Sukses

Ini yang Harus Dilakukan Agar Danau Toba 'Go International'

Liputan6.com, Toba - Sukarela Situmorang adalah pengelola sebuah toko suvenir di Desa Tomok, Pulau Samosir, Toba Sumatera Utara.

Setiap hari mulai pukul 09.00, Sukarela membuka tokonya yang menjual berbagai macam cinderamata khas Danau Toba, seperti kaus, kemeja batik Sumatera Utara, kain ulos, pakaian tradisional Batak, kerajinan tangan dan hiasan kreatif dengan berbagai macam motif dan warna yang menarik mata.

"Rp 25.000 bang kalau kaus yang biasa. Kalau yang tulisannya dibordir sekitar Rp 45.000 - 50.000," kata Sukarela saat diwawancarai Liputan6.com di Desa Tomok, Pulau Samosir Minggu 17 Desember, pada sela-sela program on-site observing Lake Toba Forum 2017.

Perempuan berusia kepala dua itu kemudian menceritakan pengalaman berdagangnya selama kurun waktu terakhir, terkhusus sejak Bandara Internasional Silangit dibuka -- bandara yang digadang-gadang sebagai pintu masuk bagi dunia untuk menuju ke Danau Toba.

Sukarela Situmorang (kaus merah) di pasar cinderamata di Desa Tomok, Pulau Samosir, Danau Toba (Rizki Akbar Hasan/Liputan6.com)

"Mulai agak ramai sejak bandara buka. Tapi gak nentu juga sih bang. Kalau mulai masuk liburan, kaya tahun baru, baru melonjak," kata Sukarela menjelaskan arus kedatangan pelancong asing dan domestik yang cenderung fluktuatif sesuai dengan musim.

Perempuan bermarga Situmorang itu juga menggarisbawahi bahwa sejak Silangit beroperasi, banyak turis asing yang terlihat di Desa Tomok.

"Banyak yang datang dari Singapura, Thailand, Malaysia, China. Kalau Eropa, biasanya Belanda, Jerman, enggak banyak cuma beberapa aja. Biasanya datang berkelompok pakai grup," tambahnya.

Makam para raja Batak marga Sidabutar di Desa Tomok, Pulau Samosir, Danau Toba (Rizki Akbar Hasan/Liputan6.com)

Terkait fluktuasi kehadiran turis asing, Karmiden Sidabutar, penjaga makam sarkofagus para raja Batak marga Sidabutar di Desa Tomok, sependapat dengan Sukarela.

"Singapura, Malaysia, memang banyak datang. Tapi enggak menentu dan tak banyak juga. Kalau Eropa atau wilayah lain, cuma sesekali saja saya lihat," tambahnya.

Danau Toba, Go-International

Sejak 2016, pemerintah Indonesia memiliki visi menjadikan danau vulkanik terbesar se-dunia itu untuk mampu bersaing dengan destinasi turisme geopark air tawar di negara lain -- atau setidaknya di kawasan Asia Tenggara seperti Danau Inle di Myanmar, Danau Hoan Kiem di Vietnam atau Danau Ang Nam Ngum di Laos.

Presiden RI Joko Widodo dan Kementerian Pariwisata kabinetnya juga berkeinginan untuk menjadikan Dana Toba sebagai '10 Bali Baru', menyamakan kasta kawasan wisata ceruk air raksasa itu setara dengan Pulau Dewata. Demikian seperti dikutip The Strait Times, 18 Desember 2017.

Bandara Internasional Silangit (Rizki Akbar Hasan/Liputan6.com)

Berbagai proyek infrastruktur mulai dibangun, seperti meningkatkan kapabilitas Bandara Silangit, Tapanuli Utara untuk menjadi akomodasi transportasi internasional guna mampu menjangkau Danau Toba.

Alhasil, setelah proses pembenahan dan peningkatan kapabilitas yang berlangsung selama beberapa tahun (sejak 2011), Presiden Jokowi resmi menetapkan Silangit sebagai Bandara Internasional pada September 2017. Sebulan kemudian, bandar udara itu menerima penerbangan internasional pertama dari Singapura.

Selain penerbangan, infrastruktur transportasi darat juga dikembangkan untuk meningkatkan konektivitas menuju Danau Toba. Yakni dengan pembangunan jalan tol Medan-Tebing Tinggi-Parapat dan jalur rel kereta Medan-Parapat. Keduanya masih memerlukan waktu beberapa tahun sebelum benar-benar mantap beroperasi.

Tiga proyek andalan itu merupakan taji utama pemerintah guna meningkatkan status Toba menjadi kawasan wisata internasional.

Namun, apakah semua itu cukup?

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Menyempurnakan serta Mengelola Infrastruktur, Sarana dan Prasarana

AKP Mochtan, Deputi Sekretariat Jenderal bidang Hubungan Komunitas dan Perusahaan ASEAN memuji langkah pemerintah RI dalam merampungkan proyek Bandara Internasional Silangit yang memberikan akses yang jauh lebih besar untuk wisatawan -- domestik atau asing -- guna melancong ke Danau Toba.

Tapi, urusan meng-internasionalisasi-kan Danau Toba tak hanya cukup pada urusan infrastruktur transportasi aviasi semata.

"Pemerintah dan masyarakat lokal harus sadar bahwa berbicara tentang pengembangan Danau Toba tak melulu soal pembangunan infrastruktur semata," kata Mochtan kepada Liputan6.com, pada sela-sela program on-site observing Lake Toba Forum di kawasan Danau Toba, Minggu 17 Desember 2017.

Pasar cinderamata di Desa Tomok, Pulau Samosir, Danau Toba (Rizki Akbar Hasan/Liputan6.com)

"Tapi juga berbicara tentang manajemen dan pengelolaan kawasan wisata. Seberapa siap mereka menghadapi tantangan lonjakkan pariwisata dan mempertahankan persaingan dengan kawasan turisme lain yang serupa di kawasan," tambahnya.

Mochtan melanjutkan, perlu ada pembenahan yang sifatnya remeh-temeh, namun tak kalah penting demi memantapkan status Danau Toba sebagai destinasi turisme top dunia.

"Pembenahannya sederhana sebetulnya, seperti perbaikan kamar mandi umum di sub-titik wisata Danau Toba, sanitasi, dan sampah. Hal detil dan kecil seperti itu juga harus diperhatikan oleh pemerintah dan masyarakat lokal," kata diplomat karier ASEAN itu.

Situs Wisata Budaya Sigale-Gale, Desa Tomok, Pulau Samosir, Danau Toba (Rizki Akbar Hasan/Liputan6.com)

"Juga sistem akomodasi transportasi yang lebih jelas, seperti jadwal penerbangan, shuttle bus bandara ke kawasan wisata Danau Toba dan jadwal perahu yang berangkat dari tepi ke Samosir agar memudahkan wisatawan. Nah untuk yang seperti itu mungkin bisa membuka peluang kerja sama antara pemerintah dan swasta," tambahnya.

Cucu mendiang Tirtawinata -- Jaksa Agung RI 1946-1951 dan mantan Dubes RI untuk Irak, Pakistan, Australia, dan Skandinavia -- itu juga menekankan perlu adanya promosi ekstensif dari pemerintah Indonesia agar mampu bersaing dengan destinasi wisata di negara lain.

Selain itu, sejumlah diplomat negara sahabat yang ikut berpartisipasi dalam program on-site observing Lake Toba Forum di kawasan Danau Toba, Minggu 17 Desember 2017, juga menawarkan saran dan opini beragam terkait kawasan wisata cekung kaldera raksasa tersebut.

Pelabuhan Penyeberangan Tomok, Pulau Samosir, Danau Toba (Rizki Akbar Hasan/Liputan6.com)

"Pemerintah Anda harus bekerja sangat keras untuk mampu merebut turis dari destinasi wisata lain agar mampu berkunjung ke Danau Toba. Langkah awal bisa dimulai dari kemudahan akses dan mobilitas untuk menuju ke sini, " kata Slobodan Marinkovic, Duta Besar Serbia untuk Indonesia kepada Liputan6.com pada sela-sela on-site observing, Minggu 17 Desember 2017.

Sementara itu, Prakash Gupta, Deputy Chief of Mission Kedutaan India di Indonesia berpendapat bahwa pemerintah RI harus mulai menggalakkan promosi berskala internasional serta mekanisme konektivitas yang lebih efisien dan efektif.

"Karena banyak turis India yang pergi ke Bali, mungkin kalian harus membuat semacam paket penerbangan dari Bali-Silangit atau paket penerbangan Bali-Jakarta-Toba, sebagai langkah promosi awal," kata Gupta.

Sedangkan, Dubes Arab Saudi untuk RI, Osama Bin Mohammed Abdullah Al Shuaibi mengatakan, "Turisme berskala internasional adalah industri besar dengan keuntungan yang tak kalah besar juga. Maka, jika ingin meningkatkan statusnya (Danau Toba), pemerintah kalian (Indonesia) harus go-big."

Lake Toba Forum 2017

Lake Toba Forum merupakan perhelatan yang digagas oleh Forum of Small Medium Economic Africa ASEAN (FORSEAA) dan Kantor Utusan Khusus Presiden Seychelles di Indonesia, bekerja sama dengan Pemerintah Provinsi Sumatera Utara dan Dewan Kerajinan Nasional Indonesia.

Dengan memasang tajuk "Innovative Challenge & New Economy", forum yang dikemas dengan format dialog informal dan on-site observing itu bertujuan untuk membahas serta mempromosikan wisata berbasis geopark dan ekonomi kreatif berbasis kearifan lokal (nature-culture tourism), dengan memanfaatkan lanskap Danau Toba sebagai fokus refleksi.

3 dari 3 halaman

Aktivis: Jangan Sampai Danau Toba Kehilangan Karakter

Hampir 25 tahun Annette Horschmann, warga negara Jerman menetap di Desa Tuktuk, Siadong, Danau Toba, bersama suaminya yang seorang Batak bermarga Silalahi.

Namun, dalam kurun beberapa tahun perempuan itu merasa ada yang berbeda dengan Danau Toba saat ini, dibanding yang ia kenal pada 1993 lalu.

"Pada 25 Tahun yang lalu, Danau Toba sepi sekali. Tak ada lalu lintas. Sangat sunyi, natural, seakan tinggal dalam komunitas tradisional," kata Annette kepada Liputan6.com pada sela-sela on-site observing Lake Toba Forum 2017, Minggu 17 Desember 2017.

"Kini (Danau Toba) lebih ramai, berkembang luas. Baik untuk bisnis memang, tapi jadi lebih berisik. Banyak kapal, banyak lalu-lintas kendaraan," kata perempuan yang membuka bisnis hospitality di Desa Tuktuk itu.

Kapal penyeberangan untuk turis yang tengah beroperasi di Danau Toba (Rizki Akbar Hasan/Liputan6.com)

Ia kemudian melanjutkan, "Ramai tak apalah, jika masih sesuai dengan musimnya (liburan). Tapi jangan sampai Danau Toba kehilangan karakternya sebagai kawasan wisata natural-tradisional," katanya saat mengomentari keberprosesan kawasan wisata itu untuk menjadi taraf internasional.

Memang, bagi sebagian besar para pebisnis jasa wisata, melonjaknya angka pelancong berarti sama dengan profit yang melangit.

Annette Horschmann, pengelola Tabo Cottages, pebisnis penyedia jasa hospitality sekaligus aktivis lingkungan di Desa Tuktuk, Siadong, Danau Toba (Rizki Akbar Hasan/Liputan6.com)

Namun tidak demikian bagi Annette yang juga seorang aktivis lingkungan.

Perempuan Jerman itu mengapresiasi upaya pemerintah Indonesia untuk meng-internasionalisasi-kan Danau Toba dengan segala proyek pembangunan infrastruktur konektivitas transportasi.

Akan tetapi, Annette mengingatkan agar pemerintah juga tak lupa untuk menjaga kelestarian lingkungan Danau Toba.

"Kami takut, ketika turis semakin banyak datang ke sini, akan ada banyak masalah seperti polusi, sampah, kerusakan alam," papar perempuan boru Siallagan itu.

"Saya pikir, pemerintah harus bisa menjamin bahwa aktivitas turisme yang berlangsung dalam jangka panjang di sini sesuai dengan prinsip kelestarian alam. Mereka juga harus memerhatikan masalah seperti sampah, potensi pencemaran air, dan eceng gondok di kawasan danau," tambahnya.

Pengembangan Kapasitas dan Pemberdayaan Masyarakat Lokal

Sementara itu, Annette, yang juga menjabat sebagai Direktur Asosiasi Jasa Perhotelan dan Restoran di Pulau Samosir mengatakan bahwa pemerintah juga perlu melakukan pengembangan dan pemberdayaan masyarakat lokal agar mereka mampu menghadapi potensi arus wisatawan asing yang datang ke Danau Toba.

"Pemerintah harus memberikan masyarakat lokal pengembangan dan pelatihan kerja di bidang pelayanan turisme, pelayanan strategi pemasaran bagi pegiat ekonomi kecil-menengah, kursus bahasa, setidaknya Inggris untuk warga lokal, dan peningkatan pengelolaan kualitas komoditas, seperti kopi dan sayuran untuk memaksimalkan prinsip fair-trade di kawasan Danau Toba," tambahnya.

Pasar cinderamata di Desa Tomok, Pulau Samosir, Danau Toba (Rizki Akbar Hasan/Liputan6.com)

Annette dan anggota asosiasi yang dikelolanya mengaku telah mengupayakan sejumlah metode alternatif untuk memenuhi seluruh aspek tersebut.

"Untuk pengembangan dan pemberdayaan awal, kita sudah lakukan pelatihan, bekerja sama dengan firma turisme dari Belanda. Sedangkan kursus bahasa dibantu oleh sejumlah wisatawan Australia," paparnya.

Namun itu semua tak cukup, karena pemerintah tetap harus ikut andil dalam seluruh proses pengembangan dan pemberdayaan tersebut. 

"Semua itu memang harus dilakukan satu per satu, pelan-pelan oleh pemerintah dan pemangku kepentingan, jika ingin Danau Toba go-international seperti visi pemerintah Indonesia," ujar Annette.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini