Sukses

Isu Lingkungan di Laut China Selatan Harus Jadi Perhatian

ASEAN dan China diimbau mempertimbangkan aspek lingkungan dan perubahan iklim pada isu Laut China Selatan. Ada apa?

Liputan6.com, Jakarta - Deputi Kedaulatan Maritim Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman Republik Indonesia Arif Havas Oegroseno mengimbau, agar ASEAN dan China mempertimbangkan aspek lingkungan dan perubahan iklim pada isu Laut China Selatan.

Pernyataan itu disampaikan Deputi Havas saat konferensi pers dalam Jakarta Geopolitical Forum Lembaga Ketahanan Nasional RI pada 19 Mei 2017 di Hotel Borobudur Jakarta, Sabtu, 20 Mei 2017. Forum yang membahas sejumlah isu geopolitik itu diselenggarakan dalam rangka perayaan HUT Lemhannas RI ke-52 tahun.

Imbauan Deputi Havas dinyatakan beberapa hari setelah ASEAN dan China menyepakati kerangka Code of Conduct (CoC) atau tata perilaku kedua pihak di Laut China Selatan. Kesepakatan tersebut dicapai pada Pertemuan ke-14 ASEAN-China Senior Officials Meeting on the Implementation of the Declaration on the Conduct of Parties in the South
China Sea (SOM on DOC) di Guiyang, China 18 Mei 2017.

Sang deputi berujar bahwa CoC ASEAN - China tidak mencantumkan tentang aspek lingkungan dalam konteks kemaritiman, seperti kenaikan permukaan air laut akibat fenomena ice melt di kutub Bumi. Fenomena itu berpotensi menenggelamkan sejumlah pulau di perairan China Selatan.

Sedangkan menurut Havas, CoC hanya berfokus pada sektor pengelolaan konflik perebutan pulau dan karang yang terjadi di Laut China Selatan.

"Faktor itu (isu lingkungan dalam konteks kemaritiman) tidak diperhitungkan dalam diskusi tentang Laut China Selatan," ujar Deputi Havas dalam konferensi pers Jakarta Geopolitical Forum di Hotel Borobudur Jakarta, Sabtu, (20/5/2017).

"Saya terus terang melihat bahwa apabila terjadi kenaikan permukaan laut, dan kemudian daratan atau karang-karang di sana itu hilang, maka negara tak bisa mengklaim lagi. Padahal, sesuai hukum laut, sebuah klaim (terhadap pulau) harus
diukur dari darat, dan perhitungannya harus dimulai dari bentukan alamiah pulau...Bukan lewat reklamasi," tambah  Havas yang juga pernah menjabat sebagai Duta Besar RI untuk Uni Eropa.

Sejumlah negara dilaporkan melakukan reklamasi pulau sebagai salah satu langkah untuk mengklaim sejumlah daratan di kawasan Laut China Selatan. Kantor berita CNN, 29 Maret 2017, melaporkan China melakukan reklamasi sejumlah pulau
di sana yang diduga untuk fasilitas militer.

Tak hanya itu, sejumlah negara ASEAN seperti Filipina daan Vietnam yang dekat dengan Laut China Selatan juga kerap melakukan klaim atas beberapa daratan di sana.

Peliknya situasi di perairan itu turut diakui oleh Deputi Havas. Ia mengatakan, "Masalah di Laut China Selatan tidak dapat atau sulit diselesaikan. Karena penyelesaian itu berarti meyelesaikan perebutan pulau, perebutan karang. Dan ada sekitar 200 pulau dan karang yang direbutkan lebih dari 5 negara," ujar pria yang meniti karir sebagai diplomat itu.

Akan tetapi, Havas mengapresiasi langkah ASEAN dan China yang telah menyepakati rancangan CoC. Setidaknya, menurut sang deputi, peraturan itu dapat menjadi acuan untuk menekan dan mengelola potensi konflik antar negara
yang dapat terjadi di Laut China Selatan.

"Manajemen dan pengelolaan itu harus dilakukan. Itu yang harus dilakukan CoC, agar kita dapat melakukan pengelolaan untuk mencegah konflik yang mungkin dapat meluas ke kawasan kita (Indonesia)," pungkasnya.

Momentum Baik ASEAN-China

Selain itu, pada kesempatan yang berbeda, Direktur Jenderal Kerja Sama ASEAN, Kementerian Luar Negeri, Jose Tavares, menggarisbawahi momentum baik antara ASEAN-China.

"Kemajuan dalam implementasi DOC sejak beberapa waktu terakhir membantu percepatan penyelesaian COC Framework," sebut Jose dalam keterangan pers Kemlu Jumat 19 Mei 2017.

Framework CoC yang disepakati ASEAN-China, terdiri atas sejumlah bagian, yaitu mukadimah, tujuan, prinsip-prinsip umum, basic undertakings, dan final clauses. Kesepakatan atas CoC Framework ini merupakan suatu capaian penting
ASEAN-China. Pasalnya, proses konsultasi sudah dimulai sejak 2013.

Namun, hal tersebut baru dapat terwujud saat Menteri Luar Negeri kedua pihak --pada pertengahan 2016-- memberikan mandat kepada Pejabat Tinggi untuk menyelesaikan CoC Framework pada pertengahan 2017.

Pembahasan substantif yang menghasilkan draft pertama CoC Framework dilakukan pada Pertemuan ASEAN-China Joint Working Group on the Implementation of the DoC (JWG on DoC) di Bali, pada akhir Februari 2017.

Pertemuan Bali juga menyepakati suatu pendekatan (Bali Approach) yang telah meletakkan dasar yang kuat untuk upaya mempercepat pembahasan CoC Framework tersebut. Pertemuan di Bali diikuti pertemuan JWG on DoC di Siem Reap, Kamboja, akhir Maret 2017, dan di Guiyang, RRC, 17 Mei 2017.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.