Sukses

Ternyata, 5 Makanan Ini Hasil Resep Kuno Warisan Nenek Moyang

Seiring perpindahan manusia, berbagai resep pun menyebar dan membaur dengan racikan di daerah-daerah baru.

Liputan6.com, Jakarta - Makanan adalah salah satu pencapaian sederhana namun penting. Mulai dari kaisar-kaisar di masa lalu hingga restoran modern di kota metropolitan, menikmati makanan telah menjadi bagian dari gaya hidup kita.

Bahan-bahan makanan biasanya didapat dari apa yang ada di lingkungan hidup suku atau kelompok. Seiring perpindahan manusia, berbagai resep pun menyebar dan membaur dengan racikan di daerah-daerah baru.

Walaupun cocok di suatu kawasan suku atau masyarakat tertentu, bahan makanan malah bisa membawa maut jika mengandung zat yang tidak bisa dicerna masyarakat di daerah lain.

Diringkas dari listverse.com pada Jumat (27/10/2017), berikut ini adalah 5 makanan kuno yang paling menarik karena riwayat yang berkaitan:

 

 

 

 

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 6 halaman

1. Moretum

Moretum. (Sumber Wikimedia Commons)

Di masa Romawi Kuno, moretum adalah sejenis ulasan keju yang dipakai oleh warga jelata Romawi pada beragam roti yang mereka santap.

Pujangga Virgil – yang kerap dikenal juga sebagai Aeneid – menggubah koleksi puisi berjudul Appendix Vergiliana. Sumber-sumber purba menyebutkan, koleksi itu sebagai karyanya, walaupun mungkin banyak juga yang digubah orang lain sebelum dikumpulkannya.

Salah satu puisi membahas suatu makanan yang disebutnya Moretum. Dalam puisi itu, rakyat jelata mengumpulkan bahan-bahan dari ladang mereka, misalnya bawang putih, rempah, dan mentega, lalu menyiapkan makanan mereka sambil mengobrol dan bicara kepada budaknya.

Ada juga variasi yang sering dimakan dan mengandung kacang-kacangan pinus yang mirip sekali dengan pesto di masa kini.

Bicara soal nama, karena bahan-bahannya ditumbuk bersama dalam alu atau mortar dalam bahasa Inggris. Jadi tidak heran kalau namanya moretum, yang berasal dari bahasa Romawi untuk itu.

3 dari 6 halaman

2. Shrikhand

Shrikhand rasa mangga. (Sumber Wikimedia Commons)

Nama ini berasal dari paduan kata ksheer yang berarti 'susu' dalam bahasa Sansekerta dan bahasa Qand yang berarti 'manis' dalam bahasa Persia.

Shrikhand adalah sajian penutup yang terbuat dari susu fermentasi. Asal muasal aslinya hilang dari sejarah, tapi tradisi yang ada mengatakan bahwa sajian ini berasal dari bagian barat India.

Para penggembala yang merantau dilaporkan menggantung yoghurt semalaman hingga mengeras selama prosesnya.

Versi-versi lanjutan shrikhand mengandung beberapa bahan lain, termasuk gula, bumbu, dan kacang-kacangan.

Shrikhand sekarang ini paling lazim ditemui di India dan disajikan bersama sarapan di kawasan–kawasan utara negeri itu. Di Selatan, sajian ini masih secara tradisi dijaga sebagai makanan penutup.

Proses asli pembuatannya dimulai dengan pemanasan susu yang kemudian didinginkan pada suhu ruang, lalu ditambahkan kultur agar terjadi pengentalan.

Gumpalan hasilnya disaring untuk memisahkan gandum dan kemudian dicampur dengan bahan tambahan yang diinginkan.

4 dari 6 halaman

3. Tamales

Tamales. (Sumber Pixabay)

Makanan yang satu ini benar-benar tradisional Mesoamerika. Tamales telah dimasak sejak setidaknya 1500 SM. Beberapa bukti bahkan menunjuk hingga 8000 SM.

Namanya sendiri berasal dari bahasa Nahuatl yang berarti "makanan dibungkus" (tamalii). Bentuk tunggal yang benar adalah tama.

Menurut tradisi, bangsa Maya membuat sajian berbahan dasar jagung ini untuk diisi atau disantap begitu saja. Isiannya mulai dari ikan, kacang, hingga telur.

Tamales bangsa Aztec agak mirip bentuknya. Beberapa penjelasan tentangnya berasal dari Bernardino de Sahagun, seorang romo Spanyol yang menulis tentang pengalamannya di Dunia Baru segera setelah penaklukan bangsa Aztec.

Ada juga tamales yang menjadi makanan penutup, biasanya diisi dengan buah-buahan atau madu.

Tamales, terutama yang terbuat dari bayam tumbuk, juga memiliki konotasi religius karena menjadi bagian dalam saji-sajian kepada bermacam-macam dewa.

Sebagai akibatnya, Gereja Katolik sempat melarang tamales dan bayam. Hukuman mati menjadi bentuk hukuman bagi mereka yang kedapatan membuat makanan ini.

Mengenai bungkus tamales, biasanya dipakai kulit jagung yang kemudian berguna membantu dalam proses pengukusan. Sementara itu, daun pisang lebih lazim digunakan di kawasan-kawsan tropis.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

5 dari 6 halaman

4. Sup Hitam

Dinuguan, sup darah babi dari Filipina, mirip dengan melas zomos bangsa Sparta. (Sumber Alchetron)

Kaum Sparta di Yunani Kuno adalah penemu salah satu makanan paling unik ini. Melas zomos, demikian nama dalam bahasa aslinya, adalah sup atau kaldu tradisional yang disantap tentara.

Karena untuk keperluan peperangan, sup itu hanya disantap untuk kelangsungan hidup, walaupun ada beberapa pihak yang mengatakan bahwa bangsa Sparta menikmatinya.

Sup itu dibuat dari rebusan darah babi, daging babi, dan cuka. Sup itu bahkan sudah terkenal tak enak pada masanya.

Alkisah, seorang Italia yang mencobanya kemudian mengerti mengapa bangsa tidak sungkan mengorbankan nyawa dalam peperangan, mengingat hanya mendapat jatah sup tersebut.

Ada juga cerita tentang raja Pontus yang ingin mencoba sup itu. Ia meminta koki Sparta untuk menyiapkannya. Belum satu sendok penuh masuk dalam mulutnya, raja sudah merasa jijik.

Menurut koki Sparta, sang raja seharusnya mandi dulu dalam sungai Sparta. Maksudnya, hanya orang Sparta yang bisa menikmatinya.

Sayangnya, tidak ada resep tertentu yang tersisa hingga hari ini, walaupun bermacam-macam sup darah masih dinikmati di seluruh dunia.

6 dari 6 halaman

5. Tharida

Ilustrasi sup kambing dengan roti. (Sumber Wikimedia Commons)

Tharida adalah sup dari Arab yang disebut-sebut bertarikh hingga ke zaman Nabi. Sup itu diciptakan oleh suku Ghassaniyah dan mengombinasikan semur daging dengan kaldu dan remah roti. Remah roti pada tharida tradisional masih dilakukan dengan tangan.

Kaum Ghassaniyah adalah kelompok Arab Kristen hingga akhirnya kerajaan mereka diduduki. Namun demikian, daya tarik tharida menular bahkan ke kalangan kaum Muslim Arab.

Sajian ini menjadi salah satu makan tradisional Arab yang menyebar ke seluruh dunia. Variasi-variasinya ditemukan dari Maroko hingga ke China.

Tiap budaya menambahkan cita rasa unik masing-masing sehingga sekarang ini ada ratusan versi tharida. Misalnya bangsa Moor di Spanyol yang menggunakan terong dalam tharida mereka.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.