Sukses

Selain WannaCry, Ini 6 Serangan Siber yang Gegerkan Dunia

Peretasan dilakukan karena beberapa alasan, misalnya perang siber antar negara, mata-mata, keuntungan materi, dan bahkan karena iseng.

Liputan6.com, Jakarta - Teknologi internet memungkinkan manusia menjadi semakin terhubung mengatasi perbedaan jarak dan waktu. Namun demikian, kemajuan itu juga dimanfaatkan oleh para pihak yang bermaksud jahat.

Peretasan dilakukan karena beberapa alasan, misalnya perang siber antarnegara, kepentingan mata-mata, keuntungan materi dan keuangan, dan bahkan karena keisengan belaka.

Ilustrasi Ransomware WannaCrypt atau yang disebut juga Wannacry (iStockphoto)

Baru-baru ini, dunia direpotkan oleh WannaCry yang tergolong sebagai ransomware, sejenis program komputer yang menyandera sistem -- kecuali jika pengelola sistem komputer membayar tebusan dalam jumlah tertentu.

Hingga 12 Mei 2017, setidaknya sudah lebih dari 75 ribu komputer di 99 negara yang terdampak. Laporan terakhir bahkan menyebut, sudah 150 negara terdampak, termasuk Indonesia. 

Negara-negara Eropa, termasuk Rusia, merupakan yang paling parah terkena serangan malware. Meski penyebaran malware kini telah melambat, ancamannya belum berakhir.

Serangan itu pastilah bukan yang satu-satunya dan bukan pula yang terakhir. Dikutip dari beberapa sumber semisal arnnet.com.au dan India Times pada Senin (15/5/2017), berikut ini adalah sejumlah serangan siber yang berdampak cukup besar:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 7 halaman

1. Peretasan Pilpres AS (2016)

(Sumber Nancy Pelocy/ranah publik)

Pemilihan presiden Amerika Serikat 2016 diwarnai dengan tudingan keterlibatan Rusia yang meretas sistem komputer AS.

Peretasan berdampak kepada Konvensi Nasional Demokrat (Democratic National Convention, DNC), sehingga diduga menguntungkan pihak Donald Trump.

Kelompok peretas bertubi-tubi mengirimkan surel bersifat 'phishing' ke beberapa lembaga AS sampai akhirnya John Podesta, pimpinan kampanye Hillary Clinton, melakukan klik pada salah satu surel jebakan itu sehingga memberikan akses kepada 60 ribu surel kampanye kubu Clinton.

Isi surel itu kemudian disebar melalui Wikileaks sehingga mencemarkan citra Cliton.

Peretasan politik juga pernah terjadi di Filipina yang diduga dilakukan oleh Anonymous Philippines dan Lulsec.

Saat itu, terjadi kebocoran informasi para pemberi suara, termasuk kebocoran data sidik jari dan paspor. Basis data berukuran 340 GB milik komisi pemilu (Comelec) Filipina bocor ke dunia maya.

3 dari 7 halaman

2. MafiaBoy (2000)

Ilustrasi serangan MafiaBoy (Sumber US Navy/ranah publik)

Pada 2000, seorang remaja pria berusia 15 tahun bernama Michael Calce dari Kanada, alias MafiaBoy, bertingkah di dunia maya.

Ia melakukan serangan DDoS terhadap beberapa situs web ternama seperti Amazon, CNN, eBay dan Yahoo!. Kerugian yang ditimbulkan ditaksir senilai US$ 1,2 miliar.

Calce ditahan, tapi, pada 2001, ia hanya dihukum 8 bulan pengawasan karena ia masih remaja. Pengadilan juga membatasi akses daring bagi remaja itu. Sekarang, Calce menjadi kolumnis dan telah menerbitkan buku tentang petualangannya tersebut.

Dari India Times dilaporkan bahwa pencurian data Yahoo! berulang lagi pada 2016. Pertama pada bulan September dan berdampak pada 500 juta akun pengguna Yahoo!, disusul dengan serangan pada bulan Desember yang berdampak pada 1 miliar pengguna.

4 dari 7 halaman

3. Google di China (2009)

Google China ketika sedang akan pindah ke Hong Kong. (Sumber Wikimedia/Xhacker)

Ketika kantor pusat Google China mendeteksi pelanggaran keamanan pada pertengahan Desember 2009, ternyata ada indikasi kuat keterlibatan pemerintah China.

Peretasan itu sendiri mencakup akses kepada beberapa server milik Google disertai dengan pencurian beberapa properti intelektual

Melalui sebuah blog, Google menyebutkan bahwa bukti yang ada menengarai tujuan utama peretasan adalah untuk menerobos akun Gmail milik para pegiat HAM China, termasuk yang berada di AS, China, dan Eropa.

Google memasuki pasar China melalui www.google.cn pada 2006 dan tunduk kepada sensor ketat pemerintah. Namun demikian, serangan pada Desember 2009 itu membuat perusahaan berpikir ulang mengenai bisnis mereka sehingga, pada Maret 2010, Google kemudian memindahkan server-server mereka ke Hong Kong untuk menghindari kebijakan sensor internet China.

5 dari 7 halaman

4. NASA dan Departemen Pertahanan AS (1999)

Ilustrasi Pentagon, bangunan Departemen Pertahanan AS. (Sumber US DOD/ranah publik)

Pada 1999, seorang remaja berusia 15 tahun bernama Jonathan James berhasil menerobos komputer suatu divisi Departemen Pertahanan AS (Department of Defense, DOD) dan menciptakan 'pintu belakang' pada server-server.

Dengan demikian, ia bisa menyadap ribuan surel internal dari berbagai badan pemerintahan, termasuk nama pengguna dan kata sandi beberapa komputer militer.

Berbekal informasi itu, ia berhasil mencuri suatu perangkat lunak milik NASA sehingga merugikan US$ 41 ribu karena sistem lembaga itu mati selama 3 minggu.

Menurut NASA, perangkat lunak senilai US$ 1,7 juta itu menjadi perangkat pendukung lingkungan fisik di International Space Station atau stasiun antariksa internasional, misalnya untuk pengendalian suhu dan kelembaban selagi tinggal di angkasa.

James kemudian tertangkap, tapi hanya mendapatkan hukuman ringan karena usianya. Ia bunuh diri pada 2008 setelah dituding bersekongkol dengan beberapa peretas lain untuk mencuri informasi kartu kredit. Dalam pesan terakhir sebelum bunuh diri, ia membantah kecurigaan tersebut.

Pembobolan komputer terhadap pemerintah AS bukan hanya sesekali. Pada 1998, suatu serangan siber sistematis dan besar-besaran yang diduga dilakukan pihak Irak melumpuhkan 500 sistem komputer pemerintah dan swasta AS, terutama yang menggunakan sistem operasi Sun Solaris.

Pemerintah AS melibatkan FBI dan Defense Information Systems Agency untuk melawan serangan yang dijuluki "Solar Sunrise" tersebut. Ternyata, pelakunya adalah 3 orang remaja di California, bukan pihak Irak.

6 dari 7 halaman

5. Virus Melissa (1999)

Ilustrasi pengaturan keamanan Microsoft Word. (Sumber Flickr/Ivan Walsh)

Virus sederhana komputer itu menimbulkan kerugian hingga US$ 80 juta. Virus itu menyerang dokumen Microsoft Word sehingga secara otomatis menyebarkan dirinya sebagai lampiran melalui surel.

Virus itu menunggangi 50 nama pertama yang ada dalam daftar alamat Outlook pada komputer yang terkena infeksi.

David Smith, pencipta virus komputer itu, mengakui bahwa ia sebenarnya tidak bermaksud membuat virus itu mengganggu komputer. Namun demikian, ia tetap ditahan dan dijatuhi hukuman penjara selama 20 bulan.

Saat yang bersamaan, penjualan perangkat lunak anti-virus melejit luar biasa.

7 dari 7 halaman

6. Peretasan Data Jutaan Kartu Kredit (2009)

Ilustrasi peretasan kartu kredit. (Sumber Max Pixel via Creative Commons)

Pada 2009, seorang peretas bernama Gonzalez dari Miami menjadi biang keladi salah satu kejahatan terbesar penipuan dalam sejarah AS.

Ia mencuri jutaan nomor kartu kredit dan kartu debit dari setidaknya 250 lembaga keuangan.

Gonzalez bahkan meretas jejaring pembayaran kartu dari beberapa perusahaan, termasuk jejaring warung 7-Eleven. Dengan 3 gugatan di 3 negara bagian, Gonzalez kemudian mengaku bersalah pada bulan Desember.

Kejahatan serupa dilaporkan India Times terjadi di India dan berdampak pada kira-kira 320 ribu kartu debit terbitan beberapa bank di India. Kerugian ditaksir sekitar 13 juta rupee dalam bentuk transaksi palsu.

Peretasan berlangsung selama beberapa bulan dan laporan yang ada menengarai adanya infeksi perangkat lunak pada mesin-mesin ATM buatan Hitachi yang dioperasikan oleh Hitachi Payments. Program komputer sisipan itu memungkinkan para peretas mengambil uang dari akun pengguna.

Peretasan untuk pemuasan hasrat material juga terjadi melalui cara lain. Pada 1995, Kevin Poulsen meretas sistem telepon suatu stasiun radio di Los Angeles, KIIS FM, demi memenangkan sebuah mobil Porsche 944 S2 yang diberikan kepada penelepon ke 102.

Poulsen membajak kendali jejaring telepon sehingga menghalangi penelepon yang masuk ke nomor telepon stasiun radio. Ia berhasil memenangkan Porsche tersebut, tapi kemudian ketahuan dan dijatuhi hukuman penjara selama 5 tahun. Poulsen kemudian menjadi editor senior untuk suatu penerbitan IT, Wired News.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini