Sukses

Lawan Perbudakan, Prancis Terima Kelompok Pertama Pengungsi Libya

Kelompok pertama pengungsi yang diselamatkan dari Libya tiba di Paris, pada 19 Desember 2017 setelah berangkat dari Niger.

Liputan6.com, Paris - Kelompok pertama pengungsi yang diselamatkan dari Libya tiba di Bandara Charles de Gaulle, Paris, pada 19 Desember 2017 waktu setempat setelah diberangkatkan dari Niger. Hal itu merupakan bagian dari upaya Prancis untuk terus meningkatkan perang melawan perbudakan.

Kelompok yang terdiri dari 25 orang itu berasal dari Eritrea, Sudan dan Ethiopia. Mereka mencakup 19 perempuan dan anak-anak, termasuk bayi berusia dua bulan dan enam pria.

Setibanya kelompok pengungsi Libya pertama di Paris, penerbangan lanjutan dari Niger diperkirakan akan mendarat di Paris pada 26 dan 27 Desember 2017.

Dikutip dari CNN, Rabu (20/12/2017), pengungsi Libya tersebut akan ditempatkan di sebuah biara di wilayah Alsace, Prancis Timur, selama empat bulan. Di sana mereka akan mendapat bantuan psikologi dan pengajaran Bahasa Prancis.

Setelah itu, kelompok nirlaba France Horizon akan membantu setiap individu untuk menemukan rumah permanen.

Prancis berencana menampung 10.000 pengungsi pada 2019, di mana 3.000 di antaranya berasal dari program pemukiman yang ada di Niger dan Chad.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Upaya Prancis Lawan Perbudakan

Presiden Prancis Emmanuel Macron mengumumkan rencana tersebut setelah media asal Amerika Serikat, CNN, merilis rekaman yang memperlihatkan bahwa para migran dijual sebagai budak di sejumlah negara Afrika Utara. Beberapa di antaranya bahkan djual dengan harga hanya US$ 400 atau sekitar Rp 5,4 juta.

Dalam rekaman itu, terlihat puluhan pria dijual dalam sebuah lelang di luar ibu kota Tripoli. Kru CNN diberitahu bahwa pelelangan tersebut dilakukan di sembilan lokasi di Libya.

Otoritas Libya telah menggelar penyelidikan resmi terhadap pelelangan di bawah Badan Anti-Imigrasi Ilegal.

Prancis berada di garis depan demi membantu mereka yang melarikan diri dari perbudakan untuk menemukan jalan yang aman untuk keluar dari Libya.

Dalam sebuah pidato bulan lalu, Macron menyebut penjualan migran dalam sebuah lelang budak di Afrika Utara sebagai 'kejahatan terhadap kemanusiaan'. Ia pun berjanji untuk mendesak sanksi internasional terhadap Libya.

Berita tentang pelelangan tersebut memicu protes di luar Kedutaan Besar Libya di Paris. Organisasi Internasional untuk Migrasi (IMO) juga mengatakan akan menerbangan 15.000 migran lagi dari pusat penahanan di Libya sebelum akhir 2017.

3 dari 3 halaman

Nasib Malang Para Migran

PBB memperkirakan terdapat 700.000 migran di Libya. Selama bertahun-tahun, mereka telah melintasi Laut Tengah demi mendapat kehidupan yang lebih baik di Eropa. Cerita tentang kekerasan, penculikan, dan perbudakan erat dengan kehidupan para migran.

Pada 18 Desember, UNICEF mengumumkan bahwa terdapat 36.000 anak di Libya membutuhkan bantuan dan 14.000 di antaranya tak mempunyai wali.

Pekan lalu, Amnesty Internasional menuduh Otoritas Eropa terlibat dalam penyiksaan dan pelecehan migran dan pengungsi di Libya.

Dalam sebuah laporan terbaru, kelompok hak asasi manusia mengkritik Otoritas Eropa karena mendukung upaya penjaga pantai Libya untuk mencegah migran menyeberangi Laut Tengah dan mengembalikan mereka ke kamp-kamp di Libya.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini