Sukses

Portland hingga Anggota Banser, Kisah 7 Pahlawan Kemanusiaan

Dua pria tewas di Portland demi melindungi dua muslimah. Di Indonesia, anggota Banser menyelamatkan ratusan jemaat gereja.

Liputan6.com, Jakarta - Ada suatu ucapan Evelyn Beatrice Hall yang seringkali disangka ucapan Voltaire: "Saya tidak menyetujui apa yang kamu katakan, tapi sampai mati pun saya akan membela hakmu untuk mengatakannya."

Perbedaan pandangan dan pendapat memang bisa berakibat bencana peradaban, karena orang cenderung memegang pendapatnya sekuat-kuatnya. Sehingga, ketika ada yang tidak setuju, kita menganggapnya sebagai lawan yang layak diserang.

Untunglah tidak selalu demikian karena masih ada orang yang keluar dari kenyamanan untuk mengatasi perbedaan, bahkan hingga bertaruh nyawa.

Pada 26 Mei 2017, dua muslimah yang mengenakan hijab diserang oleh seorang pria di sebuah kereta di Portland, Amerika Serikat. Tiga orang pria kemudian turun tangan untuk membantu kedua remaja itu.

Namun pelaku yang makin tersulut emosinya balik menyerang ketiga pria yang mencoba melindungi gadis remaja. Akibatnya, dia orang John Best (53) dan Taliesin Myrddin Namkai-Meche (23) tewas dan satu terluka.

Seorang Imam di Pusat Komunitas Islam Portland mengaku bersyukur memiliki warga yang saling membantu.

"Saya sangat bersyukur sebagai seorang warga Muslim, saya memiliki warga Portland yang bersedia berdiri bersama sebagai satu kesatuan," ujar Muhammad A. Najieb.

Di Indonesia, seorang anggota Barisan Anshor Serbaguna (Banser) bernama Riyanto meninggal dunia akibat ledakan bom pada saat Misa Natal di Gereja Eben Haezer, Mojokerto, Jawa Timur, pada Malam Natal 2000. Bom meledak dan tubuhnya terlempar sejauh lebih dari 100 meter.

Riyanto merelakan nyawa demi melindungi sesama manusia.

Diringkas dari Listserve.com pada Senin (29/5/2017), berikut ini adalah 5 kisah keberanian manusia untuk merangkul bahkan berkorban nyawa bagi mereka yang berbeda:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 7 halaman

2. Rusuh Washington DC

Martin Luther King, Jr. (Sumber US Marine Corps untuk ranah publik)

Ketika Martin Luther King Jr. wafat, orang pun marah. Di seluruh Amerika Serikat, orang mulai rusuh. Mereka menghancurkan jendela-jendela, melempari bom Molotov, dan bahkan melempari botol pada para anggota pemadam kebakaran yang mencoba memadamkan api.

Di Washington, DC, sosok yang mencoba menenangkan mereka adalah seorang pria berkulit hitam bernama Walter Washington. Seperti kebanyakan orang lain, ia juga marah. Tapi, menurutnya, kerusuhan tidak akan memperbaiki apapun.

"Apakah yang baru? Martin ditembak?" tanya pria itu. Menurutnya, ketika seorang pria berkulit hitam terbunuh, itu bukan hal baru. Tapi membakari kota tidak akan menghidupkannya lagi."

Dia pun berkeliling di jalan-jalan Washington, DC sambil mencoba menenangkan orang-orang. Ia tidak serta-merta meminta mereka berhenti, tapi meminta mereka untuk membantu warga yang rumahnya sudah dihancurkan.

Menurut Walter Washington, hanya satu orang saja yang menolak ketika diajak. Rata-rata menerima bujukan itu.

Ia memang tidak sepenuhnya bisa menghentikan kerusuhan, tapi berhasil menguranginya.

Dia kemudian menjadi wali kota pertama berkulit hitam di Washington, DC. Belakangan, seorang saksi mengatakan, "Wali Kota Washington mungkin telah menyelamatkan ratusan jiwa."

3 dari 7 halaman

3. Narapidana Menyelamatkan Sipir Penjara

(Sumber viceo AP)

Pada 2009, seorang sipir penjara Orient Road Jail bernama Kenneth Moon sedang duduk tenang di kursinya ketika seorang narapidana berniat kabur.

Ia menyelinap ke belakang Moon, merampas tongkat jaganya dan mencoba menggunakannya untuk mencekik si petugas agar tewas.

Beberapa narapidana lain melihat apa yang terjadi dan mereka kemudian malah bergegas menolong si petugas. Ada 3 orang yang langsung datang dan menghajar si penyerang hingga terjatuh sambil melepaskannya dari Moon.

David Schofield, salah seorang dari 3 pria itu, kemudian meminta tolong pada para penjaga lain. Tapi, sebelum para penjaga datang, puluhan narapidana lain sudah berada di tempat kejadian dan membantu Moon.

Terry Carswell, salah satu pria yang datang membantu mengatakan sesudah kejadian,

"Terpikir oleh saya bahwa dia adalah ayah bagi seseorang atau putra bagi seseorang. Tidak ada seorangpun yang pantas mati seperti itu."

4 dari 7 halaman

4. Kelompok Pembenci Berbalik Arah

Laurence C. Jones. (Sumber Wikipedia untuk ranah publik)

Pada 1918, Laurence Jones nyaris tewas dikeroyok. Saat itu ada selentingan bahwa kaum kulit hitam Amerika di negara bagian Mississippi sedang merencanakan pemberontakan.

Jadi, ketika sekelompok warga kulit putih mendengar Jones berkhotbah agar jemaatnya "berjuang untuk menyelamatkan diri dan berhasil," mereka menyangka pria itu adalah dalangnya. Maka ia pun diincar untuk dibinasakan.

Kerumunan orang menyeret Jones keluar dari tempat tinggalnya, lalu mengalungkan tali di sekeliling lehernya, dan kayu bakar di kakinya. Mereka memberi pilihan padanya untuk menyebutkan kata terakhir sebelum digantung dan dibakar hidup-hidup.

Jones kemudian menceritakan tentang suatu sekolah yang baru saja dibukanya untuk mendidik anak-anak berkulit hitam yang kekurangan kesempatan meraih pendidikan.

Ia kemudian menyebutkan beberapa warga kulit putih yang membantunya dalam upaya tersebut dan mengajak mereka bersatu. Hebatnya, mereka yang mengeroyoknya kemudian menurut.

Seorang gaek yang merupakan veteran Perang Sipil mengenali namanya dan menyadari bahwa Jones bercerita yang sebenarnya. Kata pria kulit putih uzur itu kepada kerumunan, "Kita telah melakukan kesalahan. Kita seharusnya membantu, bukan menggantungnya."

Kerumunan itu kemudian menurunkan dia dan mengedarkan topi untuk memasukkan uang. Saat itu mereka mengumpulkan US$ 52,40 untuk membantu sekolah.

Jones tidak mendendam kepada mereka, katanya, "Saya tidak punya waktu untuk bertikai dan tidak ada orang yang bisa memaksa saya untuk turun serendah itu agar berbalik membenci."

5 dari 7 halaman

5. Membangun Gereja di Pakistan

Ilustrasi warga Kristen di Pakistan. (Reuters)

Pada Juni 2016, warga Desa Khaksabad di Pakistan khawatir ketika mereka mendengar tentang kekerasan di Gojra yang lokasinya berdekatan.

Ada sekelompok warga Muslim yang menyerang komunitas Kristen di sana sehingga desa itu dilanda perpecahan dan kebencian. Warga Khaksabad tidak ingin hal serupa terjadi di desa mereka.

Ketika sebuah gereja lokal di desa mereka terseret banjir, mereka mendapatkan kesempatan untuk melakukan sesuatu. Warga Muslim di desa memulai penggalangan dana untuk membantu warga Kristen karena simpati dan demi kerekatan dalam komunitas.

Warga Muslim amat getol membantu sehingga mencukupi untuk membangun gereja baru bagi warga Kristen di sana. Seperti kata seorang Muslim penjaga toko di sana, "Gereja juga rumah Allah. Kita memuja Tuhan yang sama."

6 dari 7 halaman

6. Rumah Sakit Menolong Terduga Pembunuh

Ahmed Manasra masih berusia 13 tahun ketika dia dan saudara sepupunya berkeliaran di Yerusalem Timur sambil membawa pisau dan menikam orang-orang tak bersalah.

Sebagai orang Palestina, mereka siap memberikan jiwa raga menebar ketakutan di Israel.

Serangan itu terhenti ketika saudara sepupunya tewas tertembak oleh seorang polisi Israel. Manasra kemudian panik, melarikan diri, dan tertabrak sebuah mobil.

Sekelompok orang mengerumuninya dengan teriakan, "Matilah!" Beberapa orang lagi mencercanya sebagai "seorang anak jalang" dan ada yang meminta agar polisi menembak saja kepala remaja itu.

Namun demikian Manasra justru dibawa ke rumah sakit yang dijalankan bersama oleh seorang dokter Yahudi dan dokter Muslim. Manasra memang telah membunuh, tapi dia masih remaja sehingga para dokter terpanggil untuk menyelamatkan dia.

Mereka merawat lukanya dan memberikan prioritas dibandingkan sejumlah pasien lain dengan alasan bahwa lukanya paling parah. Mereka menyelamatkan nyawa remaja itu.

Ketika ditanya kenapa tidak membiarkan Manasra mati, Ahmed Eid, seorang dokter Muslim di rumah sakit Israel tersebut, menjelaskan, "Kami tidak menanyakan siapa kamu. Kami merawat seorang teroris sebagaimana halnya kami merawat korban."

 

7 dari 7 halaman

7. Anggota Banser Riyanto

Malam Natal, 24 Desember tahun 2000. Bersama empat rekannya, Riyanto mendapatkan tugas menjaga Gereja Eben Haezar Mojokerto.

Mereka bukanlah anggota polisi atau tentara, melainkan anggota Banser satuan koordinasi cabang Kabupaten Mojokerto.

Kala itu, di tengah maraknya teror bom, Pimpinan Pusat Gerakan Pemuda Ansor memang menginstruksikan jajarannya, untuk membantu polisi menjaga dan mengamankan perayaan Natal umat Kristiani.

Mengenang Riyanto, Banser yang Tewas Memeluk Bom di Malam Natal | foto : Facebook

Saat itu pukul 20.30 WIB. Perjalanan ibadah baru separuhnya berjalan. Tiba-tiba ada yang menyampaikan kabar bahwa di depan pintu gereja ada bungkusan hitam yang mencurigakan.

Mendengar hal itu, Riyanto membuka bungkusan tersebut. Ternyata isinya kabel yang terhubung dengan rangkaian yang memercikkan api.

Mungkin saat itu, Riyanto tahu bahwa itu adalah bom. Meski punya kesempatan untuk kabur sesegera mungkin, ia malah berteriak "Tiarap!", sambil lari mendekap bungkusan tersebut menjauh dari gereja.

Ledakan kemudian terjadi. Tubuh Riyanto terpental hingga seratusan meter. Kuatnya daya ledak, merobohkan pagar beton gereja. Jari tangan dan muka Riyanto hancur.

Ia meninggal untuk menyelamatkan banyak nyawa -- ratusan jemaat yang ada di dalam gereja, juga mereka yang berpotensi jadi korban akibat kerukunan yang kembali terkoyak.

Pada saat kejadian, Riyanto baru berusia 25 tahun, tetapi keberaniannya patut diacungi jempol.

"Riyanto telah menunjukkan diri sebagai umat beragama yang kaya nilai kemanusiaan. Semoga dia mendapatkan imbalan sesuai pengorbanannya," kata Gus Dur, seperti dikutip dari situs nu.or.id.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.