Sukses

Pembagian Bantuan terhadap Warga Rohingya Ricuh, 3 Orang Tewas

Akibat distribusi bantuan tak resmi pada warga Rohingya Jumat lalu, seorang wanita dan dua anak kehilangan nyawa secara tragis.

Liputan6.com, Dhaka - Seorang wanita dan dua anak tewas saat pembagian bantuan berupa pakaian di dekat kamp pengungsi Rohingya di Kutupalong, Bangladesh. Kelompok Koordinasi Antar Sektor (ISCG) menjelaskan, insiden tersebut terjadi pada hari Jumat ketika bantuan dilemparkan dari truk-truk di jalan di Balukhali Pan Bazar.

Kematian tersebut dianggap merupakan peringatan nyata akan keputusasaan warga Rohingya yang saat ini mengungsi di kamp-kamp dekat perbatasan Myanmar-Bangladesh. Diperkirakan 409 ribu pengungsi telah tiba di kawasan tersebut sejak 25 Agustus 2017. Angka ini dua kali lipat dari jumlah pengungsi Rohingya yang sudah ada sebelumnya.

"Saya tidak membawa apa pun. Pakaian yang saya kenakan ini diberikan oleh seseorang. Saya kehilangan segalanya. Tidak ada yang tersisa lagi di rumah saya di Myanmar. Semuanya hancur," ujar seorang pengungsi Rohingya, Romiza Begum, seperti dikutip dari CNN pada Senin (18/9/2017).

Eksodus besar-besaran ini bermula setelah kelompok gerilyawan Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA) melancarkan serangan masif ke sejumlah pos keamanan di Rakhine, menewaskan 12 petugas. Peristiwa tersebut memicu operasi militer intensif.

Organisasi pemantau HAM, Amnesty International, menuding militer Myanmar dengan sengaja membakar desa-desa yang dihuni warga Rohingya di dekat perbatasan dengan Bangladesh sebagai upaya pembersihan etnis. Sementara, pemerintah Myanmar menegaskan, pihaknya hanya menargetkan teroris.

Di lapangan, distribusi bantuan tidak resmi sering dilakukan oleh penduduk lokal di Bangladesh yang simpati terhadap warga Rohingya. Lazimnya, mereka melemparkan dari atas truk saat melewati kamp pengungsian. Padahal, cara seperti itu dinilai berbahaya karena dapat memancing kericuhan yang berujung kematian.

Corinne Ambler, selaku juru bicara Federasi Palang Melah Internasional (IFRC) Bangladesh, mengatakan lebih baik untuk mendistribusikan bantuan melalui titik-titik resmi karena melemparnya dari truk terlalu berbahaya.

"Pengungsi yang berhasil menangkap bantuan yang dilemparkan malah kadang harus berjuang untuk mempertahankan barang yang didapatnya. Adapun mereka yang gagal akan berusaha naik ke truk untuk mengambil apa pun yang bisa mereka dapatkan, sementara orang-orang di belakang mereka mencoba memukul dengan tongkat. Anak-anak paling rentan karena pengemudi truk kerap tidak melihat mereka," ujar Ambler.

Saksikan video pilihan berikut ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Prioritas Bantuan

Umumnya pengungsi Rohingya tiba dalam kondisi sakit, lapar, dan mengalami dehidrasi. Selain itu, ada pula yang menderita kekurangan gizi dan diare. Beberapa lainnya mendapat luka tembak, luka bakar, atau luka akibat terkena ranjau darat saat hendak melarikan diri dari Myanmar.

"Kami datang ke Bangladesh karena kehidupan di Myanmar sangat berbahaya. Peluru beterbangan seperti hujan. Saya terjatuh saat melarikan diri dan lutut saya sakit. Saya tidak bisa berjalan atau duduk dengan benar sekarang," cerita salah seorang pengungsi Rohingya berusia 60 tahun.

Sejumlah badan bantuan yang bekerja di area pengungsian warga Rohinya, termasuk di antaranya Palang Merah Internasional (IFRC), Program Pangan PBB, dan sejumlah organisasi PBB lainnya, terpaksa memprioritaskan persediaan bantuan mereka kepada kelompok paling rentan, seperti ibu hamil, bayi, orang sakit, dan orang tua.

Pada hari Jumat, setidaknya tiga ribu keluarga atau sekitar 15.000 orang mengantre untuk mendapatkan bantuan resmi yang dibagikan oleh Bulan Sabit Merah dari Bangladesh dan Uni Emirat Arab.

Di samping antrean panjang yang kebanyakan terdiri dari wanita dan orang tua, sekelompok pria menunggu dengan raut putus asa dan lapar. Mereka yang tidak menjadi prioritas pemberian bantuan terpaksa mengemis di jalanan.

"Kami tidak punya makanan, juga pakaian. Kami tunawisma. Semuanya dihancurkan oleh militer. Sekarang kami hidup tanpa makanan atau selimut," kata salah seorang pengungsi, Mohammed Harun.

Badan-badan bantuan meningkatkan respons mereka secepat mungkin. Namun, fakta bahwa terdapat ribuan pengungsi yang tiba setiap hari menjadikan ini ajang perlombaan melawan waktu demi membuat mereka yang berada di kamp-kamp tetap hidup.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.