Sukses

7 Kasus yang Mengancam Kebebasan Berpendapat

Bagi banyak orang, kebebasan berpendapat hanya diterima kalau hal itu sejalan dengan nilai-nilainya sendiri.

Liputan6.com, Jakarta - Kebebasan berpendapat menjadi landasan utama demokrasi modern. Namun, kerap kali untuk kebebasan berpendapat itu membentur peraturan atau norma yang ada.

Atau ada kalanya pendapat itu tidak sesuai dengan keinginan kita. Hanya segelintir orang mampu menerima perbedaan pendapat.

Namun, praktiknya, banyak sebagian orang, kebebasan berpendapat hanya akan diterima kalau sejalan dengan nilai-nilainya sendiri. 

Ancaman nyata pada kebebasan berpendapat bukan berasal dari segelintir kelompok kecil yang mencoba memaksakan pembatasan pada diri kita. Tapi, ancaman sesungguhnya berasal dari politik buta yang mengijinkan kita bicara apapun yang kita ingin katakan sambil mencoba membungkam pihak lain.

Contoh yang paling santer adalah di Amerika Serikat di mana kebebasan berpendapat dijamin dalam Konstitusi AS. Selain individu, media di sana berhak merilis berita tanpa tekanan penguasa.

Namun, setelah Donald Trump naik jadi presiden, Orang Nomor Satu di Negeri Paman Sam itu kerap kali melabeli media mainstream yang mengkritik kebijakannya disebut 'media atau berita palsu'.

 

Selain itu, adanya teknologi internet yang kemudian menciptakan media sosial, aturan berdunia maya pun mulai diterapkan. Di beberapa negara, berkomentar buruk terhadap rezim atau siapapun dapat dikenakan undang-undang. Bahkan di beberapa negara yang pemerintahnya otoriter, media sosial dilarang. 

Dengan demikian, kebebasan berpendapat di dunia modern ini tengah terancam. Dikutip dari listverse.com pada Kamis (11/5/2017), berikut 7 kasus yang mengancam kebebasan berpendapat. 

1. Perang Komentar di Dunia Maya

Waspada, internet adalah dunia yang ganas. Coba tulis sesuatu yang agak nyeleneh di Twitter dan tak lama kemudian para netizen ganas datang bertubi-tubi. Sudah ada kesadaran bahwa lingkungan daring memang beracun dan ada upaya-upaya untuk meredamnya.

Sekarang ini, perusahaan-perusahaan besar internet memilih meredam secara tanpa pandang bulu. Misalnya sensor kebebasan berpendapat melalui penghapusan konten yang dianggap "beracun."

Dalam tataran praktis, itu berarti ada suatu algoritma yang menghapus komentar-komentar pembaca dari beberapa situs tanpa menunggu masukan dari moderator atau editor situs tersebut, seakan melangkahi mereka yang berwenang di situs yang terdampak.

Tapi, bukan algoritma itu yang menghapus hal-hal yang dianggap tidak pantas. Semua bermula dari diri kita. Jika kita benar-benar meyakini kebebasan berpendapat, maka pandangan yang paling busuk sekalipun sebenarnya memiliki hak untuk tampil.

2. Serangan pada Anonimitas

Ilustrasi Kelompok Hacktivis terkenal Anonymous (AFP)

Pada 2014, kelompok Anonymous menguak rahasia sejumlah anggota kelompok rasis KKK dan mengunggah sejumlah identitas secara daring.

Sambutan hangat datang dari berbagai sisi, tapi ada saja orang yang kemudian salah menuduh orang lain yang bukan anggota KKK. Ternyata, ada bahaya lain terkait pengungkapan itu.

Dengan merampas hak kelompok rasis itu menyuarakan pendapat mereka, para peretas itu sebenarnya merusak kebebasan berpendapat bagi semua orang. Anonimitas memberikan kesempatan kepada kita semua untuk melontarkan kritik kepada pemerintah tanpa khawatir dihajar balik.

Tapi, bukan pengungkapan identitas itu yang paling berbahaya, melainkan cara kita memberikan tanggapan terhadap pengungkapan identitas tersebut.

Jika kita tenang-tenang saja menghadapi terkuaknya para pegiat yang lantang berpendapat, kita seakan sepakat bahwa ada segelintir orang yang tidak berhak berpendapat secara tidak dikenal (anonim).

Dengan demikian, orang bisa saja berhenti mengungkapkan isi hatinya karena khawatir identitas mereka disebarkan. Ketika orang takut mengungkapkan pendapat, habislah kebebasan berpendapat itu.

3. Peningkatan Kasus Penistaan

Terdakwa dugaan kasus penistaan Agama, Basuki Tjahja Purnama atau Ahok memasuki ruang sidang pembacaan putusan (vonis) di Auditorium Kementrian Pertanian, Jakarta Selatan, Selasa (9/5). (Liputan6.com/Ramdani/pool)

Kasus dugaan penistaan agama yang paling hangat adalah yang dialami mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama. Hakim memvonis Ahok dua tahun penjara dalam kasus itu. 

Rupanya, kasus penistaan agama tak hanya terjadi di Indonesia. Sekitar seminggu lalu, Irlandia membatalkan kasus penistaan yang menyeret aktor dan komedian Stephen Fry dari Inggris. Irlandia memutuskan untuk tidak melanjutkan dakwaan terhadap Fry yang menyebut Tuhan itu "goblok."

Yang mencengangkan adalah adanya hukum tersebut. Tapi, contoh dari Irlandia itu hanyalah satu dari semakin banyaknya kasus penistaan yang mengancam kebebasan berpendapat di seluruh dunia. Di negara-negara berpenduduk Muslim, seseorang bisa dipenjara atau bahkan dihukum mati jika mencela Nabi.

Tapi bukan hanya di sana, karena, pada 2014 di Polandia, seorang penyanyi didakwa karena merobek Alkitab di atas panggung. Pihak berwenang Yunani pernah mendakwa seseorang yang mengunggah gambar biarawan Ortodoks dengan spageti yang direkayasa menempel di mukanya. Dua kasus itu rontok pada tahap banding.

Tapi, yang mencengangkan adalah kenyataan adanya proses pengadilan terhadap dua kasus itu. Hukum tentang penistaan itu sendiri tidak masuk akal, seakan Tuhan tidak cukup kuat berhadapan dengan foto spageti menempel di muka seorang biarawan.

Sementara itu, harian Independent di Inggris mengamati bahwa cukup banyak orang yang menanggapi pembantaian Charlie Hebdo pada 2015 dengan mempersalahkan para kartunisnya. Temuan itu dianggap menjadi dukungan diam-diam terhadap hukum penistaan.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Jurnalisme Menjadi Musuh

4. Perang Melawan Jurnalisme

Sejumlah wartawan beraktivitas di Media Center KTT IORA 2017 di Jakarta Convention Center, Senin (6/3). Panitia penyelenggara menyiapkan komputer dan jaringan internet guna menunjang kinerja wartawan yang meliput KTT IORA ke-20 (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Sekarang ini, media sepertinya menjadi sasaran kebencian dari segala sisi. Memang benar, seorang jurnalis harus ditantang ketika menggunakan penelitian asal-asalan. Tapi, masalahnya adalah ketika orang mulai memandang jurnalis sebagai “musuh.”

Seperti laporan Index on Censorship, iklim permusuhan seperti itu menjadikan 2016 sebagai tahun paling berbahaya bagi para jurnalis selama beberapa dekade belakangan ini.

Kebebasan pers berkaitan erat dengan kebebasan berpendapat. Jika seorang jurnalis tidak boleh melaporkan kisah yang menguak kebusukan penguasa, maka kita hidup dalam masyarakat yang anti-demokrasi.

Kenyataannya, pembungkaman pers semakin sering terjadi. Para wartawan seringkali dibunuh karena menuliskan kisah-kisah yang kurang berkenan di sejumlah negara semisal Rusia. Atau "diberhentikan" dari tugas seperti yang dialami 2500 wartawan setelah upaya kudeta terkini di Turki.

Hal demikian juga terjadi di Barat. Prancis telah meloloskan peraturan yang mengijinkan memenjarakan seorang jurnalis hingga 7 tahun kalau melindungi sumbernya. Presiden Donald Trump di Amerika Serikat juga telah mengancam membungkam pers dengan peraturan baru terkait fitnah.

5. Pemaksaan Budaya

Seorang wanita menari saat Festival Hidirellez di Edirne, Turki, Jumat (5/5). Mengikuti perayaan Festival Hidirellez diyakini penduduk setempat bisa membuat keinginan terwujud. (AP Photo / Lefteris Pitarakis)

Ketika bicara tentang serangan ganas terhadap kebebasan berpendapat, cobalah juga bicara tentang pemaksaan budaya. Jika merujuk kepada Wikipedia, disebutkan di sana bahwa hal itu dijelaskan sebagai "penggunaan unsur-unsur suatu budaya oleh orang-orang dari budaya lain."

Dalam tataran praktis, itu berarti bahwa bicara soal hal-hal yang bukan merupakan budaya kita dapat mengundang masalah. Misalnya, penulis J.K. Rowling (pencipta The Lord of the Rings dan lainnya) dicela karena menuliskan tentang tabib Pribumi Amerika dalam salah satu bukunya.

Mungkin tidak sejahat seperti menjebloskan jurnalis atau seorang terduga penista ke penjara, tapi sekarang ini kita sudah pada tahap berdiam diri dalam beberapa topik bahasan karena bukan berasal dari demografi tertentu.

Misalnya, ada saja orang yang mempermasalahkan penulis blog bukan keturunan China yang menulis tentang resep-resep makanan China. Ada yang tidak beres.

6. Pembunuhan untuk Pembungkaman

Ilustrasi Pembunuhan (Liputan6.com/Andri Wiranuari)

Ketakutan hilangnya nyawa karena memberikan pendapat adalah konsep yang melandasi assassin's veto – yaitu pembunuhan untuk pembungkaman. Pembunuhan keji terhadap orang yang mengatakan sesuatu yang tidak disukai memang bisa membungkam seluruh pembicaraan.

Sekarang ini, cara 'veto' seperti itu masih berlangsung. Misalnya pembunuhan Theo Van Gogh, seorang pembuat film dari Belanda, terkait dengan filmnya yang berbicara soal penindasan kaum wanita Muslim. Demikian juga dengan pembantaian Charlie Hebdo dan pembunuhan blogger ateis dari Bangladesh.

Tapi, pembungkaman demikian bukan hanya terkait dengan pemeluk agama. Di Meksiko, para kartel narkoba menyiksa dan membunuh secara brutal siapapun yang lantang bicara menentang mereka. Hal serupa dilakukan oleh Mafia di Italia. Di Amerika Serikat, para pegiat pendukung dan penentang aborsi sama-sama mengalami dibunuh karena menyuarakan pandangan mereka.

Yang paling suram adalah kenyataan bahwa pembungkaman itu berlangsung dalam segala aspek. Pidato, pentas, konser, acara komedi, dan kuliah umum juga kerap dibatalkan karena adanya ancaman-ancaman. Dampaknya telah membungkam kebebasan berpendapat di seluruh dunia.

7. Protes Sebagai Senjata

Petugas berjaga saat aksi bela islam 313 di kawasan Jalan Merdeka Barat, Jakarta, Jumat (31/3). Mereka menuntut kepada Presiden Jokowi agar melaksanakan undang-undang dengan mencopot gubernur terdakwa, Ahok. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Kebebasan berpendapat mencakup hak untuk memprotes pendapat yang tidak disetujui seseorang. Misalnya, seseorang yang meninju pihak lain dalam suatu aksi unjuk rasa tidak ada bedanya dengan Lenin yang mengaku mendukung kapitalisme.

Tapi ada bedanya hak demokratis untuk unjuk rasa dengan penggunaan hak itu untuk membungkam pandangan yang tidak disetujui. Dalam beberapa kejadian belakangan ini, para pengunjuk rasa malah lebih bertujuan sebagai pembungkaman pihak lawan.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini