Sukses

Mata Kail Tertua di Dunia Ditemukan di Indonesia

Mata kail tertua di dunia ditemukan di Indonesia. Diperkirakan berasal dari zaman Pleistosen. Ini fakta menariknya.

Liputan6.com, Alor - Indonesia menyimpan kekayaan arkeologi yang luar biasa. Baru-baru ini, arkeolog dari Australian National University (ANU) menemukan mata pancing yang diklaim sebagai yang tertua di dunia. Penemuan itu ada di Pulau Alor, di sebelah barat laut Nusa Tenggara Timur.

Profesor Sue O’Connor dari School of Culture, History and Language in the ANU College of Asia and the Pacific menemukan lima mata pancing di makam seorang perempuan yang diduga berasal dari Zaman Pleistosen, 12.000 tahun lalu.

"Ini adalah mata kail tertua di dunia, berkaitan dengan praktik penguburan dan mungkin mengindikasikan bahwa peralatan memancing adalah benda penting bagi reinkarnasi kehidupan masyarakat Alor," ujarnya, seperti mengutip Ancient Origins, Kamis (14/12/2017).

Penemuan itu, kata Profesor O’Connor, telah mengubah pandangannya tentang kegiatan memancing, yang mana biasanya banyak dilakukan oleh kaum Adam.

Selain itu, baik dalam kehidupan dan kematian, manusia zaman Pleistosen di Pulau Alor berhubungan erat dengan laut.

Sedangkan hubungan antara mata pancing dan penguburan menandakan status kosmologis memancing di pulau itu. Memancing bukan hanya sekedar mencari makan, melainkan memiliki sisi spiritual. 

Sebelumnya, penemuan mata pancing tertua berasal dari 9.000 tahun lalu. Penemuan itu terjadi di sebuah sungai di Siberia, di pemakaman Ershi. Diduga penemuan tersebut berasal dari Zaman Mesolitikum.

Pada konteks maritim atau kelautan, pemakaman tertua berisi kerangka tubuh dan mata pancing pernah ditemukan di Oman. Di sana, ditemukan mata pancing berputar yang terbuat dari cangkang kerang mutiara. Diperkirakan benda itu berasal dari 6.000 tahun lalu.

Mata pancing tertua lainnya berasal dari 22.000 tahun lalu yang ditemukan di Jepang, Eropa, dan Timor Timur. Namun mata pancing ini tak berkaitan dengan situs pemakaman.

Pada temuan di Pulau Alor, ada dua macam mata pancing yang dikuburkan. Satu berbentuk huruf “J” dan empat mata pancing berputar -- berbentuk bundar -- yang terbuat dari cangkang siput laut.

Temuan mata pancing berputar dari era yang lebih tua mengindikasikan, masyarakat nelayan pada masa itu mengembangkan teknologi serupa secara terpisah, tidak mempelajarinya dari kelompok lain.

"Mata pancing di Alor memiliki kemiripan dengan mata pancing berputar yang digunakan di Jepang, Australia, Arabia, California, Cile, Meksiko, dan Oceania," ucap Profesor O’Connor.

Selanjutnya, penelitian dan penemuan Profesor O’Connor dipublikasikan di Cambridge University Press journal Antiquity.

Riset di Indonesia itu dibiayai dari Kathleen Fitzpatrick Australian Laureate Fellowship yang dikeluarkan Australian Research Council.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Nenek Moyang Indonesia Tak Kalah Maju dari Eropa

Sebelumnya, ilmuwan menemukan artefak berupa perhiasan dan karya seni yang berasal dari zaman es di sebuah gua di Indonesia.

Temuan tersebut menguatkan hipotesis yang menjelaskan bahwa manusia pra-sejarah yang pernah menetap di Tanah Air pada masa lalu memiliki peradaban dan kesenian yang lebih maju.

Tim peneliti arkeologi dari Griffith University Australia yang dipimpin oleh Adam Brumm menemukan artefak tersebut pada salah satu pulau di kluster kepulauan Wallace (Wallacea).

Kluster kepulauan ini merupakan kawasan kepulauan Indonesia yang dekat dengan kawasan Australia-Pasifik, seperti Papua dan Sulawesi. Sedangkan Sumatera dan Kalimantan tergabung dalam kluster kepulauan Weber

Artefak tersebut berupa liontin dan manik-manik yang dibuat dari tulang-belulang babirusa dan kuskus (sejenis marsupiala). Diperkirakan, artefak tersebut berusia sekitar 22.000 tahun.

Temuan ini menjadi salah satu terobosan ilmiah terbaru dalam bidang arkeologi manusia prasejarah. Penelitian sebelumnya--di kawasan kluster kepulauan yang sama--berhasil membuktikan bahwa manusia prasejarah telah tiba di Wallacea sejak 47.000 tahun yang lalu.

Jika hasil penelitian keduanya dikombinasikan, ilmuwan mampu menyusun sebuah hipotesis yang membuktikan bahwa manusia prasejarah telah mencapai, mengkolonisasi, dan membangun peradaban di kluster Wallacea pada zaman es.

Meski ada 2.000 pulau pada kluster Wallacea yang berpotensi dapat dihuni manusia pra-sejarah pada zaman es (atau Pleistosen, Pleistoscene), hasil penelitian arkeologi hanya menemukan bukti peradaban pada 7 pulau saja.

"(Kluster kepulauan) Wallacea merupakan telaga ilmiah untuk temuan arkeologi penting, sebut saja temuan fosil 'manusia hobit' (Homo floresiensis) pada tahun 2003 dan artefak lukisan batu tertua pada tahun 2014. Meski menakjubkan, temuan itu dan (yang terbaru) ini hanya sebatas memberikan komprehensi dasar bagi ilmuwan untuk memahami evolusi dan perkembangan kebudayaan manusia prasejarah yang mengkolonisasi (pulau-pulau) Australasia pada 50.000 tahun lalu," ujar Adam Brumm kepada LiveScience, Selasa, (4/4).

Artefak terbaru itu ditemukan di gua Leang Bulu Bettue, di Pulau Sulawesi, pulau terbesar dalam kluster Wallacea. Temuan ini membuktikan adanya kebudayaan dan peradaban yang maju pada zaman Pleistosen di kluster Wallace pada Pulau Sulawesi.

"Temuan berlimpah di Sulawesi ini membuktikan variasi perilaku simbolik dan kebudayaan artistik pada zaman itu," ujar Brumm.

Aktifitas penggalian artefak telah dilakukan pada tahun 2013, 2015, dan 2017. Penggalian itu berhasil menemukan macam-macam jenis artefak yang berusia sekitar 22.000 hingga 30.000 tahun.

Rupa-rupa artefak itu berbentuk manik-manik pipih yang dibuat dari gigi babirusa dan liontin dari tulang jari kuskus. Hewan-hewan eksotis--yang hanya ditemukan pada kluster Wallacea--itu menjadi salah satu bentuk verifikasi temuan artefak.

Jenis artefak lain berupa; fragmentasi batuan mineral berwarna campuran merah arbei dan hijau okra; serta tulang kuskus berongga dengan pigmentasi merah kehitam-hitaman yang digunakan seperti kuas untuk melukis.

Temuan terbaru itu, menurut Brumm, dapat mendobrak hipotesis 'populer' yang menganggap bahwa kebudayaan manusia pra-sejarah Pleistosen di Wallacea cenderung primitif dan jauh tertinggal jika dibandingkan dengan kebudayaan manusia pra-sejarah Pleistosen di Eropa.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini