Sukses

Pemilik Penginapan Malaysia Diduga Tolak Tamu Muslim

Pesan diskriminatif disampaikan oleh pemilik sebuah wisma di Malaysia untuk tamu Muslim.

Liputan6.com, Kuala Lumpur - Netizen di Malaysia tengah ramai membicarakan pesan diskriminatif terhadap tamu Muslim oleh sebuah pemilik guesthouse atau wisma di Malaka, Malaysia.

Seperti dikutip dari New Straits Times, Jumat (29/9/2017), pesan tersebut memicu situs akomodasi Airbnb mengeluarkan peringatan kepada si pemilik properti agar tak melakukan diskriminasi terhadap pelanggan berdasarkan agama.

Insiden tersebut berawal ketika seorang pengguna dari Brunei Darussalam, Dinie Hamizan, diduga mengirimkan permintaan tentang pembayaran dan arahan untuk mencapai Raymonds Boutique Travellers Home di Malaka, Malaysia melalui Airbnb.

Kemudian Dinie mengklaim permintaannya disambut oleh jawaban mengejutkan dari perwakilan online wisma tersebut.

"Saya memintanya dengan sopan terkait wismanya dan mendapat jawaban pertama yang sangat mengejutkan: NO MUSLIM IN MY HOUSE atau TIDAK ADA MUSLIM DI RUMAH SAYA," tulis Dinie dalam sebuah pengaduan ke Airbnb melalui Facebook.

Dinie mengatakan bahwa dia berharap agar pemilik wisma tersebut lebih sopan, seraya menambahkan bahwa dia tak berharap mendapati respons tak menyenangkan saat pertama kali menggunakan Airbnb.

Dinie kemudian mengunggah screenshot percakapan antara dia dan pemilik wisma, di mana salah satu pesannya berbunyi, "... find a Muslim home dont disturb our homes... People are afraid of you."

Petikan itu bisa berarti "... cari saja rumah Muslim, jangan mengganggu rumah kami ... Orang-orang takut padamu."

Airbnb kemudian menanggapi laporan Dinie, dan menyebut bahwa situs tersebut tidak menoleransi diskriminasi dalam bentuk apa pun. Perusahaan tersebut juga meminta rincian lebih lanjut tentang kejadian tersebut.

Tanggapan tersebut diakhiri dengan saran tautan untuk Dinie agar mengecek kebijakan situs tersebut terhadap tindakan diskriminasi.

Kebijakan anti-diskriminasi Airbnb menyebutkan bahwa situs tersebut menggunakan undang-undang yang mencegah diskriminasi berdasarkan ras, agama, asal negara, kecacatan, jenis kelamin, orientasi seksual atau usia.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Gelas untuk Muslim dan Nonmuslim

Sebelumnya, dugaan tindakan diskriminasi oleh sekolah dasar di Malaysia juga sempat memicu kontroversi. Kala itu institusi tersebut memisahkan gelas minum untuk siswa muslim dan nonmuslim.

Langkah tersebut digambarkan sebagai praktik apartheid-like atau seperti kebijakan apartheid, sistem pemisahan ras yang diterapkan oleh pemerintah kulit putih di Afrika Selatan sekitar awal Abad ke-20 hingga tahun 1990.

Menurut Free Malaysia Today (FMT), yang dikutip pada 14 Agustus 2017, sekolah di Taman Puteri, Hulu Langat, Malaysia, itu bikin geger setelah foto pemisahan gelas itu beredar di media sosial.

The Star Online menuliskan bahwa dalam foto yang beredar, gelas di sekolah dasar di Selangor itu diberi label "murid Islam" (siswa Muslim) dan "murid bukan Islam" (siswa nonmuslim) yang ditempatkan di samping dispenser air.

Sekolah Taman Puteri itu memiliki 219 murid Melayu dan 145 non-Melayu.

Seorang anggota organisasi non-pemerintah, G25, yang mempromosikan moderasi dan kohesi nasional, mengatakan bahwa hal tersebut sangat mengganggu.

"Hal seperti itu hanya akan menciptakan perpecahan di kalangan orang Malaysia, dengan mengatasnamakan praktik keagamaan," kata anggota G25, Johan Arriffin dikutip oleh FMT.

"Sebenarnya, praktik tersebut juga menunjukkan betapa kita telah kehilangan akal sehat dan tak memahami tentang nilai religius yang sejati, termasuk toleransi."

Umat Islam diketahui wajib makan daging yang diolah sesuai dengan hukum Islam atau dalam kondisi halal. Muslim juga dilarang makan daging babi.

Pemisahan tersebut diyakini didasarkan pada kekhawatiran bahwa nonmuslim akan mencemari cangkir dengan unsur-unsur nonhalal.

Kendati demikian, Johan mengatakan, hal yang lebih penting adalah kebersihan cangkir, bukan siapa yang menggunakannya.

Dilansir dari Asian Correspondent, pendiri Parent Action Group for Education Malaysia, Noor Azimah juga tak sependapat dengan kebijakan pihak sekolah.

"Saat era apartheid, restoran dan bus dipisahkan. Kejadian ini mungkin merupakan permulaan dari itu. Jika kita tak menghentikannya, itu akan menjadi lebih buruk dan akan mencapai titik di mana akan ada restoran dan toilet terpisah untuk muslim dan nonmuslim," jelas Noor Azimah.

"Itu justru bisa menyuburkan ekstremisme," imbuh Noor Azimah.

Sebagai tanggapan atas protes masyarakat, seperti dikutip dari The Star, Wakil Menteri Pendidikan Datuk Chong Sin Woon menekankan bahwa "sekolah nasional adalah untuk semua orang Malaysia dan tidak boleh memisahkan anak-anak berdasarkan agama."

Dia mengatakan akan mengarahkan pihak Departemen Pendidikan Selangor untuk menyelidiki masalah tersebut.

Anggota Dewan Kota Seberang Perai, Satees Muniandy kemudian berkomentar di Facebook terkait kebijakan di sekolah tersebut. Ia menyatakan menentang keras langkah institusi pendidikan itu.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.