Sukses

Intel Iran hingga Osama, 4 Operasi Khusus AS yang Nyaris Gagal

Berikut, 4 operasi militer ternama yang dilakukan oleh Pasukan Khusus AS yang sempat nyaris gagal total.

Liputan6.com, Jakarta - Pasukan Khusus militer AS merupakan salah satu personel terbaik angkatan bersenjata di dunia yang terkenal dengan Navy SEALs dan Delta Force-nya.

Para tentara Pasukan Khusus AS itu memiliki status 'terbaik di antara yang terbaik' dan menjalani pelatihan militer elit dengan dilengkapi peralatan tempur nan canggih. Sehingga, mereka diharapkan mampu melaksanakan sebuah operasi militer dengan hasil kesuksesan yang mumpuni.

Akan tetapi, sejumlah operasi militer yang dilakukan oleh Pasukan Khusus Amerika Serikat kerap mengalami proses yang carut marut hingga membawa ketakutan gagal sepenuhnya. Hal itu disebabkan oleh sejumlah faktor, seperti kuatnya gempuran pihak lawan, faktor teknis, atau bahkan faktor tak terduga lain yang terjadi di medan pertempuran.

Berikut, 4 operasi militer ternama yang dilakukan oleh Pasukan Khusus AS yang nyaris gagal total, seperti yang dirangkum oleh Liputan6.com dari Wonderslist.com, Minggu, (21/5/2017).

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 5 halaman

1. Opeartion Eagle Claw di Iran

Alutsista AS yang Jatuh Jelang Operation Eagle Claw, 1980 (Wikimedia Commons)

Operasi militer ini mengambil latar belakang pada tensi tegang antara Amerika Serikat dengan Iran pada 1980-an. Tensi tegang itu disebabkan oleh Revolusi Iran yang berujung pada perubahan haluan negara menjadi ekstrem-konservatif serta anti-Barat dan anti-Amerika Serikat.

Singkat cerita, situasi tegang di Iran akibat Revolusi berujung pada penangkapan sejumlah warga Amerika Serikat di Tehran. Penangkapan itu dilakukan oleh kelompok ekstrem-konservatif --kelompok pemimpin revolusi-- yang menuding bahwa sejumlah warga AS yang berada di Iran merupakan mata-mata. Kelompok ekstrem-konservatif itu juga menuduh bahwa para 'terduga mata-mata AS' akan melakukan operasi spionase untuk menggagalkan upaya Revolusi.

Fenomena itu menghasilkan insiden yang dikenal dengan nama 'Iran hostage crisis 1979-1980'. Pada November 1979, saat tensi tegang revolusi dan sentimen anti-AS sedang di titik puncaknya, kelompok ekstrem-konservatif menerobos masuk ke dalam kantor Kedutaan Besar Amerika Serikat di Tehran.

Penerobosan itu dilakukan karena kelompok ekstrem-konservatif menuding kantor Kedutaan AS di Tehran menyembunyikan sejumlah mata-mata CIA. Setelah menerobos masuk ke dalam kantor kedutaan, kelompok revolusi itu menyandera 52 atase diplomat dan warga negara AS.

Akibat insiden itu, Gedung Putih merancang operasi pembebasan sandera menggunakan metode militer. Operasi itu diberi nama sandi 'Operation Eagle Claw'.

Operasi itu dilakukan oleh gugus tugas gabungan CIA, Delta Force Angkatan Darat, dan Ranger Angkatan Darat AS. Para pasukan elit militer Negeri Paman Sam itu dibekali dengan bekal latihan tempur pasukan khusus dan peralatan serta alutsista nan canggih.

Akan tetapi, pengorganisasian operasi yang buruk dan malfungsi sejumlah peralatan tempur mengakibatkan kegagalan misi. Yang paling fatal adalah, rusaknya helikopter yang akan digunakan untuk mengangkut sandera saat di tengah perjalanan menuju Iran.

Pada akhirnya, para sandera tetap berhasil dibebaskan. Namun, bukan melalui opsi militer, melainkan menggunakan langkah diplomasi yang ditandai dengan Perjanjian Algiers 1981.

 

3 dari 5 halaman

2. Operation Red Wings- Taliban

Personel Navy SEALs jelang Operation Red Wings (US Navy SEALs/Wikimedia Commons)

Operasi militer ini mengambil latar belakang situasi pada intervensi Amerika Serikat di Afghanistan pada 2005. Campur tangan militer Negeri Paman Sam di Afghanistan untuk menetralisir kekuatan gerilyawan Taliban pada tahun itu sedang berada di titik puncaknya.

Dirancanglah operasi militer dengan nama sandi 'Operations Red Wings' yang dibentuk oleh gugus tugas angkatan bersenjata AS di Afghanistan. Operasi itu ditujukan untuk melakukan stabilisasi aktivitas gerilyawan Taliban jelang pemilu Parlemen Afghanistan September 2005.

Operation Red Wings berlokasi di Lembah Korangal, Provinsi Kunar. Lokasi itu dituding sebagai basis berkumpulnya gerilyawan Taliban yang berpotensi mengancam stabilitas proses pemilu Parlemen Afghanistan 2005.

Sebagai langkah awal operasi, militer AS mengirim empat personel Navy SEALs untuk sebuah misi observasi dan pengintaian strategis ke Lembah Korangal. Akan tetapi, keempat anggota Pasukan Khusus AL AS itu justru masuk ke dalam jebakan sergapan pasukan gerilyawan sesaat setelah mereka diterjunkan ke Lembah Korangal.

Nahas, tiga dari empat pasukan Navy SEALs itu tewas dalam baku tembak dengan gerilyawan. Markas gugus tugas angkatan bersenjata AS di Afghanistan segera mengirim tim penyelemat menggunakan helikopter untuk mengekstraksi satu anggota selamat Navy SEALs.

Akan tetapi, misi penyelamatan itu mengalami kegagalan setelah helikopter tersebut ditembak jatuh menggunakan rudal anti-helikopter gerilyawan. Operasi penyelamatan kedua pun segera dilakukan, dan akhirnya mengalami kesuksesan.

Operasi nahas itu kini telah diadaptasi menjadi sebuah film sukes produksi Hollywood. Namun, kesuksesan film itu, pada realitanya, harus dibayar mahal bagi militer AS

 

4 dari 5 halaman

3. Pertempuran Mogadishu, Somalia 1993

Lokasi Pertempuran Mogadishu, Somalia, 1993 (Wikimedia Commons)

Operasi militer ini mengambil latar belakang situasi pada Perang Saudara Somalia yang telah berlangsung sejak 1980-an. Perang sipil itu disebabkan oleh pertempuran senjata antara kelompok pemerintah Somalia dengan oposisi, gerilya berbasis suku, dan wilayah yang dikuasai militan pemberontak.

Seperti yang dilakukan pada negara lain, Amerika Serikat turut melakukan intervensi situasi di Somalia. Negeri Paman Sam berpihak pada pemerintah Somalia.

Singkat cerita, pada 1993, di tengah instabilitas pemerintahan, seorang tokoh oposisi bernama Mohamed Farrah Aidid muncul menisbatkan dirinya sendiri sebagai presiden de facto Somalia. Hal itu membuat geram AS.

Dirancanglah operasi militer dengan nama sandi 'Operation Gothic Serpent' yang dibentuk oleh gugus tugas angkatan bersenjata AS di Somalia. Operasi itu ditujukan untuk menangkap dua atase militer Aidid yang dilaporkan akan melakukan pertemuan di Mogadishu. Penangkapan itu, diproyeksikan oleh militer AS akan mampu melemahkan posisi Aidid sebagai pemimpin oposisi.

Guna melakukan penangkapan, angkatan bersenjata AS menyiapkan 160 personel yang merupakan kombinasi dari Ranger dan Delta Force Angkatan Darat. Mereka dilengkapi dengan 12 kendaraan operasional jenis HMMVW (populer disebut dengan Humvee) dan 16 helikopter.

Operasi yang direncanakan akan selesai dalam hitungan jam itu ternyata mengalami bencana. Hal itu diawali dengan jatuhnya sebuah helikopter AS jenis Black Hawk setelah ditembak menggunakan RPG (Rocket Propelled Grenade) oleh militan.

Beberapa saat kemudian, sebuah 'burung besi' kembali jatuh saat hendak melakukan evakuasi korban helikopter yang jatuh pertama kali. Seiring waktu, operasi yang tujuan awalnya adalah melakukan penangkapan berubah menjadi operasi evakuasi militer.

Ratusan pasukan AS yang terlibat dalam operasi dikerahkan untuk melakukan penyelamatan. Di saat yang sama, mereka terkepung dan kalah jumlah oleh militan yang menguasai Mogadishu.

Meski berhasil menangkap dua atase militer Aidid yang menjadi tujuan awal misi, namun operasi itu harus dibayar mahal bagi pihak AS. Dari 160 personel dan 28 alutsista yang dikerahkan, 19 tewas, 73 terluka, 1 ditangkap oleh militan Somalia, dan 2 helikopter jenis Black Hawk hancur.

Hasil itu juga berujung dengan penarikan AS dari intervensi di Somalia.

 

5 dari 5 halaman

4. Penyerbuan Basis Osama bin Laden 2011

Situation Room, Gedung Putih, saat operasi pembunuhan Osama bin Laden, 2011 (Gedung Putih/Wikimedia Commons)

Operasi ini memang diklaim oleh Amerika Serikat sebagai salah satu misi pasukan khusus yang paling sukses sepanjang sejarah angkatan bersenjata Negeri Paman Sam. Akan tetapi, pada prosesnya, sejumlah kekacauan yang berpotensi besar dapat berujung pada kegagalan misi, terjadi dalam operasi pembunuhan Osama bin Laden itu.

Saat 24 personel Navy SEALs diam-diam menerobos masuk ke basis perlindungan Osama bin Laden di Pakistan menggunakan dua helikopter senyap, salah satu 'burung besi' itu jatuh dan mengalami kerusakan. Sempat mengalami kekhawatiran, pasukan khusus tersebut tetap melaksanakan misinya untuk 'kill or capture' Osama bin Laden.

Akan tetapi, jatuhnya helikopter menimbulkan dua ancaman bahaya. Pertama, helikopter cadangan yang akan dikerahkan tak memiliki fitur senyap. Kedua, helikopter yang jatuh harus diledakkan hingga berkeping-keping untuk agar teknologi canggih 'burung besi' itu tidak jatuh ke pihak lawan.

Masalahnya, dua ancaman itu memiliki pola masalah yang sama. Yakni, dua suara keributan yang besar. Satu datang dari suara helikopter cadangan dan yang lain datang dari suara bom penghancur helikopter.

Padahal, misi itu sangat memprioritaskan fitur senyap untuk meningkatkan kerahasiaan operasi. Karena, jika para personel menimbulkan suara ribut, dikhawatirkan akan mengundang perhatian militer Pakistan yang berada tak jauh dari lokasi basis perlindungan Osama bin Laden.

Tak dinyana, operasi itu --meski sempat dirundung ancaman kegagalan-- tetap sukses terlaksana.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.