Sukses

Lapas di Kongo Diserang, 11 Orang Tewas dan 900 Napi Kabur

Republik Demokratik Kongo kembali bergejolak setelah 11 orang tewas dan 900 narapidana kabur dari dalam lapas di kota Beni.

Liputan6.com, Beni - Republik Demokratik Kongo yang masuk dalam kawasan Afrika Tengah kembali bergejolak. Setidaknya sebelas orang terbunuh dan lebih dari 900 narapidana melarikan diri setelah penyerangan tak dikenal terjadi di rumah tawanan.

Dikutip dari laman Al Jazeera, Senin (12/6/2017) Julien Paluku selaku Gubernur provinsi Kivu Utara mengatakan, penjara Kangwayi di daerah Beni diserang pada hari Minggu pukul 15.30 waktu setempat oleh sekelompok penyerang yang belum diketahui identitasnya.

"Dalam baku tembak yang terjadi antara petugas keamanan dengan kelompok penyerang, pihak berwenang telah mengevakuasi 11 orang tewas, termasuk delapan orang pasukan keamanan," ujar Paluku.

"Untuk saat ini, dari 966 daftar tahanan hanya ada 30 narapidana yang tersisa di dalam jeruji besi," tambahnya.

Menurut Gubernur Paluku, pasca-serangan terhadap lapas, kawasan Beni dan kota Butembo diterapkan jam malam dari mulai pukul 18.30. 

"Hanya petugas polisi dan tentara yang boleh keluar dan berkeliaran di atas jam tersebut," jelas Paluku. 

Terletak di utara provinsi Kivu Utara, kota Beni telah menjadi kawasan berbahaya sejak tahun 2014. Setidaknya hampir 700 warga sipil tewas terbunuh. Pemerintah mengklaim kelompok pemberontak Pasukan Demokrat Sekutu (ADF) yang bertanggung jawab atas segala peristiwa yang terjadi.

Kasus kekerasan telah terjadi di Kongo sejak terperosok dalam krisis politik berkepanjangan terkait kepemimpinan Presiden Joseph Kabila.

Kelompok oposisi mendesak agar pilpres segera dilaksanakan. Alasannya, mandat Presiden Kongo Joseph Kabila sudah berakhir sejak November 2016 lalu.

Karena itu, 'musuh' politik Kabila menyebut sang presiden sengaja menunda pemilihan presiden. Hal ini agar kekuasaan tetap berada di tangan orang nomor satu tersebut.

Komisi Pemilihan Umum Kongo pun bekerja keras agar pemilu bisa terealisasi pada 2017 meski belum ada kepastian dari pemerintah. Mereka menargetkan setidaknya pada akhir Juli 2017 ini sebanyak 30 juta pemegang hak suara sudah bisa mereka daftarkan.

Penundaan pemilu di Kongo pada tahun lalu memicu kerusuhan besar. Ada 50 orang tewas karena kericuhan tersebut.

Semenjak 55 tahun merdeka transfer kekuasaan di Kongo tidak pernah berlangsung mulus. Pertumpahan darah kerap menyelimuti.

Kabila sendiri sudah berkuasa sejak 2001. Ia jadi Presiden usai sang ayah Laurent memimpin Kongo sebelum dirinya tewas dibunuh.

Kabila telah dua kali beruntun menang pemilu. Berdasarkan konstitusi Kongo, ia sudah tidak bisa lagi ikut serta dalam pilpres.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini