Sukses

Kisah Matthew Hopkins, Pemburu Penyihir Legendaris dari Inggris

Meski terkenal sebagai pemburu penyihir, hanya sedikit latar belakang Hopkins yang diketahui publik. Atau dia sesungguhnya penyihir?

Liputan6.com, London - Pada 1603, ketika kerajaan Inggris dan Skotlandia bersatu, Raja James IV dari Skotlandia mengubah gelar namanya menjadi James I dari Inggris.

James I terkenal dengan ketertarikan dan juga rasa tidak suka pada segala hal yang berbau dunia sihir dan gaib. Setelah ia menduduki kursi kerajaan, sang raja merilis sebuah buku laris berjudul "Daemonologie" yang membahas tentang sihir jahat.

Obsesi dan ketidaksukaan sang raja pada dunia sihir membuatnya mampu membujuk Parlemen untuk membuat Witchcraft Statute. Sesuai ketentuan statuta itu, orang yang terlibat dengan segala hal yang berbau sihir dapat dihukum mati.

Tak hanya itu, James I juga membakar api kecemasan publik terhadap segala hal yang berbau sihir dan penyihir. Satu dekade sejak statuta dan kebijakan itu diterapkan, banyak individu yang dituduh, ditangkap, diadili, dan dihukum mati atas tuduhan terlibat dalam praktik sihir.

Meningkatnya sentimen masyarakat terhadap segala hal yang berbau sihir membuat sejumlah orang mencoba untuk mengambil keuntungan dari peristiwa itu. Sejumlah orang itu meraup profit dengan terlibat dalam bisnis pemburu penyihir, menyeret individu yang terlibat dalam dunia sihir ke pengadilan kerajaan.

Salah satu orang yang menjadi terkenal atas bisnis tersebut adalah Matthew Hopkins, seperti yang dikutip The Vintage News, Selasa, (16/5/2017).

Ia merupakan pengacara miskin yang berasal dari keluarga puritan (penganut norma konvensional).

Untuk menjalankan bisnisnya secara efektif, Hopkins pindah ke Manningtree, Essex, Inggris pada 1644 untuk menggiatkan aktivitasnya untuk memburu hantu. Menurut sejarawan, Hopkins dianggap sebagai enterpreneur di masanya, karena mampu memanfaatkan situasi sosial pada saat itu sebagai sebuah peluang bisnis.

Keterlibatan sang pengacara miskin dalam dunia perburuan sihir dimulai ketika ia secara intensif menghancurkan segala hal yang berbau nujum. Sasarannya bermacam-macam, mulai dari benda, tempat yang diduga pemujaan sihir, bahkan manusia yang dianggap Hopkins sebagai penyihir.

Lokasi aktivitas Hopkins dimulai dari tempat yang dekat dengan rumahnya. Salah satu perempuan yang jadi tetangganya --dan diduga sebagai ahli sihir-- tak luput dari perburuan sang pemburu penyihir.

Sejak itu, sang pengacara aktif memburu individu yang diduga kuat sebagai seorang penyihir. Sepanjang 1644, ia telah sukses memburu 23 orang terduga penyihir, seluruhnya perempuan. Empat diantaranya tewas di penjara dan sisanya divonis hukuman gantung.

Pada 1645, Hopkins telah terkenal dengan status Witch-Finder di kalangan masyarakat. Ia juga mengaku sebagai utusan Parlemen yang ditugaskan untuk menyeret terduga penyihir ke pengadilan.

Sang Witch-Finder juga membentuk tim asisten pemburu yang seluruhnya perempuan untuk melakukan penyelidikan pada calon target terduga penyihir. Hopkins mengupah asistennya dengan uang sekitar 20 keping Shillings (mata uang kuno Inggris) untuk setiap kota yang dikunjungi para asisten untuk penyelidikan.

Hopkins meningkatkan pengetahuannya dalam perburuan penyihir dengan mengadopsi tips dan trik dalam buku James I Daemonologie. Ia juga mengadopsi metode interogasi yang tertulis dalam buku itu, yakni dengan membuat sang terduga penyihir tidak tidur selama berhari-hari hingga kelelahan, dan akhirnya mengaku sebagai penyihir agar mampu terbebas dari siksaan tersebut.

Selain itu, manipulasi interogasi lain juga dilakukan Hopkins dan antek-anteknya agar individu yang diinterogasi pada akhirnya mengaku sebagai penyihir, seperti menusuk, menyembelih, dan memotong bagian tubuh korban.

Teknik absurd lain yang digunakan Hopkins adalah dengan mengikat tangan dan kaki seorang perempuan terduga penyihir, kemudian menenggelamkannya di perairan. Metode itu bernama 'the swimming test'.

Jika perempuan itu tenggelam, maka ia bukan penyihir. Sebaliknya, jika tidak tenggelam dan berhasil melepaskan diri, maka perempuan itu dianggap sebagai penyihir.

Indikator absurd dan manipulatif itu kerap digunakan Hopkins untuk menentukan siapa penyihir dan yang bukan. Dan ironisnya, metode itu justru memiliki efek bumerang bagi sang Witch-Finder, karena ia tewas oleh teknik yang sama akibat diduga sebagai bagian dari komunitas penyihir.

Sosok Hopkins sendiri juga penuh misteri. Sebelum 1644 dan sesudah 1647, tidak ada satupun catatan sipil yang menyebut riwayat kehidupan sang mantan pengacara. Dan ia hanya terkenal selama periode tiga tahun masa aktifnya sebagai seorang pemburu penyihir.

Sentimen perburuan penyihir di Inggris pada rentang tahun 1604 hingga 1684 memang masih menimbulkan misteri dan sejumlah peristiwa kerap diselimuti tanda tanya. Selama 84 tahun, banyak individu yang jadi korban salah tuduh akibat kepanikan massal yang dipengaruhi atas fenomena sihir dan penyihir di Inggris.

Bahkan wabah kepanikan massal akibat fenomena penyihir di Inggris juga merebak ke Amerika Serikat antara 1692 hingga 1693. Dan Matthew Hopkins merupakan titik hitam dalam riwayat sejarah era kelam penyihir sebagai dampak gaya hidup puritan di kedua negara Anglo-Saxon tersebut.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.