Sukses

PBB: Rusia Lakukan Pelanggaran HAM Berat di Crimea

Liputan6.com, Kiev - Sebuah laporan PBB menyebut bahwa Rusia melakukan pelanggaran HAM berat di Crimea.

Seperti dikutip dari BBC pada Selasa (26/9/2017), Kantor Komisaris Tinggi PBB untuk HAM (OHCHR) mengatakan telah mendokumentasikan penangkapan dan penahanan sewenang-wenang, penyiksaan, dan setidaknya satu eksekusi ekstra yudisial di wilayah tersebut.

"Ada kebutuhkan mendesak bagi akuntabilitas," ungkap Zeid Ra'ad Al Hussein selaku Kepala OHCHR.

Rusia mencaplok Semenanjung Crimea dari Ukraina pada tahun 2014, tepatnya setelah pemimpin pro-Rusia digulingkan.

Menurut kantor berita Interfax, ombudsman HAM Rusia, Tatyana Moskalkova menolak laporan PBB tersebut. Ia menyebut laporan itu sebagai penilaian tidak adil dan bias terhadap situasi HAM di Crimea.

Laporan PBB juga menambahkan telah terjadi penyerangan penegakan hukum yang mengganggu hak privasi. Dokumen itu lebih lanjut mengungkap bahwa situasi HAM telah memburuk secara signifikan di wilayah tersebut dengan ratusan tahanan dipindahkan secara ilegal dari Crimea ke penjara Rusia.

Disebutkan pula bahwa pegawai negeri sipil dipaksa melepas kewarganegaraan Ukraina atau mereka harus kehilangan pekerjaan. Laporan PBB mengutuk keputusan Moskow untuk mengganti UU Ukraina dengan UU Rusia.

"Pendidikan Ukraina telah hilang dari sekolah-sekolah di Crimea," sebut laporan PBB.

Informasi dalam dokumen tersebut didasarkan pada wawancara yang dilakukan di daratan Ukraina, mengingat penyilidik HAM PBB tidak diizinkan masuk ke wilayah Crimea.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Referendum

Crimea, yang mayoritas berbahasa Rusia, melalui sebuah referendum memilih untuk bergabung dengan Negeri Beruang Merah. Referendum itu sendiri tidak diakui masyarakat internasional.

Sementara itu, menurut laporan PBB, minoritas Crimea yang berbahasa Turki, yakni orang Tatar menjadi target. Jumlah mereka mengisi 12 persen dari total populasi di Crimea.

Parlemen Tatar, Mejlis, memboikot referendum tersebut. Tahun lalu, Moskow melabeli Mejlis sebagai organisasi ekstremis dan melarang keberadaannya.

"Sementara pelanggaran HAM dan perlakuan kejam memengaruhi warga Crimea yang memiliki latar belakang etnis beragam, Tatar Crimea ditargetkan secara khusus, terutama yang memiliki hubungan dengan Mejlis," demikian bunyi laporan PBB tersebut.

Menurut PBB, larangan terhadap keberadaan Mejlis telah melanggar hak sipil, politik dan budaya Tatar Crimea.

Kepala OHCHR Zeid Ra'ad Al Hussein menuduh, Rusia gagal menyelidiki dugaan pelanggaran HAM di Crimea. Hal tersebut dinilainya berpotensi terus mendorong tindakan pelanggaran HAM.

Bagaimana pun, Zaur Smirnov, pejabat daerah Crimea mengatakan kepada Interfax bahwa laporan PBB dipenuhi dengan retorika anti-Rusia dan telah menggunakan data dari kelompok pemantau asal Ukraina.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini