Sukses

Ramalan Bumi Masa Depan: dari Planet Hijau ke 'Planet Plastik'

Jumlah plastik yang pernah diproduksi di Bumi sejak 65 tahun lalu mencapai 8,3 miliar ton atau setara dengan satu miliar gajah.

Liputan6.com, Santa Barbara - Ilmuwan Amerika Serikat telah menghitung jumlah plastik yang pernah diproduksi di seluruh Bumi sejak 65 tahun lalu. Hasilnya mencengangkan, yakni 8,3 miliar ton -- setara dengan 25.000 kali gedung Empire State di New York atau satu miliar gajah.

Satu hal yang paling disoroti dari hal tersebut adalah, benda-benda yang terbuat dari plastik, termasuk bungkus produk, hanya digunakan dalam waktu singkat. Padahal, dibutuhkan waktu ratusan tahun untuk menguraikannya di dalam tanah.

Seperti dikutip dari BBC, Kamis (20/7/2017), saat ini lebih dari 70 persen produksi plastik total terbuang ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA). Meski demikian, banyak limbah plastik berakhir di tempat yang tak seharusnya, termasuk lautan.

"Kita dengan cepat berjalan menuju 'Planet Plastik', dan jika kita tidak ingin hidup di dunia semacam itu, maka kita harus memikirkan kembali cara menggunakan beberapa material, terutama plastik," ujar Dr Roland Gayer.

Artikel yang disusun oleh ahli ekologi industri dari University of California, Santa Barbara itu dipublikasi di jurnal Science Advances. Penelitian yang mereka lakukan, merupakan perhitungan global pertama tentang jumlah, penggunaan, dan limbah plastik.

Kondisi sampah yang menumpuk di Kali Gendong, Penjaringan, Jakarta Utara, Kamis (16/3). Ceceran sampah plastik limbah rumah tangga terlihat menyerupai daratan menumpuk di sepanjang Kali Gendong. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Sejak diproduksi secara massal pada 1950-an, saat ini polimer ada di sekeliling kita, mulai dari pembungkus makanan, baju, hingga bagian pesawat. Namun, daya tahan yang dimiliki plastik itu justru menimbulkan masalah baru.

Hingga saat ini, plastik yang biasa digunakan sangat jarang yang mudah terurai di alam. Salah satu cara untuk menghilangkan limbah tersebut adalah dengan memanaskannya. Namun, cara tersebut memicu kekhawatiran akan adanya dampak negatif bagi kesehatan dan lingkungan.

Menurut Gayer, saat ini limbah plastik telah menggunung dan jika dikumpulkan cukup untuk menutupi seluruh wilayah Argentina. Tim peneliti berharap, analisis baru mereka akan memberi dorongan dalam upaya untuk menangani masalah plastik.

"Mantra kami adalah, Anda tak dapat mengendalikan apa yang tidak Anda hitung," ujar Gayer.

"Jadi, ide kami adalah memberi tahu angka sesungguhnya. tanpa memberitahu dunia tentang apa yang seharusnya dilakukan. Tujuan kami adalah untuk memulai diskusi nyata dan terpadu," imbuh dia.

 

Saksikan video menarik berikut ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Darurat Limbah Plastik

Walaupun tingkat daur ulang meningkat dan bidang kimia memiliki beberapa alternatif yang dapat mengurai plastik dengan alami, namun biaya pembuatan plastik begitu murah sehingga produknya sulit dilepaskan.

Pada 2015, tim tersebut mengeluarkan laporan seminal yang mengungkap bahwa jumlah plastik yang bermuara ke laut tiap tahunnya sebanyak delapan juta ton.

Limbah plastik itu merupakan salah satu hal yang memperoleh banyak perhatian. Pasalnya bahan tersebut akan masuk ke dalam rantai makanan, karena ikan dan makhluk laut lainnya menelan potongan-potongan kecil plastik.

Seorang ahli oseanografi dari Utrecht University, Dr Erik van Sebille, dalam laporan terbarunya mengatakan bahwa saat ini kita sedang menghadapi 'tsunami' limbah plastik.

Peneliti dari Universitas of Bergen membeberkan plastik yang di dapat dari pembedahan perut seekor paus di perairan Sotra, Norwegia, Selasa (31/1). Mereka berharap agar manusia bisa menghargai alam. (AP Photo)

"Industri limbah global perlu bertindak bersama dan memastikan bahwa jumlah sampah plastik yang terus meningkat tak berakhir di lingkungan," ujar van Sebille.

"Kita perlu perubahan radikal untuk menangani sampah plastik. Dalam tren baru-baru ini, dibutuhkan hingga tahun 2060 sebelum plastik harus lebih banyak di daur ulang, dibanding berakhir TPA hingga menuju ke lingkungan. Tentu saja itu terlalu lambat, kita tak bisa menunggu selama itu," jelas dia.

Seorang profesor biologi laut di Plymouth University, Richard Thompson, mengatakan bahwa desain yang dari awal memikirkan soal daur ulang akan mempermudah pengurangan limbah plastik.

"Jika produk plastik didesain dengan kesadaran akan daur ulang, barang itu akan dapat dipakai berulang kali. Beberapa orang akan mengatakan bahwa sebuah botol dapat didaur ulang hingga 20 kali. Itu merupakan pengurangan yang substansial. Saat ini desain yang buruk menghambat kita," ujar Thompson.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.