Sukses

3 Tahun Tragedi MH17, Keadilan Belum Berpihak pada Korban

Menandai 3 tahun tragedi pesawat MH 17, sebanyak 2.000 anggota keluarga dari 298 korban meresmikan situs memorial di Vijfhuizen, Belanda.

Liputan6.com, Vijfhuizen - Tragedi jatuhnya pesawat Malaysia Airlines MH17 di Ukraina pada 17 Juli 2014 masih menyimpan perih di hati para keluarga korban. Menandai tiga tahun peristiwa tersebut, 2.000 anggota keluarga korban meresmikan dan membuka situs peringatan di Belanda, untuk mengenang para penumpang yang tewas.

"Penting untuk tidak melupakan, tapi kembali mengingat peristiwa itu memicu kembali kenangan buruk," ucap Silene Fredrikz di situs memorial tragedi MH17 di Vijfhuizen, Belanda.

Silene merupakan anggota keluarga dari salah satu korban yang menjadi penumpang pesawat MH17. Pesawat itu ditembak jatuh di Ukraina, yang diduga dilakukan oleh militan separatis pro-Rusia pada 17 Juli 2014.

Anak Silene, Bryce (23 tahun), merupakan salah satu penumpang pesawat nahas tersebut. Pemuda itu, bersama kekasihnya, Daisy Oehlers, ikut dalam penerbangan tujuan Kuala Lumpur tersebut untuk transit menuju Bali, guna berbulan madu di Pulau Dewata. Demikian seperti yang diwartakan oleh BBC, Selasa (18/7/2017).

Bryce dan Daisy merupakan bagian dari 298 penumpang pesawat yang tewas, setelah burung besi maskapai Malaysia Airlines MH17 itu ditembak menggunakan proyektil dari sistem misil pertahanan udara tipe Buk/SA-11 Gadfly.

Diduga, penembakan itu dilakukan oleh kelompok pro-Rusia saat terbang di atas langit Ukraina. Setelah ditembak, pesawat jenis Boeing 777-200ER itu kemudian jatuh di dekat Hrabove, Provinsi Donetsk, Ukraina.

Sementara itu, satuan tugas investigasi khusus yang dipimpin Belanda mengidentifikasi 100 orang tersangka yang diduga bertanggungjawab atas tragedi itu. Meski begitu, hingga kini, penyelidikan satgas tersebut belum menyeret satu orang pun ke pengadilan.


Tiga Tahun Lewat, Pelaku Belum Ditangkap

Tiga tahun pasca-tragedi nahas tersebut, para keluarga korban secara resmi membuka situs peringatan di Vijfhuizen, Belanda, pada 17 Juli 2017. Rencana dan proses konstruksi situs tersebut telah dilakukan sejak satu tahun terakhir.

Situs tersebut dikonsepkan sebagai kawasan hutan dengan 298 bibit pohon ditanam di sana, mewakili jumlah korban tewas pesawat MH17 dan menjadi simbolisasi kehidupan, pertumbuhan, serta harapan.

Bibit itu ditanam dan dihias --menggunakan bunga dan replika kupu-kupu-- oleh para anggota keluarga korban. Di jantung kawasan, didirikan sebuah monumen berbentuk mata, bertuliskan seluruh nama korban.

Raja Willem-Alexander dan Ratu Maxima dari Belanda menghadiri seremoni memorial tragedi pesawat Malaysia Airlines MH 17 di Ukraina (AFP)

Seremoni pembukaan situs peringatan itu dihadiri oleh 2.000 anggota keluarga korban serta Raja Willem-Alexander, Ratu Maxima, dan Perdana Menteri Mark Rutte dari Belanda. Diiringi lantunan orkestra Angkatan Udara Kerajaan Belanda, para anggota monarki yang hadir meletakkan karangan bunga matahari di kaki monumen.

Peresmian dan seremoni pembukaan situs itu juga menandai kali pertama upacara mengenang tragedi MH17, pada 17 Juli 2017.

Namun, tiga tahun pasca-peristiwa nahas itu, dalang di balik tewasnya 298 korban, belum berhasil diseret aparat guna dimintai pertanggungjawaban hukum. Padahal, satgas investigasi khusus dari Belanda mengklaim telah mengidentifikasi 100 terduga pelaku. Akan tetapi, tak satu pun dari mereka secara resmi ditetapkan sebagai tersangka oleh otoritas.

Para satgas investigasi menaruh kecurigaan pada aktor dari kelompok militan pro Rusia. Praduga semakin kuat ketika tim penyelidik mengindikasikan bahwa, sistem misil pertahanan udara tipe Buk/SA-11 Gadfly --senjata yang menembak jatuh pesawat-- diselundupkan dari Rusia ke Ukraina.

Tak hanya itu, insiden tersebut juga terjadi hanya beberapa bulan setelah krisis aneksasi Krimea yang berlangsung pada Maret 2014. Jatuhnya pesawat MH17 juga masih berada di dalam kawasan yang secara de facto dikuasai oleh kelompok pro-Rusia, meski secara de jure, Provinsi Donetsk merupakan wilayah kedaulatan Ukraina.

Sejumlah pihak bersikukuh bahwa, jika suatu saat nanti otoritas Belanda berhasil menetapkan tersangka, maka yang bersangkutan akan diekstradisi dari wilayah asalnya (Rusia atau Ukraina) ke Negeri Holandia. Meski begitu, hukum acara pidana Belanda mengatur bahwa, proses persidangan pelaku dapat dilakukan secara ' in absentia' atau 'sidang tanpa kehadiran terdakwa'.

Di sisi lain, Rusia dan kelompok pro Moskow membantah terlibat dalam peristiwa nahas tersebut. Sebaliknya, Presiden Ukraina Petro Poroshenko tegas menuding bahwa Negeri Beruang merah atau grup pro mereka, bertanggung jawab.

Kabar terbaru menunjukkan, gugus tugas penyelidikan dari Malaysia, yang dipimpin oleh Kementerian Transportasi Negeri Jiran, mengisyaratkan akan mengeluarkan surat perintah penangkapan pada awal 2018. Namun, baik Kuala Lumpur dan Amsterdam belum mengonfirmasi secara resmi mengenai isyarat tersebut.

Saksikan juga video berikut ini

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.