itu tidak berhasil, namun, cukup membuat Castro khawatir terhadap invasi jilid dua dari AS. Maka, sebagai langkah pencegahan, pemimpin Kuba itu mencari dukungan kepada Soviet.

Pada 1962, Presiden Soviet Nikita Khrushchev mengerahkan sekitar 20.000 Tentara Merah ke Kuba sebagai penasihat militer untuk Angkatan Bersenjata Kuba. Selain itu, Negeri Tirai Besi juga mulai memindahkan sejumlah misil dan pesawat bomber ke negara yang dipimpin Fidel Castro itu.

Keputusan itu menuai berbagai kritik, bahkan dari kalangan domestik Soviet. Akan tetapi, Khrushchev punya alasan tersendiri.

Pertama, penempatan sejumlah personel dan misil itu merupakan aksi, untuk mencegah AS menginvasi Kuba untuk kedua kalinya. Khrushchev pun juga sangat yakin, Negeri Paman Sam akan melakukan Bay of Pig Invasions jilid dua.

Sementara itu, menempatkan misil di dekat wilayah AS merupakan cara bagi Soviet untuk membalas Washington atas perlakuan serupa yang mereka lakukan.

Sebelum Krisis Misil Kuba, AS diketahui memiliki peluncur rudal nuklir di Turki.

AS, yang ingin mengetahui kebenaran tentang eksistensi situs rudal nuklir Soviet di Kuba, mengirim sebuah pesawat intai Lockheed U-2 ke kawasan. Pesawat itu berhasil memotret jelas sejumlah hulu ledak milik Negeri Tirai Besi di sana.

Dua hari setelahnya, foto yang diambil Lockheed U-2 diserahkan kepada Presiden AS John F Kennedy.

Sang presiden kemudian memanggil sejumlah penasihatnya untuk mempertimbangkan pilihan dan tindakan yang akan diambil oleh AS. Beberapa menyarankan serangan udara untuk menghancurkan rudal nuklir Soviet tersebut.

Penasihat yang lain mengusulkan agar Washington DC mengeluarkan teguran keras kepada Soviet dan Kuba.

Setelah berbagai opsi digelar di atas meja, Kennedy akhirnya memutuskan untuk mengirim armada kapal perang untuk memblokade Kuba.

Pada 24 Oktober, Soviet membalas langkah AS, dengan mengirim armada kapal perang ke dekat armada AS. Khrushchev juga menyebut, bahwa blokade itu merupakan aksi agresi.

Pada 26 Oktober, Kennedy mulai mempertimbangkan bahwa opsi menyerang Kuba dan situs rudal nuklir Soviet yang ada di sana merupakan satu-satunya jalan keluar.

Krisis itu berakhir setelah kedua negara memutuskan untuk bersama-sama memindahkan situs rudal nuklirnya (AS di Turki dan Soviet di Kuba). Soviet juga meminta agar AS berjanji untuk tidak menginvasi Kuba.

4 dari 5 halaman

3. Rencana Uni Soviet untuk Merebut Berlin Barat 1965

Sebuah memoir yang terungkap ke publik, menguak tentang rencana Uni Soviet untuk merebut Berlin Barat dari tangan Poros Amerika Serikat, keterlibatan Negeri Tirai Besi dalam Perang Vietnam membantu komunis melawan AS, dan upaya Moskow alam membantu Kuba.

Rencana itu merupakan gagasan dari Anastas Mikoyan pada 1965, yang saat itu menjabat sebagai Panglima Angkatan Bersenjata Uni Soviet. Gagasan itu muncul karena dipicu oleh eksalasi intervensi AS dalam Perang Vietnam.

Mikoyan merumuskan rencana itu dalam sebuah surat yang ia tujukan kepada Presiden Soviet Nikita Khrushchev.

Kepada Khrushchev, Mikoyan mengatakan, "kita seharusnya tidak dibatasi oleh apapun yang telah kita lakukan untuk membantu Vietnam. Jadi kita harus secar aktif melawan AMerika Serikat. Diusulkan bahwa di Berlin Barat, sebuah demonstrasi militer harus dilakukan, dan untuk mengirim unit-unit tertentu, seperti pasukan udara dan lainnya, dari wilayah kita (Soviet) ke Jerman dan Hungaria."

Khrushchev juga mengatakan, "Kita harus siap menyerang Berlon Barat, secara umum, sehubungan dengan situasi yang ada, maka kita tidak boleh takut mendekati risiko perang."

Gagasan itu sempat membuat pemerintah dan militer terperanjat. Tapi beruntung, rencana itu tak diimplementasikan.

5 dari 5 halaman

4. Yom Kippur, Mesir 1973

Setelah kalah dari Israel dalam Perang Enam Hari 1967, Mesir berusaha untuk membalas kembali kekalahan itu. Pada tahun 1973, Mesir -- yang saat itu merupakan sekutu Soviet dan garda terdepan Moskow di Timur Tengah -- melakukan serangan mendadak terhadap Israel, mengawali Perang Yom Kippur di kawasan.

Meskipun orang-orang Mesir dan sekutu-sekutunya mencapai keuntungan yang signifikan, orang-orang Israel dapat segera pulih dan melakukan serangan balasan. Akhirnya, Israel mampu mengepung dan mengancam untuk menghancurkan seluruh Tentara Ketiga Mesir.

Pada saat itu, Amerika Serikat, selaku sekutu Israel, mulai berencana untuk turun tangan. Uniknya, rencana AS mengintervensi adalah demi mencegah Israel menghancurkan Israel -- supaya tak timbul konflik yang berkepanjangan dan menghindari keterlibatan langsung AS dan Soviet dalam perang itu.

Di sisi lain, Soviet yang mengetahu rencana itu mengajukan gagasan kepada AS, mengusulkan agar AS - Soviet membentuk sebuah Joint Military Intervention untuk memisahkan pihak-pihak yang bertikai langsung di lapangan.

Namun, Washington berhasil mengetahui bahwa usulan Soviet memiliki maksud tersembunyi, yakni, hendak mengirim pasukan ke Timur Tengah.

AS pun menolak usulan tersebut. Di sisi lain, Soviet tetap memaksa AS bahkan mengancam bahwa Moskow secara sepihak tetap akan mengirim pasukan ke Mesir.

Merespons ancaman Soviet, Presiden AS Richard Nixon dan Menteri Luar Negeri AS Henry Kissinger menyiagakan seluruh nuklir strategis Amerika Serikat dan menyiapkan pasukan militer.

Soviet akhirnya membatalkan rencana unilateral itu dan AS perlahan-lahan mulaimenurunkan tensi militernya.

Jika Soviet tetap pergi ke Mesir dan AS merespons langkah Negeri Tirai Besi, mungkin peristiwa itu akan memicu Perang Dunia III.

 

Saksikan juga video berikut ini:

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.