Sukses

Es Seluas Bali di Antartika Terlepas, Pertanda Bahaya bagi Bumi?

Pada 12 Juli 2017, salah satu gunung es terbesar di dunia lepas dari Antartika. Apakah hal tersebut berbahaya bagi Bumi?

Liputan6.com, Antartika - Salah satu gunung es terbesar di dunia yang pernah tercatat, lepas dari Antartika. Bongkahan raksasa itu berukuran 6.000 kilometer persegi atau lebih besar dari luas Pulau Bali.

Satelit Amerika Serikat mengobservasi bongkahan tersebut pada 12 Juli 2017, saat gunung es itu terpecah dari wilayah yang dikenal dengan lapisan es Larsen C.

Dikutip dari BBC, Kamis (13/7/2017), para ilmuwan sebelumnya telah menduga hal itu. Mereka telah memantau perkembangan retakan besar di Larsen selama lebih dari satu dekade.

Rambatan retakan meningkat sejak 2014, membuat kemungkinan pecahnya bongkahan es makin membesar.

Bongkahan es dengan tebal lebih dari 200 meter diprediksi tidak akan bergerak jauh. Akan tetapi, hal tersebut masih perlu dipantau karena arus air dan angin dapat mendorongnya ke utara Antartika. Hal tersebut bisa menimbulkan bahaya pada kapal kargo.

Sebuah sensor infra merah dari satelit Aqua milik AS, melihat air jernih di antara Larsen dan retakan itu. Air tersebut lebih hangat dibanding es dan udara di sekitarnya -- masing-masing suhunya di bawah nol derajat Celcius.

Pecahnya bongkahan es tersebut juga dikonfirmasi oleh wahana antariksa lain, seperti sistem radar Sentinel 1 milik Eropa.

Salah satu gunung es terbesar di dunia yang pernah tercatat, lepas dari lapisan es Larsen C di Antartika (12/7/2017). (British Antarctic Survey via AP)

Sebelumnya, yakni pada 1956, Angkatan Laut AS melaporkan telah menemukan es dengan luas 32.000 km persegi -- lebih besar dari luas Belgia. Sayangnya pada saat itu tak ada satelit untuk menindaklanjuti laporan itu dan memverifikasi pengamatan AL AS.

Pada 1986, bongkahan es seluas 9.000 km persegi juga pecah dari Larsen C. Banyak bongkahan dari wilayah tersebut yang dapat mencapai hingga Atlantik Selatan.

Larsen C merupakan es berukuran besar dan mengambang yang terbentuk dari gletser yang mengalir dari bagian timur Semenanjung Antartika menuju samudra. Ketika memasuki air, es apung mereka terangkat sehingga membentuk formasi seperti gunung.

Menurut para ilmuwan, saat ini Larsen C berada dalam luas terkecilnya sejak akhir Zaman Es yang terjadi sekitar 11.700 tahun lalu.

Dua lapisan es terdekat, Larsen A dan Larsen B telah lenyap saat pergantian abad. Temperatur Bumi yang kian memanas juga berperan dalam lenyapnya hal tersebut.

Dengan lepasnya bongkahan es terbaru, Larsen C kehilangan 12 persen wilayahnya.

 

Simak video menarik berikut ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Berbahaya?

Para peneliti akan mengamati bagaimana respons Larsen C terhadap pecahnya sebagian esnya dalam beberapa tahun ke depan. Mereka akan memantau bagaimana lapisan es tersebut mempertahankan konfigurasi yang stabil.

Profesor Adrian Luckman dari Swansea Univeristy yang juga merupakan peneliti dari proyek Michigan Institute for Data Science (MIDAS )mengatakan, bongkahan es itu pecah sebelum meretakkan lapisan es lain. Hal tersebut membuatnya tak berdampak langsung terhadap Bumi dengan segera.

"Peristiwa ini tidak secara langsung memengaruhi siapa pun, dan dampaknya, jika ada, tidak akan terasa selama beberapa tahun. Namun ini adalah peristiwa geografis spektakuler dan luar biasa yang telah mengubah bentang alam," kata Luckman.

"Kami akan mempelajari lapisan es untuk melihat tanda-tanda reaksi terhadap retakan -- namun kami memperkirakan tidak akan terjadi hal besar selama beberapa tahun ke depan. Gunung es terus dipantau oleh berbagai badan, mereka akan terus memantau yang satu ini."

Ahli glasial Martin O'Leary dari Swansea University yang juga merupakan anggota tim proyek MIDAS, mengatakan bahwa sejauh ini tim peneliti belum menemukan adanya hubungan perubahan iklim akibat manusia yang menyebabkan retakan itu.

Dilansir CNN, hal senada juga disebutkan oleh Luckman yang mengatakan bahwa timnya tak memiliki bukti adanya hubungan langsung antara fenomena itu dengan perubahan iklim.

Perbedaan luas es di Antartika pada Februari 2014 dan 2017. (National Snow and Ice Data Center/NASA Earth Observatory)

"Tapi lapisan es itu sekarang telah berada pada posisi paling mundur dari yang pernah tercatat dan pemanasan regional mungkin telah memainkan peran dalam hal itu," kata Luckman.

Namun tak semua ilmuwan setuju tentang minimnya dampak, terutama dalam konteks perubahan iklim.

Merupakan hal yang jelas bahwa pemanasan global berkontribusi terhadap ketidakstabilan Antartika yang lebih luas. Hal itu disampaikan profesor ilmu sistem Bumi di University of California, Irvine dan asisten peneliti di Jet Propulsion Laboratory NASA, Eric Rignot.

"Ini merupakan tanda bahwa lapisan es kian menipis. Mereka makin menipis karena suhu semakin hangat dalam beberapa dekade, lapisan es akan runtuh dalam dekade ke depan," ujar Rignot.

"Ini tentu saja berhubungan dengan perubahan iklim. Lapisan es ini tidak pecah sejauh ini pada 125 tahun lalu (pertama kali terlihat oleh Carld Larsen pada 1893) dan Larsen C dalam perjalanan untuk runtuh, sangat mengingatkan pada apa yang terjadi kepada Larsen pada 2002."

"Ini adalah alarm lainnya. Antartika sedang meningkat dan kami harus khawatir tentang dampaknya pada permukaan air laut di masa depan," imbuh dia.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.