Sukses

9 Tahun Jadi 'Dewi Hidup' Kumari, Matina Kini Hidup Normal

Setelah kumari baru tiba, Matina Shkya, mantan 'dewin hidup' keluar dari pintu samping. Ia meninggalkan kuil.

Liputan6.com, Kathmandu - Seorang 'dewi hidup' di Nepal yang dikenal dengan Kumari, kini kembali menjalani hidup normal, setelah sembilan tahun dalam isolasi.

Remaja putri berusia 12 tahun itu bernama Matina Shkya. Ia dahulu adalah kumari, titisan Dewi Taleju. Saat Matina berusia tiga tahun, tanda-tanda bahwa ia adalah kumari terlihat. Oleh sebab itu, ia diambil dari keluarganya, untuk hidup sebagai Royal Kumari, dan tinggal di sebuah istana kuil di Kathmandu.

Royal Kumari hanya boleh meninggalkan istana 13 kali tiap tahunnya, terutama di hari-hari festival keagamaan. Saat itu, sang dewi dirias sedemikian rupa. Kehadirannya ditunggu kerumunan umat.

Dikutip dari The Independent pada Senin (16/10/2017), Matina sebagai kumari selalu ditandu ketika tampil di depan publik. Sebagai bagian dari tradisi, kakinya tidak boleh menyentuh tanah.

Tugas dari seorang Royal Kumari adalah memberi restu kepada anggota kerajaan dan pejabat pemerintah.

Matina Shkya, mantan titisan dewi yang kini kembali ke masyarakat. Tempatnya sebagai Royal Kumari telah digantikan oleh bocah cilik lainnya (AFP)

Ada sekitar 12 kumari di seluruh Kathmandu. Meski demikian, hanya satu yang paling dianggap penting. Ia wajib diisolasi dari masyarakat.

Ketika titisan dewi itu mulai mencapai pubertas atau telah menstruasi, dia pun dikembalikan ke masyarakat sebagai mantan kumari. Dan bocah kecil lainnya menggantikan posisinya di istana.

Adapun Matina, digantikan posisinya oleh penggantinya pada 28 September lalu. Titisan Dewi berikutnya bernama Trishna Shakya, yang masih berusia 3 tahun.

Ayah dari Matina, Pratap Man Shakya mengatakan kepada AFP bahwa ia percaya putrinya yang berusia 12 tahun mampu beradaptasi sebagai mantan titisan dewi sekembalinya ke masyarakat.

"Kami berharap ia bisa kembali ke sekolah dalam suasana yang baik dan menjadi murid yang baik," kata sang ayah. "Kumari adalah tradisi kuno sehingga kami harus melanjutkan itu sesuai dengan keadaan zaman," lanjutnya.

Menurut Shakya, karena kumari adalah identitas nasional serta budaya, negara harus mempertimbangkan segala aspek bagi sang titisan dewi itu sendiri.

Ada pun kepala sekolah Matina mengatakan, ia bangga insitusi pendidikannya menerima mantan titisan dewi.

Sementara itu, guru pribadi Matina yang membimbingnya saat menjadi Royal Kumari mengatakan dia bangga telah mendidik titisan dewi.

"Saya bangga dan beruntung telah menjadi guru bagi dewi hidup," kata Laxmi Maharjan.

"Dia adalah sosok yang mau belajar hal baru dan memiliki segudang kegiatan seperti melukis, memasak dan lainnya," lanjutnya.

Matina meninggalkan kuil melalui pintu samping sesaat setelah Kumari baru, Trishna Shakya, tiba.

Trishna Shakya bersama dengan nenek dan kakeknya saat bersiap-siap menjadi Kumari baru. (AFP)

Saat keluar, Matina masih mengenakan make up Kumari, termasuk "mata ketiga" yang dilukis di dahinya dan jubah dewi.

 

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Tradisi yang Dikritik

Tradisi kumari, yang berasal dari kata Sansekerta untuk "putri", dimiliki masyarakat adat Newar di lembah Kathmandu.

Aktivis hak asasi manusia, termasuk Pusat Rehabilitasi Wanita Nepal (WOREC), mengutuk tradisi kumari karena merampas masa kecil anak perempuan.

Namun, Mahkamah Agung pada tahun 2008 menyimpulkan bahwa peran tersebut tidak merupakan bagian dari mempekerjakan anak dan tidak membatasi kebebasan para titisan dewi itu. Keputusan itu mewajibkan para kumari untuk belajar sesuai umurnya.

Mantan Royal Kumari, Rushmila Shakya, menerbitkan sebuah memoar pada tahun 1990-an yang menggambarkan kesulitan untuk kembali ke kehidupan normal sebagai dewi.

Lantas, apa yang menjadi syarat untuk menjadi seorang titisan dewi?

Kriteria untuk menjadi seorang Kumari sangat ketat dan mencakup sejumlah persyaratan fisik tertentu, seperti fisik yang tak cacat, "dada seperti singa", dan "paha bak rusa".

Bahkan ketika seorang bocah perempuan memenuhi semua persyaratan fisik, ia kemudian harus membuktikan keberaniannya dengan tidak menangis saat melihat penyembelihan kerbau.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.