Sukses

Kisah Sedih Penolakan Suaka Swedia Nenek 106 Tahun

Nenek Bibihal Uzbeki terancam dideportasi ke Afghanistan karena Swedia menolak suakanya. Kini kondisi Nenek Uzbeki amat memprihatinkan.

Liputan6.com, Stockholm - Pupus sudah harapan Bibihal Uzbeki untuk menghabiskan sisa umur dengan damai tanpa peperangan. Pencari suaka asal Afghanistan berusia 106 tahun itu ditolak negara tujuannya, Swedia.

Padahal, perjalanan menuju Swedia dia tempuh dengan susah payah. Ia harus digendong anak laki-laki dan cucunya bergantian. Mereka mendaki pegunungan, melintasi padang pasir dan hutan.

Dengan ditolaknya status suaka, kini Nenek Uzbeki terancam dideportasi.

Dikutip dari The Guardian, Selasa (5/9/2017), Nenek Uzbeki adalah penyandang disabilitas dan nyaris tak bisa berbicara. Keluarganya telah mengajukan banding atas penolakan tersebut, dan dia diperbolehkan melakukan tiga kali banding, sebuah proses yang bisa memakan waktu lama.

Sementara itu, status anggota keluarga lainnya berada dalam berbagai tahap banding.

Perjalanan mereka menjadi berita utama pada 2015, saat mereka menjadi bagian dari gelombang orang-orang yang datang ke Eropa dari Suriah, Afghanistan, Irak, dan negara-negara lain. Mereka menempuh perjalanan dengan berjalan kaki dan naik kereta melalui Balkan sebelum akhirnya sampai di Swedia.

Badan Migrasi Swedia menegaskan, mereka telah membuat keputusan mengenai kasus tersebut. Mereka juga menjelaskan, usia renta sang nenek tak dengan sendirinya jadi dasar mendapat suaka.

Nenek Uzbeki  menghabiskan waktu menanti suaka di kamp di Kroasia (Marjan Vucetic/AP)

Uzbeki tiba di kamp pengungsi Opatovac di Kroasia pada Oktober 2015, setelah melakukan perjalanan 20 hari dengan 17 anggota keluarganya untuk mencapai Eropa. Uzbeki digendong anak laki-lakinya yang berusia 67 tahun dan seorang cucu berusia 19 tahun bergantian selama menempuh perjalanan itu.

Surat penolakannya datang saat Ramadan atau pada Mei lalu. Sementara keluarganya memutuskan untuk tidak memberitahu sang nenek. Namun, tangisan dan kesedihan cucu perempuannya yang terus-menerus membuat Uzbeki curiga.

"Saudara perempuan saya menangis," jelas Mohammed Uzbeki yang berusia 22 tahun. "Nenek saya bertanya, 'Kenapa kamu menangis?'"

Keluarga tersebut mengatakan, sesaat setelah dia mengerti permintaannya ditolak, kesehatannya mulai memburuk dan dia mengalami stroke parah.

Keluarga Uzbeki merasa bahwa penderitaan orang-orang Afghanistan diabaikan pihak berwenang Swedia. Banyak negara di Eropa menolak suaka bagi Afghanistan yang datang dari kawasan yang lebih aman.

"Alasan dari agen migrasi adalah bahwa mereka tidak datang dari kawasan yang cukup aman di Afghanistan," kata Sanna Vestin, kepala Swedish Network of Refugee Support Groups. Namun, dia mengatakan banyak kota besar di negara itu kondisinya sama saja.

Sebelum perjalanan mereka ke Swedia, keluarga tersebut telah tinggal secara ilegal di Iran selama delapan tahun. Mereka meninggalkan Afghanistan karena perang dan ketidakamanan yang sedang berlangsung. Namun, Mohammed Uzbeki mengatakan bahwa sulit membuktikan bahwa keluarga itu menghadapi musuh tertentu jika mereka kembali.

"Jika saya tahu siapa musuhnya, saya akan menghindari mereka," katanya. Ia menambahkan, ISIS dan Taliban serta pelaku bom bunuh diri sebagai bahaya yang mungkin terjadi.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Senyum Imigran yang Berhasil Tiba di Berlin

Lain halnya di Berlin, di mana para imigran lebih banyak diterima oleh pemerintah. Kebijakan Kanserlir Angela Marker, "open door policy" membuat sejumlah pencari suaka lebih banyak berpikir positif bahwa status mereka diterima.

Sebutlah pengungsi bernama Laith Majid. Fotonya yang memeluk sang anak sambil menangis kemudian menjadi viral. Ia dilaporkan berhasil sampai ke Berlin.

Keluarga itu, Majid dan istrinya, Nada Adel; serta kedua anak laki-laki mereka: Moustafa (18), Ahmed (17), Taha (9), juga Nur (7) berjalan berminggu-minggu untuk mencapai Jerman.

Keluarga ini dilaporkan tinggal di Spandau, di bekas barak polisi Schmidt-Knobelsdorf, yang telah diubah untuk menjadi rumah bagi ratusan pengungsi di Jerman.

Majid dan keluarganya telah melarikan diri dari Deir Ezzor, sebuah kota Suriah yang dilanda kekerasan perang saudara sejak 2011. Mereka naik rakit perahu karet berkapasitas empat orang, tapi dipenuhi 12 orang itu membawa mereka ke Pulau Kos.

Keluarga itu membayar US$ 6.500 untuk perjalanan berbahaya lewat air.

"Saya tidak pernah begitu kewalahan saat saya mengambil foto itu. Saya cukup beruntung untuk menyaksikan mereka tiba di Yunani," kata Daniel Etter sang fotografer, seperti dikutip The Guardian.

"Ketika perahu mendarat, seorang pria setengah baya keluar. Dia tampak terguncang. Kakinya bergetar, sulit berjalan. Ketika semua keluarganya mencapai pantai, dengan selamat, ia dan istrinya mulai menangis, memeluk satu per satu anak-anak mereka," kata Etter lagi. Ia memotret keluarga ini untuk harian The New York Times.

Etter membantu keluarga itu mencapai kota utama Kos, di mana pengungsi diproses oleh otoritas Yunani, tetapi kemudian kehilangan jejak mereka.

Nada Adel, seorang guru bahasa Inggris di Suriah, mengatakan 13 negara telah menawarkan untuk membawa mereka tapi mereka telah memutuskan Jerman. "Angela Merkel sangat baik," katanya. "Dia seperti seorang ibu bagi kami."

Merkel mengatakan, pengungsi dari Suriah dapat mengajukan permohonan suaka di Jerman, bukan di negara pertama mereka mendarat di Uni Eropa.

Keluarga mengatakan Nour, si bungsu, masih memiliki mimpi buruk tentang malam mereka yang melintasi air. "Kami tidak akan pernah kembali ke laut," kata Majid kepada Bild.

Saksikan video menarik berikut ini:

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.