Sukses

Bullying yang Keterlaluan Bisa Berujung Maut, Ini 4 Buktinya

Kenyataannya, bullying marak di mana-mana, bahkan ada sejumlah korban yang tidak tahan sehingga memutuskan melakukan bunuh diri.

Liputan6.com, Jakarta - Baru-baru ini, media sosial dihebohkan dengan video yang memperlihatkan mahasiswa dengan autisme -- salah satu bentuk kebutuhan khusus-- tengah menjadi korban perundungan (bullying) dari sejumlah rekannya sesama mahasiswa. Peristiwa itu terjadi di kampus Universitas Gunadarma, Depok, Jawa Barat.

Video itu sendiri diunggah pada Sabtu, 15 Juli 2017 malam. Dalam tayangan terlihat seorang mahasiswa berkebutuhan khusus yang mengenakan jaket abu-abu sedang dikelilingi tiga mahasiswa yang merupakan teman kuliahnya.

Seorang pelaku terlihat menarik tas ransel korban sehingga dia tak bisa melangkah. Sementara, dua pelaku lainnya juga berdiri di depan korban.

Korban sempat mengibaskan tangannya untuk menghentikan aksi pelaku yang menarik tasnya dan akhirnya bisa bebas walau kemudian ia pun menjadi kesal.

Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) Mohammad Nasir mengatakan bahwa kasus bullying terhadap mahasiswa berkebutuhan khusus yang terjadi di Universitas Gunadarma, Jakarta, itu sudah selesai.

Pihak universitas sudah bertemu dengan pelaku dan juga korban perundungan. Sementara itu, Wakil Rektor III Bidang Kemahasiswaan Universitas Gunadarma Irwan Bastian menyatakan bahwa para pelaku mendatangi rumah Farhan, mahasiswa berkebutuhan khusus yang jadi korban bullying.

Pada kenyataannya, pelanggaran HAM seperti bullying marak di mana-mana, bahkan ada sejumlah korban yang tidak tahan sehingga memutuskan untuk melakukan bunuh diri. Dirangkum Liputan6.com dari beberapa sumber, berikut ini adalah empat kisah bullying yang berujung maut:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 5 halaman

1. Penderita Tumor Otak Kecil

Bethany Thompson, penyintas kanker korban bullying (CNN/Paul Thompson)

Seorang remaja bernama Bethany Thompson bunuh diri pada 19 Oktober 2016 karena, menurut ibunya yang bernama Wendy Feucht, putrinya tidak tahan lagi menjadi bahan tertawaan teman-temannya.

Saat berusia tiga tahun, remaja yang berasal dari Cable, Ohio, itu mendapat diagnosis tumor otak kecil sehingga ia harus menjalani rangkaian perawatan radiasi hingga akhirnya pada 2008 ia dinyatakan bebas kanker.

Namun, perawatan radiasi berdampak kepada senyuman anak itu. Senyumnya tidak lurus sehingga ia menjadi bahan celaan sejumlah anak lelaki di kelasnya.

Pada hari nahas tersebut, remaja yang baik hati, penyayang, dan bersemangat itu mengeluhkan tidak tahan kepada seorang sahabatnya, lalu berhasil menemukan senjata yang disimpan tersembunyi dalam rumah dan ia menembak dirinya sendiri.

Menurut CNN, sekolah tempat Bethany menuntut ilmu, Triad Middle School, sedang menyelidiki dugaan bullying itu dan ibu korban sudah bicara pada kepala sekolah pada dua hari sebelum kejadian. Pihak sekolah membenarkan sudah mengetahui adanya bullying, tetapi gagal menghentikannya.

3 dari 5 halaman

2. Bullying Melalui Media Sosial

Brandy Vela menjadi korban penindasan selama bertahun-tahun (Facebook)

Seorang remaja bernama Brandy Vela berusia 18 tahun yang berasal dari Texas juga tidak tahan menghadapi bullying dari sekitarnya, termasuk ulah sejumlah siswa di sekolah yang mencatut foto remaja itu dan membuat akun palsu di Facebook yang berisi ajakan melakukan hubungan seks.

Pada 29 November 2016, siswi di Texas City Independent School District (TCISD) itu mendadak mengirimkan pesan pendek untuk pamit kepada keluarga sehingga sangat mengagetkan.

Raul Vela, ayah remaja itu, beserta kakek dan neneknya cepat-cepat bergegas mencari tahu apa yang terjadi.

Terlambat, mereka mendapati gadis itu di kamarnya sedang berdiri memegang pistol. Ia meninggal beberapa jam kemudian setelah menembak dirinya.

Menurut Jackie, kakak perempuan korban, adiknya sering diejek terkait berat badan. Bahkan, sejak April 2016, ia menjadi korban cyber-bullying tanpa henti setelah sejumlah siswa mulai membuat akun palsu yang mencatut nama remaja itu, seakan ia menawarkan hubungan seksual.

4 dari 5 halaman

3. Remaja Lelaki Pemandu Sorak

(Sumber New York Daily News)

Ronin Shimizu, seorang bocah laki-laki berusia 12 tahun di Amerika Serikat, memilih untuk menghabisi nyawanya sendiri pada 3 Desember 2014 karena mengalami bullying oleh teman-temannya setelah ia bergabung dengan kelompok pemandu sorak (cheerleader).

Menurut teman korban, Shimizu menjadi ejekan temannya setelah menjadi satu-satunya lelaki yang menjadi anggota cheerleader di Folsom Middle School, California, dan bahkan dituding sebagai seorang gay.

Seperti dikabarkan New York Daily News, orangtua korban pernah mengeluhkan kepada pihak sekolah tentang kejadian yang dialami anak mereka hingga akhirnya Ronin menjalani pendidikan di rumah (homeschooling) di bawah arahan Folsom Cordova Unified School.

Bagi sang sahabat, Hunter Reed (13), Ronin adalah sosok periang dan selalu bersemangat dengan apa yang ia sukai, "Dia tak menghiraukan apa kata orang soal yang ia sukai. Dia adalah orang paling periang yang pernah aku temui."

5 dari 5 halaman

4. Korban Pemerkosaan Malah Mengalami Bullying

Rehtaeh Parsons meninggal dunia 7 April 2013 setelah mencoba bunuh diri seminggu sebelumnya. Ia tidak tahan mengalami bullying. (Sumber Wikimedia Commons)

Ada beberapa orang yang benar-benar sengaja berbuat jahat terhadap sesamanya. Pada 2011, empat orang pemuda di Kanada melakukan pemerkosaan terhadap seorang remaja bernama Rehtaeh Parsons yang saat itu berusia 15 tahun.

Keterlaluan, foto-foto saat korban diperkosa malah diunggah ke Facebook sehingga sejak saat itu korban sering mengalami bullying oleh teman-temannya.

Orang-orang mulai melecehkan dia dan sejak saat itu sejumlah lelaki tak dikenal mengirim pesan SMS dan pesan Facebook untuk memintanya melakukan hubungan seks karena dia dipandang pernah melakukan seks dengan teman-teman para lelaki tersebut.

Bullying itu semakin parah sehingga ibu korban yang bernama Leah Parsons dan anggota keluarga lainnya terpaksa pindah dari rumah mereka di Cole Harbour ke Halifax yang masih dalam provinsi yang sama, Nova Scotia.

Namun, bullying terus berlanjut, sehingga pada 7 April 2013, Rehtaeh meninggal dunia setelah sempat mencoba bunuh diri seminggu sebelumnya.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.