Sukses

HEADLINE: Penembakan Las Vegas dan Akhir Tragis Sang Penjudi

Festival musik Route 91 Harvest di Las Vegas berakhir kelam dengan terjadinya penembakan massal yang menewaskan 59 orang.

Liputan6.com, Las Vegas - Polisi mendatangi rumah tersangka penembakan massal di Las Vegas, Stephen Craig Paddock (65), di Mesquite, Nevada.

Di rumah pelaku, polisi menemukan dua kendaraan yang terdaftar di Texas dan California, tempat tinggal terdahulu Paddock. Juga izin berburu dan memancing ikan di Alaska.

Selain menggeledah kediaman Paddock, polisi juga mencari Marilou Danley (62) yang disebut-sebut sebagai pacar Paddock. Laporan awal menyebutkan, Paddock ada di kamar hotel bersama Danley. Wanita itu kemudian kabur setelah terjadi penembakan.

Namun, seperti dilansir Washington Post, Sherif Las Vegas Metropolitan Police Department (LVMPD), Joseph Lambardo, meralat itu semua. Ia mengatakan, Danley tidak berada di tempat kejadian. CNN menyatakan Danley saat ini berada di Filipina.

Perempuan itu diduga memegang paspor Australia dan berdarah Indonesia. Sejauh ini penyelidik telah berbicara dengan Danley. Investigasi awal menyebutkan dia tak terlibat dalam penembakan massal tersebut.

"Kami tak punya catatan apa pun tentang Paddock, kecuali bahwa dia memang warga kami," kata juru bicara Mesquite Police Department, Selasa 3 Oktober 2017.

Masa lalu Paddock hanya menyisakan sedikit petunjuk tentang tindak kekerasan. Dia pernah menjadi seorang akuntan di perusahaan yang kelak menjadi Lockheed Martin, salah satu kontraktor pertahanan terbesar di dunia.

"Stephen Paddock pernah bekerja di perusahaan cikal bakal Lockheed Martin dari 1985 hingga 1988," kata pernyataan perusahaan itu kepada ABCNews.

Paddock juga pernah memiliki izin terbang sebagai pilot. Ia sempat memiliki pesawat yang disimpan di Mesquite Metro Airport, Texas, dari 2007 hingga 2009.

"Saya tak pernah ingat apakah Paddock pernah membuat masalah dengan kami. Dia rutin memperbarui izin dan kami tak punya masalah dengannya," kata direktur bandara itu.

Sejumlah dokumen juga menyebut bahwa Paddock pernah menikah dengan wanita bernama Peggy. Namun, pasangan itu berpisah dengan alasan "hubungan yang tak bisa diperbaiki lagi". Tak ada catatan mereka memiliki anak.

Hobi paling menonjol dari Paddock adalah berjudi. Sejumlah pelayan bar di Mesquite mengingat dia sebagai pelanggan tetap yang kerap menghabiskan sore hari bermain poker dan menenggak tequila.

Adik Stephen, Eric Paddock, mengatakan kakaknya banyak duit dan pernah menang judi US$ 40 ribu. "Dia orang yang cukup berada yang hobi bermain judi," ujar Eric.

Minggu, 1 Oktober 2017, catatan tentang Stephen Paddock berubah drastis. Hari itu adalah hari terakhir rangkaian festival musik Route 91 Harvest di Las Vegas. Acara telah berlangsung sejak 29 September 2017. 

Pentas penutup sejatinya menjadi tugas penyanyi country, Jason Aldean. Namun, di tengah-tengah lagu, terdengar suara "dor-dor-dor". Aldean masih bernyanyi. Para penonton, seperti terlihat dalam rekaman video yang beredar, tak terlihat beranjak.

Saksi mata bernama Kodiak Yazzie mengatakan, beberapa orang berpikir suara itu adalah bagian dari pertunjukan. Tak lama kemudian, bunyi yang sama kembali muncul. Para penonton akhirnya sadar: itu bukan sound effect, melainkan rentetan peluru.

Aldean berlari ke belakang panggung. Beberapa penonton langsung menjatuhkan diri ke tanah. Sebagian terhantam peluru.

"Merunduk! Merunduk!" demikian suara orang memerintah agar penonton tidak berlari sebelum rentetan suara itu berhenti berbunyi.

Insiden penembakan Las Vegas itu merenggut setidaknya 59 nyawa dan melukai lebih dari 500 orang. Menilik jumlah korban, tragedi ini dinyatakan sebagai penembakan massal terburuk dalam sejarah modern AS.

"Ini adalah hal yang paling gila yang pernah saya lihat dalam hidup saya," kata Yazzie kepada Boston Globe seperti dikutip pada Selasa, 3 Oktober 2017.

"Saya bisa mendengar suara dari arah barat, dari Hotel Mandalay Bay. Bahkan, saya bisa melihat kilatan cahaya dari rentetan peluru itu," tambahnya.

Ribuan orang berlarian menyelamatkan diri setelah sadar tengah dihujani peluru. Seperti dilansir The Guardian, terdapat 22 ribu penonton yang menikmati malam terakhir konser tersebut.

Rumah milik pelaku penembakan Las Vegas, Stephen Paddock (64), di Mesquite, Nevada, Senin (2/10). Paddock melepaskan tembakan dari Mandalay Bay Hotel and Casino pada Ahad (1/9) malam dan menewaskan sedikitnya 59 orang. (Gabe Ginsberg/GETTY IMAGES/AFP)

Pada pukul 21.08 setelah penembakan terjadi, telepon kantor polisi Sherif Las Vegas Metropolitan Police Department (LVMPD), berdering. Mereka menerima banyak panggilan darurat bahwa telah terjadi penembakan di acara konser. Informasi lalu berkembang terkait sumber tembakan.

"Kami mendapat informasi penembak berada di lantai 32 di Hotel Mandalay Bay," kata Sherif Lambardo dalam keterangannya, Selasa, 3 Oktober 2017. Tim SWAT dengan cepat menyerbu hotel itu.

Sesampainya di lantai 32, tim SWAT menemukan pelaku, Stephen Paddock, telah tewas. Mengutip laporan CNN, bersama jasad Paddock, polisi juga menemukan sekitar 23 senjata beserta amunisinya.

Polisi mendeskripsikan Paddock adalah lone wolf alias pelaku tunggal yang tak punya keterkaitan dengan kelompok teroris mana pun.

Hingga tulisan ini diturunkan, pihak aparat belum mengetahui motif Paddock melakukan penembakan massal. Polisi mengatakan Paddock tak memiliki catatan kriminal secuil pun di masa lalu. Bahkan, ditilang pun tak pernah.

Benjamin Hoskins Paddock, ayah dari pelaku penembakan massal Las Vegas FBI and Wayne Eastburn/The Register-Guard via AP, File)

Jika Paddock tidak memiliki catatan kriminal, tidak demikian dengan ayahnya. Berdasarkan pengakuan Eric kepada The Orlando Sentinel, ayah mereka yang bernama Benjamin Hoskins Paddock merupakan seorang perampok bank terkenal.

Paddock Sr pernah berusaha menabrak agen FBI dengan mobilnya di Las Vegas pada 1960. Ia masuk dalam daftar sosok paling dicari setelah melarikan diri dari penjara federal di Texas pada 1968. Kala itu Stephen Paddock masih remaja.

Stephen Paddock merupakan anak tertua dari empat bersaudara. Ia berusia 7 tahun ketika ayahnya ditangkap karena kasus perampokan. Seorang tetangga, Eva Price, mengajak Paddock kecil berenang ketika agen FBI menggeledah rumah keluarga tersebut.

Price bercerita kepada Tucson Citizen, "Kami berusaha agar Steve tidak tahu bahwa ayahnya ditahan sebagai seorang perampok bank. Saya tidak terlalu mengenal keluarga itu, tapi Steve adalah anak yang baik."

Dalam poster yang dirilis FBI setelah Paddock Sr melarikan diri dari penjara disebutkan bahwa pria itu "didiagnosis sebagai psikopat", "bersenjata dan sangat berbahaya". Paddock Sr menjalani hukuman 20 tahun penjara atas serangkaian perampokan bank di Phoenix.

Paddock Sr hidup dalam pelarian nyaris selama satu dekade. Ia hidup di Oregon dengan nama samaran. Penyidik menemukannya pada 1978 dan dia meninggal pada 1998.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Penembakan Massal AS yang Fenomenal

Aksi Paddock menambah panjang daftar penembakan massal di Amerika Serikat. Dari 1966 hingga 2012, ada sekitar 90 penembakan massal di Negeri Paman Sam.

Istilah penembakan massal yang digunakan oleh FBI adalah minimal empat atau lebih orang tewas, penembakan bukan karena alasan kelompok tertentu seperti obat-obatan atau perseteruan antar geng, serta bukan dipicu permasalahan domestik atau keluarga.

Insiden penembakan massal meningkat tiga kali lipat pada 2011-2014, menurut penelitian Harvard School of Public Health dan Northeastern University. Penelitian itu menunjukkan bahwa penembakan massal rata-rata terjadi tiap 64 hari sekali. Selama 29 tahun sebelumnya, hanya setiap 200 hari.

Sementara itu, menurut laman gunviolencearchive.org, selama 2016, penembakan massal terjadi 325 kali dalam setahun. Itu berarti nyaris tiap hari ada insiden. 

Adapun penembakan massal Las Vegas adalah penembakan yang terjadi ke-273 kalinya sepanjang 2017.

Sebuah artikel yang dimuat The Los Angeles Times membahas menganalisis pelaku, motif, dan konteks nasional dari kasus penembakan massal yang terjadi di Amerika Serikat.

Menurut artikel itu, sebagian besar pelaku memiliki sejumlah permasalahan sosio-psikologis yang mendorong mereka untuk melakukan aksi penembakan.

Permasalahan itu dapat berupa, kesenjangan antara ekspektasi dan realita kehidupan yang dijalani pelaku, kegagalan mencapai tujuan hidup, atau bahkan pendamba ketenaran.

Kriminolog Universitas Indonesia, Adrianus Meliala, mengamini dengan analisis itu. 

"Ada perasaan grandeur (pendamba ketenaran) atau merasa sebagai juru kebenaran dari pelaku penembakan massal. Ada pula pelaku yang memiliki perasaan terisolasi atau merasa sebagai seorang pecundang, sehingga aksi tersebut dijadikan pelampiasan," jelas Adrianus melalui pesan singkat kepada Liputan6.com, Selasa (3/10/2017).

"Dan penjelasan itu tipikal alias sama saja dengan sebagian besar kasus penembakan massal yang telah lalu," ujarnya.

Kondisi itu semakin signifikan, mengingat fakta bahwa Amerika Serikat merupakan salah satu negara yang berdasarkan konstitusi mengizinkan setiap warga untuk memiliki senjata.

Hasil survei University of Alabama menunjukkan, AS merupakan negara nomor satu di dunia untuk penduduk yang paling banyak memiliki senjata api. Menurut riset, semakin banyak penduduk suatu negara yang memiliki senjata api, semakin banyak kasus penembakan massal yang terjadi di sana.

"Di belakang AS ada Finlandia dan Swiss yang masing-masing memiliki kebijakan kepemilikan senjata api bagi warga negaranya. Dan angka penembakan massal mereka juga cukup tinggi," ujar Adam Lankford, kriminolog University of Alabama, seperti dikutip dari The LA Times.

"Terjadi 90 kasus penembakan massal di AS, atau sepertiga dari 292 total penembakan massal di seluruh dunia yang terjadi di periode yang sama. Populasi AS sendiri hanya 5 persen dari populasi dunia. Jadi 31 persen penembakan massal terjadi hanya di AS. Inilah angka statistik yang kami hadapi. Semua orang terkejut," tambahnya.

Apakah penembakan masal AS mengalami peningkatan jumlah? Jawaban untuk pertanyaan ini bergantung kepada batasan (definisi) yang dipakai. (Sumber Vox)

Lantas, apakah kejadian penembakan massal memang benar-benar berkorelasi dengan kebijakan suatu negara yang memperbolehkan warga negaranya untuk memiliki senjata api?

"Dari sudut pandang kebijakan publik, hal itu ada korelasinya. Dan berbagai kasus penembakan massal itu seharusnya dijadikan momentum oleh Washington untuk menilik lagi kebijakan yang memperbolehkan warganya untuk memiliki senjata api," ujar Kepala Departemen Kriminologi Universitas Indonesia, Iqrak Sulhin, melalui sambungan telepon kepada Liputan6.com.

"Di AS, senjata dijual bebas di banyak tempat, meski tetap ada regulasinya. Nah, situasi semakin parah ketika kemudahan akses untuk memperoleh senjata dimanfaatkan oleh individu yang tidak bertanggung jawab, para kriminal, atau orang dengan gangguan psikis," tambah kriminolog bidang kepakaran kebijakan publik itu.

Saat masih menjabat sebagai Presiden AS, Barack Obama sempat mengajukan undang-undang pengetatan penggunaan senjata api. Selain itu, semasa Pilpres AS, kandidat presiden Hillary Clinton turut mengajukan hal serupa jika dirinya berhasil menjabat orang nomor satu di Negeri Paman Sam.

Namun, banyak juga suara ketidaksetujuan atas rencana undang-undang ini. Beberapa di antaranya adalah politisi partai Republik -- lawan Partai Demokrat yang mengusung Obama dan Clinton.

"Dan mungkin pertentangan itu akan terus berlanjut, apalagi mengingat Presiden AS yang sekarang adalah Donald Trump, dari Partai Republik," ujar Iqrak.

Pada September 2017, Presiden Trump pernah kembali menegaskan pandangannya terkait isu senjata api. Dia mengatakan, "Andai saja Hillary Clinton terpilih menjadi presiden, kalian semua akan diminta menyerahkan senjata."

Bahkan ketika menanggapi kasus penembakan Las Vegas ini, Trump juga sama sekali tidak menyinggung soal isu kepemilikan atau pengetatan senjata api.

"Persatuan kita tak dapat dihancurkan oleh kejahatan, ikatan yang mempersatukan bangsa ini tak bisa dipatahkan oleh kekerasan. Meski kita murka atas pembunuhan yang terjadi pada sesama warga, cinta yang menyatukan kita bersama, selalu dan selamanya," ujar Trump.

Iqrak berbeda pandangan. Ia menggarisbawahi, AS adalah negara yang sangat menjunjung tinggi hak individual seseorang, termasuk hak melindungi diri sendiri (self-defense).

"Nah, diizinkannya kepemilikan senjata api itu kan bertujuan untuk meningkatkan kapabilitas seseorang dalam melindungi diri sendiri, seperti diatur dalam Amandemen Kedua Konstitusi AS," papar Iqrak.

Ia melanjutkan, "Tapi menilik kasus-kasus yang telah lalu, rasanya kebijakan itu jadi bersifat paradoks. Awalnya dicanangkan untuk melindungi seseorang, tapi sekarang justru sangat banyak merenggut nyawa."

Seperti dikutip dari Itv dan berbagai sumber lainnya, berikut adalah sejumlah penembakan massal dalam sejarah AS: 

1. Kelab Malam Pulse, 49 Orang Tewas

Juni 2016, 49 orang terbunuh setelah seorang pria bersenjata melepaskan tembakan di sebuah kelab gay di Orlando, Florida. Ada pun 58 lainnya terluka. Insiden ini disebut sebagai kekerasan terhadap kaum LGBT paling mematikan dalam sejarah AS.

Pelaku diketahui bernama Omar Mateen. Ia tewas dalam baku tempat dengan polisi.

Kelompok teroris ISIS mengklaim bertanggung jawab atas tragedi tersebut. Namun, penyidik tidak menemukan bukti bahwa Mateen "digerakkan" oleh ISIS.

2. Virginia Tech, 32 Orang Tewas

Pada 16 April 2007, seorang mahasiswa bernama Seung Hui Choi melepaskan tembakan di kampus Virginia Polytechnic Institute dan State University in Blacksburg. Setidaknya 32 orang tewas dalam insiden ini.

Penyidik menyatakan, Cho yang lahir di Korea Selatan dan pindah ke AS tahun 1992 tak memiliki target spesifik.  Publik akhirnya mengetahui bahwa Cho memiliki kepribadian yang tertutup serta memiliki catatan masalah kesehatan mental.

3. Sandy Hook, 26 Orang Tewas

Adam Lanza, pemuda pemalu yang tak banyak cakap berubah menjadi pembunuh berdarah dingin. Ia memberondong ibunya sendiri, Nancy, serta murid-murid dan sejumlah guru di SD Negeri Sandy Hook, Newtown, Connecticut pada 14 Desember 2012. Total 26 orang tewas akibat kesadisannya.

Pelaku ternyata memiliki obsesi dengan pembunuhan massal. "Terutama serangan 1999 tentang Columbine High School di Colorado," demikian dijabarkan sebuah laporan investigasi yang dilansir USA Today.

Saat bicara mengenai langkah untuk mengurangi kekerasan senjata, Presiden AS kala itu, Barack Obama, tak kuasa menahan air mata ketika menyinggung usia korban tewas penembakan yang masih begitu belia.

4. Luby's Cafeteria, 23 Orang Tewas

Pada 1991, George Hennard melepaskan tembakan di sebuah kafe di Killen Texas. Insiden itu menewaskan 23 orang. Tak lama kemudian, pelaku bunuh diri.

5. McDonald's California, 21 Orang Tewas

Setidaknya 21 orang terbunuh dan 15 lainnya terluka dalam sebuah insiden penembakan di restoran cepat saji, McDonald's, di San Ysidro, California, pada 18 Juli 1984.

Pembantaian itu dilakukan James Oliver Huberty dari Canton, Ohio. Pada Januari 1984, Huberty pindah ke San Ysidro bersama istri dan anaknya, di mana ia bekerja sebagai petugas keamanan sebelum akhirnya dipecat seminggu sebelum pembantaian yang dilakukannya. Pelaku dilumpuhkan polisi.

6. San Bernardino, California, 14 Orang Tewas

Pada Desember 2015, 14 nyawa melayang dan 22 lainnya terluka saat Syed Rizwan Farook dan Tashfeen Malik memuntahkan timah panas di Inland Regional Center di San Bernardino, California.

Pasangan suami istri tersebut dikabarkan berasal dari Arab Saudi. Sebelum beraksi, mereka dilaporkan telah mengalami proses radikalisasi.

7. Columbine High School, 12 Orang Tewas

Mengenakan balaclava--sejenis penutup wajah--dan mantel panjang, Eric Harris dan Dylan Klebold beraksi menyerang SMA Columbine dengan senapan otomatis dan bom rakitan pada siang hari pada 1999. Menewaskan 12 siswa dan seorang guru, sedangkan 24 lainnya dilaporkan luka-luka.

"Drama" serangan di sekolah yang memiliki 1.800 siswa itu dilaporkan berlangsung lebih dari 60 menit, pada pukul 11.19 hingga 12.08 waktu setempat.

Duo remaja Harris-Klebold disebut-sebut sebagai anggota kelompok yang dikenal dengan "trench coat mafia". Anggota grup tersebut memiliki senjata dan berasal dari anak-anak yang dikucilkan.

Seorang murid perempuan mengatakan kepada polisi ia berada di perpustakaan, ketika salah satu dari remaja itu melempar peledak dan mulai menembak secara membabi buta.

"Dia bilang dia akan membunuh semua orang yang berarti untuknya, dan teman-temannya selama setahun terakhir," tutur siswa perempuan itu.

Saksi-saksi lain mengutarakan bahwa orang-orang bersenjata itu menargetkan siswa dari etnis minoritas dan atlet populer.

Ketika Agen FBI dan tim spesialis senjata api menuju lokasi pembantaian, sebuah bom yang telah diatur waktunya pun meledak. Boom...!

"Setidaknya 12 bom lainnya ditemukan di beberapa penjuru sekolah," ungkap salah satu polisi.

 8. Penembakan Aurora, 12 Orang Tewas

Sedikitnya 12 orang tewas dan 38 orang lainnya terluka dalam insiden penembakan di bioskop yang sedang menayangkan film terbaru Batman di Colorado, Amerika Serikat, Jumat 20 Juli 2012.

James Eagan Holmes memakai topeng Joker, musuh Batman, melepaskan tembakan setelah melemparkan tabung gas air mata ke arah penonton yang sedang menyaksikan film The Dark Knight Rises.

Sesaat kemudian, pria yang mengenakan rompi antipeluru dan helm itu menaiki tangga dan melepaskan tembakan secara membabi buta.

Sebanyak 14 orang tewas. James Holmes, si jenius kandidat doktor, divonis seumur hidup.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.