Sukses

Gunungkidul dan Pulung Gantung, Antara Fakta dan Mitos

Pulung gantung adalah benda berbentuk bola api besar yang terbang di atas langit. Benda ini kerap dikaitkan dengan penanda buruk.

Liputan6.com, Gunungkidul - Kabupaten Gunungkidul yang terletak di provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta sudah lama dikenal karena angka bunuh diri yang tinggi di kalangan warganya. Sebagian menyebut depresi menjadi penyebab, sementara sebagiannya lagi percaya pada mitos.

Dilansir dari laman VOA Indonesia, Jumat (24/11/2017), ada sebuah mitos yang hingga saat ini masih menjadi hal menakutkan bagi warga setempat. Mitos itu dikenal warga dengan sebutan pulung gantung.

Pulung gantung adalah benda berbentuk bola api besar yang terbang di atas langit. Benda ini kerap dikaitkan dengan penanda buruk bagi masyarakat di kawasan tersebut.

Seorang warga bernama Zuhri mengaku pernah melihat pulung gantung ketika masih berusia delapan tahun. Penampakan yang ia alami pada tahun 1980-an itu terlihat ketika ia tengah berada di sungai tak jauh dari rumahnya yang terletak di Karangmojo.

"Ibu saya teriak-teriak waktu melihat pulung gantung. Kata orang, kalau ada pulung gantung, maka akan ada orang yang bunuh diri di daerah tersebut. Tetapi, pasca-pulung gantung terlihat, tak ada yang bunuh diri," ujar Zuhri sambil tertawa.

Kejadian itu adalah penampakan pertama kali sekaligus yang terakhir bagi Zuhri. Namun, mitos mengenai benda asing itu hingga kini masih terpelihara. Padahal tidak pernah ada yang bisa menerangkan lebih rinci tentang pulung gantung itu.

Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta menjadi fenomena tersendiri dalam kasus bunuh diri di Indonesia. Setiap tahun, rata-rata 30 warganya mengakhiri hidup.

Data menunjukkan, sejak 2015 sampai November 2017, sudah 90 warga bunuh diri, 88 orang dengan cara gantung diri dan dua orang menceburkan diri ke sumur.

Dulu, mitos soal kehadiran benda asing berwarna merah yang terbang di langit selalu dikaitkan dengan kasus bunuh diri. Benda merah itu disebut sebagai pulung gantung. Pulung berarti nasib, jadi penamaan itu bermakna bahwa di daerah yang dilewati pulung gantung akan ada orang yang bernasib sial, mengakhiri hidup dengan cara gantung diri.

Hingga hari ini, mitos itu masih ada. Memang terkikis oleh pemahaman yang lebih baik, tetapi tidak sepenuhnya hilang.

Wage Dhaksinarga, aktivis LSM Inti Mata Jiwa (Imaji) di Yogyakarta menyebut mitos pulung gantung ada di benak setiap warga Gunungkidul hingga saat ini.

Pada sisi yang lain, mitos ini secara tidak sadar menjauhkan masyarakat dari fakta bahwa kesehatan jiwa sebenarnya cukup dominan dalam kasus bunuh diri.

"Di setiap pelaporan kasus bunuh diri, masyarakat lokal akan mengatakan bahwa kematian tersebut karena pulung gantung," ujar Wage.

"Karena mitos yang sudah mendarah daging, banyak warga yang tak mau melihat alasan atau faktor kesehatan jiwa. Seolah-olah semua ini karena pulung gantung," ujar Wage yang bersama Imaji beberapa tahun terakhir berkampanye soal pencegahan bunuh diri di Gunungkidul.

Kepolisian Resor Gunungkidul, Yogyakarta mencatat, hingga bulan ini, ada 31 upaya bunuh diri dengan dua kasus percobaan yang tidak berhasil.

Mayoritas bunuh diri dengan menggantung di pohon atau kandang sapi. Kepolisian menyebut, setidaknya ada tiga faktor utama yang menjadi penyebab, yaitu gangguan kejiwaan, sakit lama yang tidak sembuh dan beban hidup karena harus tinggal sendirian.

Wage menambahkan, pemerintah dan masyarakat harus mulai menyadari, bahwa faktor kesehatan jiwa selalu dominan sebagai penyebab. Karena itu, langkah penanggulangannya harus dimulai dari sektor itu.

"Saya hitung dari 29 kasus, ada 16 kasus terkait depresi. Walau ada keterangan sakit menahun, tetapi itu faktor penyebab depresi. Kenapa angkanya relatif stabil, karena menurut saya penanganan bunuh diri ini pendekatannya kurang tepat. Depresi itu lebih dari 50 persen, tetapi sampai hari ini pendekatan terkait kesehatan jiwa belum begitu maksimal," ujar Wage.

 

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Langkah Pemerintah

Wakil Bupati Gunungkidul, Immawan Wahyudi ketika dihubungi VOA Indonesia mengaku pemerintah daerah tidak tinggal diam. Selama beberapa tahun terakhir, sejumlah kebijakan telah diterapkan. Namun, hasilnya tidak dapat dilihat secara cepat, karena bunuh diri di daerah ini erat kaitannya dengan faktor sosial.

Immawan mengatakan, banyak pihak menduga kemiskinan menjadi faktor utama. Namun penelitian menunjukkan, kasus bunuh diri justru lebih banyak terjadi di kawasan perkotaan, dan bukan di desa-desa terpencil.

Salah satu penyebab dominan adalah warga berusia lanjut yang hidup kesepian dan memiliki keterbatasan untuk aktivitas sosial.

"Orang Gunungkidul itu rasa sosialnya tinggi. Ketika dia merasa sudah tidak bisa berperan di lingkup sosial, dia merasa tidak berguna. Ketika merasa sepi, tidak bermakna secara sosial, tertekan, kemudian depresi, dan jika semakin kuat biasanya diakhiri dengan bunuh diri. Karena itu, di Puskesmas yang daerahnya subur kasus bunuh diri akan disediakan psikolog," ujar Immawan.

Selain menempatkan psikolog di tiap Puskesmas, pemerintah setempat juga membuat Satuan Tugas Berani Hidup. Immawan Wahyudi adalah ketua satgas yang bertugas merumuskan upaya penurunan kasus bunuh diri itu.

Pemerintah Gunungkidul juga baru saja menyusun sebuah modul panduan penanggulangan bunuh diri. Modul ini mengumpulkan peran lintas instansi dan masukan pakar perguruan tinggi. Modul ini akan menjadi kerangka kerja bagi setiap pihak agar memiliki langkah lebih sistematis dengan target yang jelas.

Bagi Immawan, langkah pencegahan ini harus tetap memperhatikan budaya lokal yang mempercayai konsep pulung gantung.

Penyadaran akan mitos itu dilakukan dengan memberi argumen yang sesuai dengan kondisi dan kepercayaan masyarakat. Pemerintah harus menghargai faktor yang tidak rasional, bukan untuk mempercayainya, tetapi memahaminya agar bisa menerapkan strategi yang tepat.

"Saya sering bercanda begini, kita ini tidak mungkin melawan orang yang percaya pulung gantung dengan Surat Keputusan (SK) dari pemerintah. Kerja ini harus rasional, tetapi harus memberi ruang kepada mereka yang percaya hal-hal irasional itu," ujar Immawan.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.