Sukses

PBB: 80.500 Anak Rohingya Akan Menderita Kekurangan Gizi

PBB memperkirakan lebih dari 80.000 anak di wilayah mayoritas muslim di Myanmar akan memerlukan perawatan karena menderita kurang gizi.

Liputan6.com, Naypyidaw - Lebih dari 80.000 anak di bawah usia lima tahun yang tinggal di wilayah mayoritas Muslim di Myanmar barat "terabaikan" dan memerlukan perawatan atas kondisi kekurangan gizi akut sepanjang tahun 2018. Demikian disampaikan oleh lembaga bantuan kemanusiaan PBB (WFP).

Laporan dari WFP tersebut didasarkan pada sebuah penilaian terhadap desa-desa di barat negara bagian Rakhine, di mana sekitar 75.000 Muslim Rohingya mengungsi akibat kekerasan mematikan yang dilakukan oknum aparat.

Seperti yang dikutip dari The Guardian pada Senin (17/7/2017), warga yang tersisa kini diguncang krisis pangan. WFP menemukan sepertiga rumah mengalami kekurangan pangan ekstrem di Maungdaw, salah satu distrik yang terkena dampak kekerasan.

Kasus yang mereka alami termasuk tidak adanya makanan di rumah atau tidak menyantap apa pun selama 24 jam.

Seperempat dari seluruh rumah hanya terdiri atas satu perempuan dewasa setelah para laki-laki pergi, menyusul diadakannya operasi militer. Laporan WFP mengungkapkan, tidak ada anak di bawah usia dua tahun yang memenuhi persyaratan diet minimum yang memadai. Adapun 225.000 orang dilaporkan memerlukan bantuan kemanusiaan.

"Diperkirakan 80.500 anak di bawah usia lima tahun membutuhkan pengobatan atas kondisi kekurangan gizi akut selama 12 bulan ke depan," demikian laporan WFP.

Seorang juru bicara WFP di Myanmar mengatakan, kondisi tersebut dapat berubah menjadi fatal dipicu gangguan fungsi sistem kekebalan tubuh.

"Survei telah mengonfirmasi memburuknya situasi keamanan pangan di daerah yang sudah sangat rentan menyusul insiden keamanan dan kekerasan pada akhir tahun 2016," ungkap laporan WFP.

Pada akhir Oktober tahun 2016, sekelompok orang dilaporkan menyerang pos polisi perbatasan. Aksi ini memicu pembalasan tentara di mana mereka dilaporkan menggunakan helikopter untuk menyerang desa-desa.

Pemimpin de facto Myanmar Aung San Suu Kyi yang dianugerahi Nobel Perdamaian pada 1991 dikritik karena dinilai mendiamkan aksi kekerasan terhadap muslim Rohingya. Sejumlah para peraih Nobel pun menulis sebuah surat terbuka yang ditujukan ke Dewan Keamanan PBB demi memperingatkan sebuah tragedi "pembersihan etnis dan kejahatan terhadap kemanusiaan" tengah terjadi di negara bagian Rakhine.

Pemerintah Myanmar sendiri menolak masuknya tim penyelidik PBB yang akan menginvestigasi tuduhan pembunuhan, pemerkosaan, dan penyiksaan oleh militer Myanmar terhadap muslim Rohingya.

Hasil penilaian WFP di daerah yang terkena dampak kekerasan menunjukkan banyak pasar tidak berfungsi. "Harga pangan sangat fluktuatif dan pasokan ikan kering yang terjangkau sebagai satu-satunya sumber protein utama langka."

"Dalam kondisi seperti ini dan dengan musim hujan yang akan datang dapat memburuk situasi yang sudah rapuh, kapasitas populasi yang paling rentan untuk mengakses makanan yang cukup dalam jangka panjang sangat terganggu dan dalam waktu dekat mereka akan bergantung pada bantuan kemanusiaan," ucap laporan WFP tersebut.

 

Simak video berikut:

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.