Sukses

DK PBB Gelar Pertemuan Membahas Krisis Rohingya

Pertemuan yang turut dihadiri oleh Sekjen PBB dan berbagai delegasi dunia itu membahas segala upaya penanganan krisis kemanusiaan Rohingya.

Liputan6.com, New York - Untuk pertama kalinya sejak delapan tahun terakhir, Dewan Keamanan PBB menyelenggarakan pertemuan publik guna membahas krisis kemanusiaan yang menimpa etnis Rohingya. Pertemun itu dilaksanakan pada Kamis, 28 September 2017.

Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres, yang hadir dalam pertemuan itu mengatakan kepada Dewan Keamanan, "rangkaian kekerasan di sana (Rakhine) telah sangat cepat berubah menjadi krisis darurat pengungsi, kemanusiaan, dan bencana hak asasi manusia." Demikian seperti dilansir CNN, Jumat (29/9/2017).

"Kami juga telah menemukan berbagai bukti miris mengenai nasib para pengungsi, terkhusus para perempuan, anak-anak, dan lansia," tambah Guterres.

Pada pertemuan itu, sang Mantan Perdana Menteri Portugal juga menyebut rangkaian peristiwa di Rakhine sebagai 'bentuk pemindahan kelompok etnis secara paksa dan berkesinambungan, yang dilakukan dengan berbagai aksi kekerasan serta intimidasi.'

"Kegagalan untuk menangani dapat menyebabkan rangkaian kekerasan yang sistemik itu meluas ke wilayah Rakhine lain. Dan, berpotensi menyebabkan sekitar 250.000 etnis Rohingya lain menjadi pengungsi susulan," tambahnya.

Ia juga menuntut Naypydaw untuk menghentikan operasi militer serta mampu menjamin pemulangan warga sipil yang mengungsi 'secara berkelanjutan, aman, sukarela, dan bermartabat.'

Guterres juga mendesak agar pemerintah Myanmar membuka segala akses untuk penyaluran bantuan kemanusiaan.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Turut Dihadiri Delegasi Myanmar

Myanmar turut mengirim perwakilan dalam pertemuan itu. Di hadapan DK PBB, sang delegasi dari Naypydaw justru berdalih bahwa krisis kemanusiaan yang menyebabkan ratusan ribu orang mengungsi itu disebabkan oleh ancaman teroris yang terjadi di Rakhine.

Namun, ia menyadari bahwa krisis kemanusiaan yang terjadi harus segera diatasi. Dan saat ini, ujar sang delegasi, pemerintah Myanmar telah bekerjasama dengan organisasi humanitarian Palang Merah untuk menangani krisis tersebut.

Sementara itu pada kesempatan yang sama, Duta Besar Amerika Serikat untuk PBB, Nikki Haley mengatakan kepada Dewan Keamanan bahwa, "setiap pejabat (Myanmar) yang mendorong terjadinya kekerasan di Rakhine harus dicopot dari kekuasaannya dan dimintai pertanggung jawaban."

DK PBB berencana untuk kembali mengadakan pertemuan. Pada edisi selanjutnya, Dewan Keamanan akan mengundang Ketua Komisi Myanmar dan mantan Sekjen PBB, Kofi Annan untuk menyampaikan keterangan terkait krisis tersebut.

Hampir setengah juta etnis Rohingya dan warga sipil lain melarikan diri dari Rakhine guna menghindari rangkaian aksi kekerasan, baik yang dilakukan oleh aparat keamanan negara maupun kelompok militan bersenjata.

Berbagai nestapa dialami oleh para pengungsi. Teranyar pada Kamis kemarin, sebuah kapal yang membawa etnis Rohingya menuju Bangladesh terbalik, menyebabkan 15 orang --termasuk di antaranya sembilan anak-anak-- tenggelam.

Sebagian besar pengungsi Rohingya terkonsentrasi di Bangladesh, di mana berbagai bantuan kemanusiaan dari penjuru dunia telah berdatangan dan telah disalurkan kepada mereka yang membutuhkan.

Meski begitu, komunitas internasional mendesak pemerintah Myanmar melakukan aksi nyata untuk menghentikan rangkaian aksi kekerasan di Rakhine. Agar, warga sipil yang melarikan diri dapat kembali ke rumah mereka masing-masing secara sukarela dan aman.

 

Saksikan video pilihan berikut ini:

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.