Sukses

Ini Senjata Mematikan Korut yang Bisa Musnahkan Seluruh Warga AS?

Liputan6.com, Washington, DC - Sejumlah ahli pada rapat dengar pendapat 12 Oktober 2017 lalu telah memperingatkan Kongres AS bahwa Korea Utara tengah mengembangkan sebuah senjata mematikan terbaru. Menurut mereka, senjata itu mampu mematikan seluruh jaringan listrik AS dan membunuh sebagian besar orang Amerika dalam setahun.

Dua orang ahli sekaligus mantan anggota Komisi Nuklir EMP (Electromagnetic Pulse) mengatakan pada sebuah komite di Homeland Security, Kim Jong-un kini tengah mempersiapkan serangan bom nuklir EMP (Electromagnetic Pulse) ke AS. Namun, pihak pemerintah mengaku tidak mengetahui ancaman itu.

Mengutip Independent, pada Selasa (17/10/2017), bom nuklir EMP milik Korut itu diprediksi mampu membunuh 90 persen orang AS dalam satu tahun.

Bagaimana serangan EMP berlangsung? Menurut dua orang mantan komisi khusus EMP, Dr. William R. Graham dan Dr. Peter Vincent Pry, senjata itu bisa meledakkan bom hidrogen yang dikirim oleh misil atau bahkan dari satelit di ketinggian 30 hingga 400 km.

Ledakan itu menciptkan gelombang elektromagnetik yang bisa memutus jaringan listrik seantro AS.

Tak hanya itu, seluruh perangkat listrik bisa tak berfungsi. Tak ada lampu, tak ada komputer, tak ada telepon, tak ada internet. Bahkan mobil pun tak bisa digunakan.

Dengan lemari pendingin tak berfungsi, akibatnya makanan mudah busuk. Ujung-ujungnya ancaman kelaparan ada di depan mata. Belum lagi akses air bersih, lalu lintas kacau dan transaksi keuangan gagal. Seluruh AS jadi karut-marut yang berakhir dengan kehancuran.

Graham adalah fisikawan dan merupakan penasihat sains di masa Presiden Ronald Reagan dan juga pernah memimpin NASA.

Sementara Pry adalah mantan CIA yang dulunya bertanggung jawab untuk menganalisis Soviet serta strategi nuklir Rusia. Ia sempat menjabat beberapa badan kongres AS terkait keamanan.

Dalam pernyataan keduanya, mereka menemukan indikasi bahwa Korut tengah mempersiapkan nuklir EMP sekitar enam bulan lalu.

"Setelah kegagalan intelijen besar-besaran yang sangat meremehkan kemampuan rudal jarak jauh Korea Utara, jumlah senjata nuklir, miniaturisasi hulu ledak, dan Bom-H, ancaman terbesar Korea Utara adalah serangan EMP nuklir yang AS tidak diketahui," kata pernyataan keduanya.

Keduanya lantas meminta Kongres untuk melindungi jaringan listrik AS. Serta memperingatkan untuk meningkatkan sistem pertahanan misil balistik AS.

Sistem pertahanan misil balistik AS didesain untuk menahan serangan Korea Utara yang mendekat AS dari arah Kutub Utara saja. Sementara, dari arah Kutub Selatan, AS belum membuat pertahanan, sehingga sangat mungkin Korut menyerang dari situ.

Ancaman serangan nuklir EMP rupanya juga pernah diungkapkan oleh salah satu pendiri komisi EMP, yang juga dari Partai Republik, Curt Weldon.

Pada bulan lalu, Weldon menulis opini di The Hill mengatakan, "Serangan nuklir EMP akan menghancurkan semua peralatan elektronik, menyebabkan pesawat jatuh, menghentikan lampu lalu lintas dan merusak jaringan listrik. Infrastruktur manusia modern dengan mudah luluh lantak akibat serangan ini. Perlahan-lahan, jutaan orang akan tewas, penyakit berkembang biak dan komunitas pun hancur."

Adapun Graham dan Pry mengatakan, Korea Utara diduga memiliki lebih dari 60 senjata nuklir. Pyongyang juga memiliki misil balistik lintas benua yang mampu mencapai Denver dan Chicago.

"Dan mungkin misil itu bisa mencapai seluruh kota di AS," ujar keduanya. "Rezim Kim Jong-un sudah mengembangkan bom hidrogen setingkat senjata thermonuklir yang dimiliki AS."

Mantan ahli roket NASA, James Oberg juga memiliki ketakutan senada dengan Weldon, Graham dan Pry. Sebelumnya, ia pernah memperingatkan bahwa rezim Kim Jong-um bisa menggunakan satelit untuk membawa hulu ledak nuklir dan meledakkannya di atas AS.

Graham dan Pry mengutuk perang retorika antara Donald Trump dan Kim Jong-un yang justru memperkeruh suasana di Semenanjung Korea Utara.

Adapun komisi EMP sebenarnya telah dibekukan pada 30 September lalu. Komisi itu dibentuk tahun 2001 dan beberapa kali diperpanjang keberadaannya, hingga 2016 saat Donald Trump jadi presiden AS ke-45.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini