Sukses

Kisah Gadis dari Kamp Pengungsi Suriah ke Panggung Hollywood

Hari-hari Vivian Nouri dihabiskan di sebuah kamp pengungsi dan tinggal bersama keluarga yang hidup secara pas-pasan.

Liputan6.com, California - Tak pernah terpikirkan oleh Vivian Nouri akan ketenaran yang ia rasakan saat ini. Hidupnya berubah drastis, wajahnya tak kusam lagi, bahkan ia mampu menjelma jadi penyanyi yang dikenal banyak orang.

Dikutip dari laman Daily Mail, Selasa (19/9/2017) Nouri dan keluarganya tinggal di kamp pengungsi pada 1993. Mereka kabur dari perang sipil di Kurdistan setelah rumahnya dibom pada tahun 1991.

Salah satu kakak perempuannya butuh pertolongan medis darurat dan mereka berhasil mendapatkan status pencari suaka di Selandia Baru. 

Pada 1995, Nouri dan keluarganya terbang ke Selandia Baru dan semenjak itu menyebut negara itu adalah rumahnya dan mendapat kewarganeraan Kiwi.  

Pada usia sembilan tahun ia kerap bernyanyi.  Di usia 10 tahun, Nouri menjadi penyanyi dan Perdana Menteri Selandia Baru saat itu, John Key, terpesona dengan suaranya. 

 

Kini, kesuksesannya sebagai penyanyi dapat ia rasakan sejak hijrah ke Tinseltown, Amerika Serikat.

Kesuksesannya di bidang tarik suara bermula ketika ada seorang penyanyi lokal yang datang dan mengajak Nouri menjadi bagian dari penyanyi untuk film terbaru dari rumah produksi Paramount Pictures.

Kala itu ia diminta untuk pergi ke studio rekaman di kota Tinseltown. Selama satu jam rekaman, ia bernyanyi untuk soundtrack sebuah film.

Setelah kedatangan pertamanya, Nouri merasa kaget karena banyak tawaran yang muncul.

"Waktu itu saya berada di gym dan tiba-tiba mendapat telepon dari direktur musik di Paramount Pictures untuk menyanyikan sebuah lagu natal pada salah satu filmnya," ujar Nouri.

Pada saat itu, sebuah perhelatan penghargaan nomor wahid di dunia, Grammy Awards akan segera dilaksanakan. Saat berkunjung ke rumah produksi, ia bertemu dengan Jason Richmond.

"Setelah bertemu, Jason menelpon saya dan menanyakan jangkauan vokal saya di lagu yang akan dinyanyikan. Ketika ia menanyakan apakah saya mampu, tentu saya menjawab ya," ujar Nouri.

Selama satu setengah jam, Nouri merekam suara emasnya di sebuah studio yang ternyata pernah digunakan oleh Michael Jackson saat merekam lagu We Are The Word.

"Seminggu kemudian saya mendapat email bahwa lagu yang saya nyanyikan lolos untuk mengisi soundtrack film tersebut. Air mata saya seketika tumpah," ujar Nouri.

"Tak lama setelah menerima surat itu, saya langsung mengirim surat kepada ibu saya," tambahnya.

Sejak saat itu, Nouri tak pernah menyangka nasibnya akan berubah. 

"Saya bersyukur bisa bekerja sama dengan produser musik terkenal sekelas Brian Kennedy dan David Foreman. Mereka bahkan pernah menang Grammy," ucap Nouri.

"Selama bekerja pun saya merasa beruntung bisa berkenalan dan satu studio dengan penyanyi terkenal lainnya seperti Fifth Harmony, Skrillex dan G-Eazy," tambahnya.

Dari sini Nouri belajar bahwa musik punya kekuatan untuk menginspirasi dan menyatukan banyak orang.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Muslimah dari Kamp Pengungsi Somalia ke Panggung Mode Dunia

Pengungsi dari negara perang lainnya yang hidupnya berubah drastis adalah Halima Aden. 

Remaja Amerika Serikat kelahiran Kenya, Halima Aden (19), terpilih sebagai cover sebuah majalah untuk bulan Juli. Penampilannya, menjadikan Aden sebagai ikon wajah baru Muslim AS di dunia fashion.

Aden yang masih berusia 19 tahun, sebenarnya berasal dari Somalia. Perang membuat keluarganya kabur ke Kenya dan tinggal di tempat penampungan. Di situlah ia dilahirkan.

Dikutip dari Daily Sabah pada Kamis 22 Juli 2017 lalu, keluarga Aden berhasil pindah dan mendapat suaka ke Minnesota saat perempuan kulit hitam itu berusia 7 tahun.

Aden mengatakan, meski samar ingatannya, tapi kamp pengungsi mengajarkannya nilai toleransi dan menerima perbedaan.

"Ada warga dari Somalia, Sudan, dan Ethiopia dalam satu kamp dengan kondisi yang luar biasa keras," kata Aden kepada Allure.

Setelah melamar suaka pengungsi ke AS, Aden dan sang ibu tinggal di St. Cloud, Minnesota, kota dengan populasi 65.000 penduduk.

Di musim panas setelah lulus SMA, Aden mengikuti kontes kecantikan Miss Minnesota USA yang memberikan beasiswa kepada pemenangnya.

Panitia menerima aplikasinya, tapi ada kesulitan yang harus dihadapinya. Ia harus melenggak-lenggok dengan bikini di satu sesi penjurian.

Aden, dibesarkan sebagai muslim dan jelas bikini bukan baju yang tepat baginya. Ia menggunakan hijab dan baju longgar tiap harinya.

Saat itu, Aden minta izin dapatkah ia menggunakan burkini sebagai ganti bikini.

"Untungnya, diperbolehkan," kenang Aden.

Meski tak lolos sebagai pemenang, debut Aden sebagai model terjadi saat fashion show Kanye West di New York. Dengan segera, kecantikannya menarik perhatian. Di atas catwalk ia tetap menggunakan jilbabnya.

Penampilannya saat itu terjadi hanya satu bulan setelah pemilihan presiden AS yang memenangkan Donald Trump. Saat itu masih hangat-hangatnya kampanye miliarder nyentrik yang membuat citra Islam begitu negatif di AS.

Meski demikian, Aden menjadi model kulit hitam dengan hijab pertama yang ditangani agen model ternama, IMG.

Terpilihnya Aden sebagai model cover untuk bulan Juli di majalah Allure telah dilihat sebagai langkah besar dalam presentasi positif umat Islam di media Amerika Serikat.

Dalam Twitternya, Aden menulis, "dari kamp pengungsi hingga jadi model sampul @Allure_Magazine. Terima kasih atas kesempatan seumur hidup ini! Saya sangat bersyukur!"

Kesuksesan Aden hadir dalam konteks meningkatnya minat di pasar mode Muslim. Banyak perusahaan mencoba memasuki pasar yang menghabiskan US$ 230 miliar untuk pakaian pada tahun 2014. Angka itu merupakan 11 persen dari total pasar dunia.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.