Sukses

AS Desak Investigasi Independen atas Krisis Rohingya

Sejauh ini, AS melihat sanksi tidak efektif untuk mengatasi krisis Rohingya yang berpusat di Rakhine State, Myanmar.

Liputan6.com, Naypyidaw - Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Rex Tillerson menyerukan agar dilakukan penyelidikan independen atas krisis Rohingya. Diplomat AS itu menyatakan bahwa isu tersebut memicu keprihatinan pihaknya. Namun, Tillerson menambahkan, belum ada sanksi untuk Myanmar saat ini.

Pernyataan Tillerson tersebut mencuat setelah ia bertemu dengan Aung San Suu Kyi dan pemimpin militer Myanmar.

Selama ini, militer Myanmar dituduh membunuh warga Rohingya dan membakar desa-desa mereka hingga memaksa etnis minoritas tersebut melarikan diri ke Bangladesh.

Tekanan internasional atas Suu Kyi telah meningkat selama berbulan-bulan belakangan atas dugaan kekerasan yang dilakukan militer Myanmar. PBB sendiri menggambarkan apa yang dialami etnis Rohingya sebagai ciri-ciri pembersihan etnis.

Suu Kyi merupakan kepala de facto pemerintahan sipil Myanmar. Namun, perempuan berusia 72 tahun tersebut tidak memiliki kendali atas militer. Suu Kyi yang merupakan putri dari Jenderal Aung San dituding mengabaikan nasib etnis Rohingya yang selama ini "terombang-ambing" tanpa kewarganegaraan.

Berbicara pada hari Rabu dalam sebuah konferensi pers bersama dengan Suu Kyi, Tillerson mengatakan bahwa AS "terluka" dengan penderitaan para pengungsi Rohingya yang melarikan diri ke Bangladesh.

"Apa yang terjadi mengerikan," kata Tillerson. Ia menambahkan, ini merupakan krisis terbesar yang dihadapi Myanmar sejak transisi dari pemerintahan militer. Demikian seperti dikutip dari BBC, Kamis (16/11/2017).

Sekitar 600 ribu warga Rohingya telah meninggalkan Myanmar sejak Agustus tahun ini pasca-operasi militer besar-besaran. Militer Myanmar mengklaim tindakan tersebut merupakan respons atas serangan kelompok Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA) ke sejumlah pos keamanan.

Tillerson sendiri mengutuk serangan ARSA tersebut, dan menyebutnya sebagai "serangan tak beralasan" yang tidak dapat ditoleransi.

Ia melanjutkan, AS akan terus mendukung transisi Myanmar menuju demokrasi. "Kami ingin melihat Myanmar berhasil...Saya tidak melihat sanksi dapat membantu menyelesaikan krisis".

Tillerson juga mengatakan, AS akan memberikan bantuan lebih kepada Myanmar dan Bangladesh demi mengatasi krisis kemanusiaan Rohingya.

Pembelaan Suu Kyi

Di lain sisi, Aung San Suu Kyi memiliki pembelaan sendiri terkait tuduhan yang mengarah padanya. Ketika ditanya wartawan mengapa ia berdiam diri atas penderitaan warga Rohingya, Suu Kyi mengatakan bahwa kantornya telah mengeluarkan beberapa pernyataan dan ia sendiri telah bersuara terkait krisis kemanusiaan tersebut.

"Saya tidak pernah diam...apa yang mereka maksud adalah yang saya katakan tidak cukup menarik," ungkap Suu Kyi.

Pada Selasa waktu setempat, militer Myanmar merilis hasil penyelidikan internal di mana mereka dianggap "cuci tangan" atas kekerasan terhadap warga Rohingya.

Laporan tersebut berisi bantahan bahwa mereka telah membunuh, membakar desa-desa, memperkosa wanita dan remaja serta menjarah harta warga Rohingya. Laporan ini bertolak belakang dengan kesaksian para pengungsi Rohinya.

Amnesty International menilai bahwa laporan versi militer Myanmar tersebut berusaha "menutupi kesalahan-kesalahan" yang mereka lakukan. Organisasi pemerhati HAM tersebut mendesak agar tim pencari fakta PBB diizinkan masuk ke Rakhine State, wilayah yang selama ini menjadi rumah bagi etnis Rohingya di Myanmar.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Penegasan Menlu AS di Burma

Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat menekankan bahwa lawatan Menlu AS ke Myanmar adalah untuk mendesak agar Burma segera menghentikan segala bentuk kekerasan dan melakukan pemulihan terhadap etnis Rohingya yang terdampak krisis kemanusiaan di kawasan.

"Tillerson menegaskan perlunya demokratisasi secara penuh di Myanmar dan perlindungan kepada seluruh populasinya, membuka jalan bagi bantuan humanitarian bagi yang membutuhkan (Rohingya), dan keterbukaan bagi media asing ke Burma," kata seorang pejabat senior Kemlu AS dalam telephonic briefing via Manila, Selasa, 14 November 2017.

Pejabat senior Kemlu AS itu juga menyebut bahwa Tillerson menyambut dan mengapresiasi rencana Myanmar dan Bangladesh yang ingin melakukan repatriasi pengungsi Rohingya kembali ke Rakhine.

Saat ini, Bangladesh menampung sekitar lebih dari setengah juta pengungsi Rohingya yang datang dari Rakhine.

"Tillerson juga menegaskan kepada pihak militer Myanmar agar mereka mampu segera memulihkan stabilitas di negaranya, memberikan perlindungan kepada seluruh warga, menjamin keselamatan para pengungsi yang ingin kembali ke wilayahnya, dan memastikan semua itu berlangsung," ucap pejabat senior Kemlu AS.

Pejabat Kemlu AS itu juga menyebut bahwa Tillerson menegaskan kepada Myanmar bahwa 88 rekomendasi Ketua Advisory Commission on Rakhine State, Kofi Annan menjadi target ideal jangka panjang yang ingin dicapai oleh berbagai negara yang peduli pada isu Rohingya, termasuk AS.

"Namun untuk sementara, Tillerson lebih mendorong ke penghentian segala kekerasan, pengembalian para pengungsi kembali ke rumah mereka secara sukarela dan aman, membuka akses bantuan humaniter, dan penjaminan mengenai keamanan mereka," kata sang pejabat senior Kemlu AS itu.

Sementara itu, pada kesempatan yang berbeda, Kepala Misi AS untuk ASEAN, Daniel Shields, mengatakan bahwa isu Rohingya masuk dalam salah satu isu yang dibahas saat Presiden AS Donald Trump bertemu dengan para pemimpin negara ASEAN beberapa hari lalu.

"Krisis humaniter di sana, AS paham situasi tersebut. Isu tersebut juga menjadi bahasan dalam KTT ASEAN," kata Shields merangkum hasil pertemuan ASEAN - US Summit dalam KTT ASEAN 2017 lewat telephonic briefing via Manila, Rabu 15 November 2017.

"Kami menyampaikan apresiasi atas kinerja negara-negara anggota ASEAN dalam menanggapi krisis tersebut serta kehadiran AHA Center di Myanmar dalam menanggapi isu tersebut. Namun, AS sadar bahwa masih banyak yang harus dilakukan terkait krisis tersebut," ia menambahkan.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini