Sukses

HEADLINE: Soal Yerusalem, Donald Trump Menabuh Genderang Perang?

Rencana Donald Trump mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel diprediksi akan menyulut konflik hingga perang terbuka.

Liputan6.com, Yerusalem - Amerika Serikat menjadi negara pertama di dunia yang mengakui Yerusalem, secara keseluruhan, sebagai ibu kota Israel -- hanya milik negeri zionis itu. Sudah banyak pihak yang mengecam dan memberikan peringatan, namun Donald Trump bergeming. 

"Hari ini, akhirnya kita mengakui hal yang jelas: bahwa Yerusalem adalah ibu kota Israel," kata dia saat berpidato di Diplomatic Reception Room, Gedung Putih, seperti dikutip dari New York Times.

Deklarasi pengakuan tersebut kemudian akan dilanjutkan dengan pemindahan Kedutaan Besar Amerika Serikat dari Tel Aviv ke Yerusalem. Hal tersebut sesuai dengan keputusan Kongres AS pada 1995, namun dengan berbagai pertimbangan, para pendahulu Trump memilih tak melakukannya.

Selama ini Israel menguasai Yerusalem Barat, dan terus memperluas aneksasinya, sementara pihak Palestina menganggap Yerusalem Timur sebagai ibu kota masa depan. 

Entah apa di balik keputusan sang miliarder nyentik. Sejumlah berpendapat, Trump sedang melaksanakan janji kampanyenya. Agar para pendukungnya yang pro-Israel puas.

Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu tentu saja bakal senang dibuatnya. Sementara pemimpin dunia lain cemas bukan kepalang. Sebab, akibatnya bisa jadi fatal.

"Donald Trump sedang menyulut perang di Timur Tengah. Ia mendeklarasikan perang terhadap 1,5 miliar Muslim dan ratusan juta umat Nasrani yang tak akan menerima kota suci itu berada di bawah hegemoni Israel," kata Diplomat Palestina untuk Inggris, Manuel Hassassian, seperti dikuti Independent, Rabu (6/12/2017). 

Raja Abdullah dari Yordania menyatakan hal senada. Ia menilai, apa yang dilakukan Trump akan menyakiti hati umat Islam dan Kristiani. Sementara, Raja Arab Saudi Salman bin Abdulaziz al Saud mengatakan, keputusan miliarder nyentrik itu akan memprovokasi Muslim di seluruh dunia. Kecaman keras juga datang dari Iran.

Sementara itu dari Vatikan, Paus Fransiskus mengatakan, 'status quo' terkait Yerusalem harus dihormati. "Dialog hanya akan mungkin dilakukan dengan mengakui hak semua orang di wilayah tersebut, kata seperti dikutip dari BBC. Pemimpin umat Katolik dunia itu meminta semua pihak bijaksana. Demi mencegah pertumpahan darah.

Ketika konflik sampai pecah, damai pun kian menjauh dari Yerusalem, juga Timur Tengah dan dunia. Langkah perdamaian melalui solusi dua negara (two states solution) niscaya kembali mentah.

"Apa yang dilakukan oleh Donald Trump akan menghancurkan proses perdamaian secara utuh," kata penasihat kepresidenan Palestina Mahmoud Habash, yang berbicara mewakili Presiden Mahmoud Abbas. "Dunia akan membayar mahal harganya."

Dalam pembicaraan telepon dengan Donald Trump, Presiden Prancis Emmanuel Macron menekankan bahwa status Yerusalem harus ditentukan sebagai bagian dari solusi dua negara.

"Warga Israel dan Palestina hidup berdampingan dengan damai dan aman, dengan Yerusalem sebagai ibu kota mereka," kata Macron, dalam pernyataan yang dikeluarkan Kementerian Luar Negeri Prancis seperti dikutip dari NPR.

Predikat Yerusalem bukan hanya wilayah yang disengketakan. Ia adalah kota suci bagi tiga agama -- Islam, Kristen, dan Yahudi. Situs-situs suci berada di sana, terutama di Yerusalem Timur. 

Israel menganeksasi Yerusalem Timur usai Perang Enam Hari pada 1967. Negara itu secara sepihak mengklaim Yerusalem secara utuh sebagai ibu kotanya yang 'abadi'.

Negeri zionis telah membangun selusin permukiman, rumah bagi sekitar 200.000 orang Yahudi di Yerusalem Timur. Itu dianggap ilegal menurut hukum internasional, namun Israel tak mau mendengar.

Kedaulatan Israel atas Yerusalem tidak pernah diakui secara internasional dan semua negara memilih mempertahankan kedutaan mereka di Tel Aviv.

Dengan mengakui kota suci itu sebagai ibukota Israel, AS akan memperkuat dalih sekutunya itu yang mengklaim bahwa permukiman di Yerusalem Timur adalah tempat tinggal bagi komunitas negeri zionis yang sah. 

 

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Jadi Bumerang Buat AS

Para pemimpin dunia dari Vatikan hingga Teheran tak mendukung keputusan Donald Trump untuk mendeklarasikan Yerusalem sebagai ibu kota Israel.

Pun dengan sebagian besar masyarakat internasional, bahkan warga Amerika Serikat sendiri, demikian diungkapkan pengamat Timur Tengah Zuhairi Misrawi. 

"Pemindahan Kedutaan AS dari Tel Aviv ke Yerusalem dan mengakui kota tersebut sebagai ibu kota Israel akan menimbulkan kecaman keras dari dunia Islam. Apalagi mengingat status Yerusalem sebagai kota internasional dan jatuh dalam domain internasional," kata Zuhairi lewat sambungan telepon dengan Liputan6.com, Rabu 6 Desember 2017.

Zuhairi juga menambahkan, ada bukti bahwa publik di Amerika Serikat tak sepenuhnya setuju dengan langkah Presiden Donald Trump, khususnya terkait pemindahan Kedutaan AS untuk Israel ke Yerusalem.

Menurut hasil riset yang dilakukan oleh University of Maryland Critical Issues Poll, Amerika Serikat, dari 2.000 warga Negeri Paman Sam yang menjadi responden, 63 persen menolak rencana tersebut.

"Intinya, saya melihat, kalau kebijakan itu hanyalah ambisi pribadi Donald Trump yang tidak terkalkulasi, hanya untuk menarik simpati kelompok tertentu tanpa memikirkan proses perdamaian yang tengah berlangsung," kata dia. 

Kebijakan Donald Trump juga diprediksi akan memancing gelombang kekerasan. Seperti dikutip dari Haaretz, sejumlah faksi di Palestina akan menggelar demonstrasi secara maraton selama tiga hari, terhitung sejak Selasa 5 Desember 2017, di sejumlah titik di Al Quds Al Sharif, sebutan Yerusalem dalam Bahasa Arab.

Anggota Komite Pusat Fatah, Jamal Mahisan mengatakan, keputusan Trump bikin orang-orang Palestina yang meradang untuk turun ke jalan dengan amarah.

"Orang Palestina tahu bagaimana melindungi hak-hak mereka (terkait status Yerusalem). Kami sedang berkonsultasi mengenai langkah dalam beberapa hari mendatang," kata Mahisan.

Proses utama demonstrasi direncanakan pada Kamis siang di Alun-Alun Al Manara di Ramallah. Orang-orang dari seluruh Tepi Barat diharapkan berkumpul di sana.

Kantor Kedutaan AS untuk Israel di Tel Aviv juga tengah bersiap untuk menjadi titik kumpul utama para demonstran. Penjagaan diperketat di sana. Kekhawatiran utama ketika aksi protes itu terjadi adalah, serangan teror oleh aktor tunggal (lone wolf).

Efek Bumerang

Tak hanya menimbulkan guncangan politik di kawasan, langkah tersebut akan mematahkan upaya Donald Trump dan AS untuk memerangi terorisme. Kebijakan tersebut justru akan memberikan efek bumerang pada Washington DC.

Shilbey Telhami, peneliti senior bidang kebijakan luar negeri, Timur Tengah, dan Dunia Islam untuk Brookings Institute mengatakan, tak hanya menyulut konflik di kawasan, rencana AS untuk mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel akan merusak upaya Washington DC untuk melawan terorisme.

"Langkah tersebut akan berlawanan dengan segala prioritas yang pernah diambil oleh AS di Timur Tengah, termasuk di antaranya, memerangi militansi ekstremisme-radikalisme bertendensi teror dan mengurangi pengaruh Iran di kawasan," kata Telhami.

AS juga akan kehilangan sekutu-sekutu pentingnya di Timur Tengah. Misalnya Turki yang juga anggota NATO. Arab Saudi, Yordania, dan Mesir pun diprediksi akan berpaling.

Keputusan Donald Trump juga membahayakan para diplomatnya. Departemen Luar Negeri AS dilaporkan memperingatkan kedutaan besarnya di seluruh dunia untuk meningkatkan keamanan menjelang pengumuman yang akan dikeluarkan presidennya itu.

Direktur kebijakan Israel Policy Forum Michael Koplow berpendapat, risiko gelombang kekerasan yang dipicu aksi simbolis AS terpampang nyata.

"Tidak ada yang perlu dipertanyakan lagi, hal itu akan mengakibatkan kekacauan dan kerusuhan di suatu tempat," tulis Koplow di blog pribadinya.

"Apakah mengeluarkan pernyataan simbolis mengenai status Yerusalem dan pemindahan kedutaan lebih bernilai dari nyawa seorang warga Amerika, Israel, atau Palestina?," kata dia seperti dikutip dari Business Insider.

Koplow menambahkan, bahkan tak ada properti siapa pun dan di mana pun yang layak rusak gara-gara kebijakan Donald Trump itu.

"Apakah itu masih dianggap layak jika PLO menindaklanjuti ancamannya untuk menarik pengakuannya terhadap Israel, atau menghentikan kerja sama keamanan yang mencegah terorisme dan roket dari Tepi Barat?"

Ia menilai, keamanan Yerusalem dan keselamatan semua orang lebih berharga dari kebijakan seorang Donald Trump -- apapun alasannya. 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.