Sukses

Belanda Pernah Tak Akui Hari Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945

Meski Proklamasi dibacakan pada 17 Agustus 1945, butuh waktu puluhan tahun bagi Belanda mengakui tanggal itu sebagai hari kemerdekaan RI.

Liputan6.com, Jakarta - Sejarah mencatat, Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945. Pada hari itu, di tengah Bulan Ramadan, Proklamasi Kemerdekaan dikumandangkan, Sang Saka Merah Putih kali pertama dikibarkan. 

Namun, momentum syahdu tersebut sempat tak diakui Pemerintah Belanda. Mereka bersikukuh, Indonesia baru merdeka pada 27 Desember 1949. 

Tanggal itu terjadi penyerahan kedaulatan dari Belanda ke Indonesia.

"Belanda memperingati penyerahan resmi kedaulatan pada negara baru Indonesia pada 27 Desember 1949 dan merasa keberatan dengan versi kubu revolusi yang menyebut 17 Agustus 1945," demikian dikutip dari artikel berjudul 'An Awkward Anniversary Indonesia and the Netherlands: Decolonisation Fifty Years On' yang dimuat situs www.dbnl.org.

Pada tanggal itu digelar tiga upacara penyerahan kedaulatan dari Belanda ke Indonesia digelar.

Pertama, di Amsterdam, tepatnya di Istana Op de Dam. Wakil Presiden sekaligus perdana menteri, Mohamad Hatta memimpin delegasi Indonesia dalam Konferensi Meja Bundar (KMB).

Penyerahan Kedaulatan ke Indonesia

"Kedua negara (Belanda dan Indonesia) tak lagi saling berlawanan, kini kita berdiri berdampingan," kata Ratu Belanda Juliana kala itu, sesaat setelah naskah penyerahan kedaulatan ditandatangani, seperti dikutip dari Radio Nederland.

Bung Hatta yang bicara Bahasa Indonesia dalam pertemuan KMB itu menekankan pentingnya penyelesaian damai konflik dua negara.

"Empat tahun lamanya rakyat kita timbal balik hidup dalam persengketaan, karena merasa dendam di dalam hati ... Bangsa Indonesia dan Bangsa Belanda, kedua-duanya akan mendapat bahagianya. Anak cucu kita, angkatan kemudian akan berterima kasih pada kita," kata Hatta, yang sejatinya fasih berbahasa Belanda. 

Sementara itu di Istana Negara, Jakarta, upacara penyerahan kedaulatan kedua digelar.

Penyerahan kedaulatan dilakukan antara wakil tinggi mahkota Belanda di Indonesia Tony Lovink dan Sri Sultan Hamengku Buwono IX, sebagai wakil perdana menteri.

Setelah penandatanganan itu, Sultan dan Tony Lovink keluar, berdiri di depan Istana. Keduanya menyaksikan upacara penurunan bendera merah-putih-biru Holandia dengan Sang Saka Merah Putih Indonesia.

"Sebentar terdengar sorakan, tapi segera berhenti," demikian diungkapkan Herman Burgers, tentara Belanda yang menjadi saksi peristiwa tersebut yang mengabadikannya dalam bukunya De Garoeda en de Ooievaar, seperti Liputan6.com kutip dari situs Radio Nederland, (11/8/2017).

Lalu, senyap, semua diam. Bendera Merah-Putih dikibarkan dalam suasana dramatis.

"Ada kecelakaan kecil, karena bendera itu sempat tertahan. Seorang prajurit Belanda membantu prajurit TNI membereskannya, lalu tibalah saat yang dinanti-nanti, Sang Saka Merah Putih berkibar," tambah Herman. Maka pecahlah sorak sorai ribuan orang.

Dari penuturan Herman, ternyata ada upacara lain yang dilaksanakan hari itu. Yang tidak disiarkan lewat radio.

Upacara ketiga tersebut dilakukan di Gedung Negara, Yogyakarta. Di tengah rapat Komite Nasional Indonesia Pusat (KNPI).

Sukarno kala itu menyerahkan tugas-tugas kepresidenannya untuk sementara kepada Assaat Datuk Mudo, ketua KNIP.

Sesudah itu, Assaat, sebagai wakil Republik Indonesia yang didirikan pada tanggal 17 Agustus 1945, menyerahkan kedaulatan Republik Indonesia kepada Republik Indonesia Serikat yang diwakili oleh presiden terpilihnya: Sukarno sendiri.

"Yang bagi saya penting adalah tindakan simbolisnya. Assaat menyerahkan sebuah kotak kayu berisi bendera yang pada tanggal 17 Agustus 1945 dikibarkan di Pegangsaan Timur 56. Bendera itu dijahit sendiri oleh Fatmawati," kata Herman.

Menurut si penulis De Garoeda en de Ooievaar itu, upacara ketiga punya arti sangat penting.

"Upacara ini harus berlangsung karena kedaulatan Indonesia tidak hanya berdasarkan pada yang diterimanya dari Belanda," jelas Herman.

Upacara itu didasarkan pada Proklamasi 17 Agustus 1945. Penegasan bahwa kemerdekaan RI direbut dan diperjuangkan, bukan sekedar hadiah.

Momentum 16 Agustus 2005

Awalnya Belanda kukuh mengakui kemerdekaan Indonesia adalah pada 27 Desember 1949, hari ketika soevereiniteitsoverdracht (penyerahan kedaulatan) ditandatangani. Bukan pada 17 Agustus 1945.

Pengakuan baru diberikan pada pada 16 Agustus 2005, sehari sebelum peringatan 60 tahun proklamasi kemerdekaan Indonesia.

Pengakuan itu disampaikan dalam pidato Menlu Belanda Bernard Rudolf Bot di Gedung Departemen Luar Negeri di Jakarta.

Ia mengatakan, 'secara moral dan politik' Belanda mengakui Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945.

Bot juga menghadiri Upacara Kenegaraan Peringatan Hari Ulang Tahun ke-60 Kemerdekaan RI di Istana Negara, Jakarta. 

"Saat Ben Bot menjadi tamu peringatan Kemerdekaan RI pada 2005, ia menjadi pejabat Belanda pertama yang menghadirinya," demikian dikutip dari latitudes.nu.

Sebelumnya, pada kunjungan ke Indonesia pada 1995, Ratu Beatrix menghindari tanggal 17 Agustus. Ia tiba di Jakarta pada 21 Agustus 1995.

Tak ada kata maaf yang terucap dari bibir sang ratu. Dalam pidato di Istana Negara ia menyebut, proses dekolonialisasi berlangsung panjang dan menyakitkan.

 

Saksikan juga video berikut ini

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.