Sukses

5 Alasan Krisis Politik Venezuela Ancam Stabilitas Dunia

Berikut, 5 alasan mengapa krisis politik di Venezuela berpotensi menjadi hal genting dan signifikan bagi dunia.

Liputan6.com, Caracas - Telah banyak laporan berita yang mengabarkan tentang krisis politik di Venezuela beserta efek samping dari situasi itu. Aksi protes masyarakat yang tak kunjung henti, bentrokan antara kubu oposisi dengan kelompok pro pemerintah, hingga kelangkaan bahan makanan merupakan sejumlah dampak.

Negara dengan Ibu Kota Caracas itu juga mengalami kekacauan yang semakin memuncak dan kondisi yang mencekam setiap harinya. Korban luka dan jiwa pun muncul dari kedua belah pihak.

Eskalasi tensi mencapai titik tertinggi pasca-pemilu legislatif --yang dimenangi oleh kubu pro Presiden Nicolas Maduro-- pada 31 Juli lalu dan usai penyerangan sekelompok orang pada sebuah pangkalan militer di Negara Bagian Carabobo pada 7 Agustus kemarin.

Bertolak pada rangkaian peristiwa itu, sebagian pihak kini memprediksi bahwa krisis politik --yang bertendensi mengarah ke Perang Sipil-- di negara berpopulasi 30 juta orang tersebut akan turut memberikan dampak signifikan pada komunitas internasional.

Seperti yang dirangkum dari CNN (8/8/2017), berikut 5 alasan mengapa krisis politik di Venezuela berpotensi menjadi hal genting dan signifikan bagi dunia.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 6 halaman

1. Krisis Pengungsi dari Venezuela

Demonstran anti-pemerintah memainkan kartu di jalan raya saat unjuk rasa melawan Presiden Nicolas Maduro, di Caracas, Venezuela, (15/5). Para demonstran menuntut Presiden Nicolas Maduro mundur dari jabatannya. (AP Photo / Ariana Cubillos)

Krisis pengungsi itu mampu dipicu atas kelangkaan sejumlah bahan baku penyokong hidup bagi sebagian besar masyarakat Venezuela. Tak hanya itu, instabilitas politik dan kekerasan dari hari ke hari juga mampu menjadi faktor pemicu.

Menurut data Keimigrasian Amerika Serikat, sejak Oktober 2016 hingga 2017, pencari suaka asal Venezuela memuncaki statistik dengan angka 14.525 orang, diikuti warga negara China dan Meksiko, yang memilih Negeri Paman Sam menjadi destinasi untuk mengungsi.

Diprediksi, gelombang pengungsi asal Venezuela itu berpotensi menggoyah stabilitas domestik dan mempengaruhi iklim politik di Amerika Serikat.

"Saat ini AS secara keseluruhan tengah menikmati kondisi aman damai. Namun jika krisis pegungsi terjadi, kondisi itu akan berubah," jelas Fabiana Perera dari George Washington University.

 

3 dari 6 halaman

2. Mengancam Demokrasi

Presiden Venezuela Nicolas Maduro dan istrinya Cilia Flores (AFP Photo/Federico Parra)

Menurut pengamatan sejumlah pakar, krisis politik di Venezuela merupakan peristiwa yang menyinggung prinsip kehidupan berdemokrasi internasional.

Krisis itu diawali atas penyalahgunaan jabatan yang dilakukan Presiden Nicolas Maduro. Diduga, ia melakukan nepotisme, dengan menempatkan sejawat pendukungnya di posisi strategis pemerintahan, salah satunya Supreme Court of Venezuela atau Mahkamah Agung.

Langkah itu dilakukan Maduro untuk mencegah dirinya dimakzulkan oleh Majelis Nasional, yang didominasi oleh politisi oposisi.

Kemudian, pada awal 2017, Supreme Court of Venezuela menyerap kewenangan legislatif Majelis Nasional dan membubarkan secara sepihak lembaga itu. Hal itu menyulut protes besar-besaran warga pada Maret lalu, mengakibatkan bentrokan dengan aparat, yang menyebabkan 100 orang tewas.

Pekan lalu, melalui sebuah pemilihan umum kontroversial, Maduro beserta para konconya berhasil memenangi pemilu legislatif yang diselenggarakan untuk membentuk Majelis Konstituante.

Pemilu akan memungkinkan Maduro menggantikan Majelis Nasional yang ada dengan Majelis Konstituante. Lembaga baru tersebut nantinya memiliki kekuatan untuk menulis ulang konstitusi negara, yang memungkinkan sang presiden berkuasa lebih lama.

Majelis Konstituante akan terdiri dari 545 anggota di mana semuanya dicalonkan oleh rezim Maduro.

Dan seluruh 'kesewenang-wenangan' yang dilakukan oleh Maduro di Venezuela itu dianggap menyinggung prinsip demokrasi dalam bernegara.

"Kita harus peduli karena krisis itu menyinggung idealisme dan prinsip mendasar (demokrasi) kita. Jelas-jelas (Maduro) sudah tak lagi memedulikan mekanisme check and balances kewenangan eksekutif, legislatif, dan yudikatif, membuatnya memiliki kekuasaan mutlak," jelas Tamara Taraciuk dari Human Rights Watch.

 

4 dari 6 halaman

3. Memicu Sentimen Anti-AS di Amerika Selatan

Seorang pengunjuk rasa memakai topeng, bersiap melempar batu saat mereka bentrok dengan polisi antihuru-hara menuntut Presiden Venezuela, Nicolas Maduro di Caracas (10/7). (AP Photo/Ariana Cubillos)

Nampaknya sudah jadi kebiasaan bagi sejumlah pemimpin negara di Amerika Selatan untuk menaruh dan menebar sentimen anti-Amerika Serikat di kawasan. Fidel Castro, Manuel Noriega, Ernesto Guevarra, Hugo Chavez, adalah beberapa contoh.

Dan diprediksi, daftar nama-nama pemimpin negara yang memiliki sentimen anti-AS mungkin akan bertambah. Ia adalah Nicolas Maduro dari Venezuela.

Krisis politik di Venezuela juga dikhawatirkan akan dimanfaatkan Maduro untuk merambah sentimen anti-AS ke negara tetangga di kawasan.

"Maka penting bagi AS untuk memainkan peran aktif agar 'kemunduran demokrasi' di kawasan tidak akan berulang dan berdampak kembali ke Washington," jelas Fabiana Perera dari George Washington University.

 

5 dari 6 halaman

4. Berpotensi Menimbulkan Krisis Kemanusiaan

Tokoh oposisi Venezuela Leopoldo Lopez (Foto:AFP)

Sebelumnya telah dibahas mengenai kelangkaan sejumlah bahan baku penyokong hidup serta instabilitas politik dan kekerasan yang terus terjadi di Venezuela. Faktor itu, selain memicu krisis pengungsi, juga akan menyulut terjadinya krisis kemanusiaan.

Tak hanya itu, inflasi yang mencapai 2.000 persen membuat harga barang-barang melonjak tinggi. Hal tersebut membuat sejumlah warga semakin kesulitan untuk memenuhi kebutuhan hidup mendasar, seperti makanan dan obat-obatan.

Riset terbaru juga menyebutkan bahwa terjadi bencana kelaparan 'mini' di sejumlah wilayah di Venezuela akibat krisis politik.

 

6 dari 6 halaman

5. Mengancam Stabilitas Harga Migas Dunia

Sejumlah demonstran saat menyerang Gedung Pengadilan Tinggi Venezuela selama kerusuhan menuntut Presiden Nicolas Maduro di Caracas (7/6). (Reuters/Marco Bello)

Pada akhir Juli lalu, pemerintah Amerika Serikat menjatuhkan sanksi ekonomi kepada Venezuela. Sanksi itu melarang entitas AS untuk menjalin relasi bisnis dan perdagangan dengan entitas Venezuela.

Pra-sanksi, komoditas andalan Venezuela, minyak dan gas, merupakan produk yang rutin dijual ke AS, yang juga bertindak sebagai pembeli nomor satu. Dan pasca-sanksi, diprediksi komoditas minyak dan gas Venezuela akan anjlok.

"AS merupakan pembeli utama migas Venezuela," jelas Tamara Taraciuk dari Human Rights Watch.

Jika sanksi itu diterapkan dalam waktu yang cukup lama, diprediksi perekonomian Venezuela akan ambruk. Inflasi akan kian meningkat, harga barang akan semakin tinggi, dan krisis kemanusiaan kian menjadi.

Akan tetapi, hal itu juga akan merugikan AS. Pasalnya, Venezuela merupakan pengimpor komoditas migas ketiga --setelah Arab Saudi dan Kanada-- ke Negeri Paman Sam. Sanksi dan pembatasan perdagangan akan memaksa Washington untuk mencari pemasok alternatif, dan tentunya, dengan harga jual yang lebih tinggi.

Dan hal itu turut mengancam stabilitas harga migas dunia.

"Venezuela merupakan salah satu negara dengan cadangan minyak mentah terbesar di dunia. Apa yang terjadi kini akan mengancam stabilitas harga," jelas Christopher Reeve Linares, pengamat Venezuela.

 

Saksikan juga video berikut ini

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.